Setelah subsidi BBM untuk rakyat dikurangi dan menghibur warga miskin dengan BLSM, pemerintah merealisasikan belanja pesawat kepresidenan yang sama sekali tidak ada urgensinya. Dengan nilai belanja Boeing Business Jet II hampir mencapai Rp 1 triliun, pemerintah tampak mengabaikan azas prioritas dalam mengelola keuangan negara.
Para pembantu terdekat presiden kemudian berasumsi bahwa jika pesawat khusus kepresidenan tersedia, anggaran perjalanan dinas presiden bisa ditekan. Alasan inilah yang memunculkan gagasan pembelian pesawat kepresidenan.
Jelas keliru dan sangat aneh. Bagaimana mungkin belanja pesawat kepresidenan akan menekan volume anggaran perjalanan dinas presiden? Para pembantu presiden tidak boleh menyederhanakan masalah. Kecuali kalau tujuannya mengejar komisi atau fee dari pabrik pembuat pesawat.
Kalau konsisten pada niat menghemat anggaran belanja, pemerintah pun seharusnya mau menunda belanja pesawat kepresidenan itu. Kalau digunakan untuk operasi pasar mengendalikan lonjakan harga bahan kebutuhan pokok, nilai belanja pesawat yang hampir Rp 1 triliun itu pasti akan mendatangkan manfaat yang sangat besar untuk rakyat kebanyakan.
Bukan hanya warga miskin penerima BLSM (bantuan langsung sementara masyarakat) yang terhibur, tetapi jutaan keluarga berpenghasilan pas-pasan akan diringankan beban ekonominya jika dana sebesar itu dimanfaatkan berdasarkan azas prioritas.
Seperti "balsem" (obat gosok), bantuan langsung sementara masyarakat sejatinya bukan obat penyakit kronis atau menahun.
Paling banter ia hanya mampu mengatasi gatal-gatal akibat gigitan serangga, otot kaku, atau kembung karena masuk angin. Namun, jangan salah, bagi masyarakat miskin dan tak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan, beragam merek balsem telah menjadi obat generik untuk mengatasi semua gejala sakit.
Bagi masyarakat kota, tiga ratus ribu rupiah memang tidak seberapa. Meski tidak semua orang mudah mendapatkannya, uang sebesar itu nyaris tak berharga bila dibawa ke pasar mengingat harga kian melambung.
Namun, bagi masyarakat miskin di desa, uang sebesar itu bisa setara upah sepuluh hari membersihkan rumput di kebun atau mencangkul hingga tengah hari. Jadi, jangan remehkan besaran bantuan langsung sebab nilainya bisa beragam bagi kelompok masyarakat yang berbeda.
Di sisi lain, ada masyarakat desa yang penasaran mendapatkan bantuan langsung meski ia tidak teramat miskin, hanya karena ingin merasakan dana segar dari pemerintah. Itulah sebabnya banyak penerima BLSM (dulu BLT) yang menganggapnya sebagai jatah makan siang gratis. Di kampung-kampung sering terdengar lelucon, bertahun-tahun bayar pajak belum sekali pun menikmati uang negara.
Gejala inilah yang jadi kelemahan bantuan langsung, tak menjamin semua kelompok sasaran menerima, padahal mereka dipastikan terkena dampak kenaikan harga BBM. Ibarat tetesan air hujan, bantuan langsung terkadang turun tidak merata.
Namun, dampak paling parah dari penyaluran bantuan langsung adalah tergerusnya modal sosial partisipatif warga. Banyak desa tak bisa lagi menarik urunan desa (urdes) sebagai wujud gotong royong dalam pembiayaan pembangunan desa sebab warga yang tergolong mampu sekalipun tak lagi mau membayar karena merasa diperlakukan tak adil. Mengapa susah-susah membayar urdes, sementara warga lain dapat uang tunai dari pemerintah?
Inilah biaya sosial yang harus dibayar akibat peluncuran bantuan langsung. Tergerusnya modal sosial dan rontoknya sendi-sendi gotong-royong. Belum lagi kendala teknis pembagian di desa yang berpotensi memicu ketegangan antarwarga, bahkan dengan pengurus setempat. Seperti obat yang tak cocok, alih-alih menyembuhkan penyakit, penyaluran ”balsem” malah memancing keluhan baru.
Masyarakat kapitalis
Masyarakat kapitalis adalah arena di mana para individu berkompetisi satu sama lain dalam kondisi yang sangat sengit dan kasar. Ini adalah arena pertarungan sebagaimana yang dijelaskan Darwin, di mana yang kuat akan tetap hidup, sedangkan yang lemah dan tak berdaya akan terinjak dan termusnahkan, dan tempat di mana kompetisi yang sengit mendominasi.
Menurut cara berpikir yang dijadikan dasar berpijak kapitalisme, setiap individu – dan ini dapat berupa seseorang, sebuah perusahaan atau suatu bangsa – harus berjuang atau berperang hanya untuk kemajuan dan kepentingannya sendiri.
Inilah sistem yang sedang berlaku, dan seolah tidak ada kepedulian bahwa mereka yang tersingkirkan dalam perjuangan sengit ini, mereka yang terinjak-injak dan jatuh ke jurang kemiskinan adalah manusia.
Sebaliknya yang justru dianggap lebih penting bukanlah manusia, akan tetapi pertumbuhan ekonomi, dan barang-barang, yakni produk dari pertumbuhan ekonomi tersebut. Dengan sebab ini, mentalitas kapitalis tidak merasakan adanya tanggung jawab moral atau hati nurani atas orang-orang yang terinjak di bawah kaki mereka, dan yang harus hidup dengan berbagai kesulitan.
Dalam memilih seorang pemimpin ingatlah akan pepatah ibarat musang berbulu domba !
You tend to decieve people, not necessarily lie to them but hide your true nature.
A fox does not look that fast, smart, or powerful but these animals are deceptive: they are very intelligent and are well-deserved of their reputations.
You, likewise, tend to show people a lesser version of yourself, you prefer it if people underestimate you and don't fully know you. This isn't a bad thing in most cases, making you deserving of the title of the cunning Fox. Fox personalities are great with Eagles especially but get along with almost all of the personalities....just be wary near Horses.
Krisis memunculkan manusia yang sebenarnya dalam diri seseorang. Jika kita ingin tahu karakter seseorang, jangan lihat dia tatkala segala sesuatu berjalan dengan baik atau biasa-biasa saja. Bisa jadi itu hanya sebuah kemasan luar. Lihatlah bagaimana reaksi dan sikapnya ketika krisis menghampiri hidupnya.
Dirangkum oleh Oyin dari berbagai sumber diantaranya:
nasional.kompas.com,
beritalima.com,
kaskus.co.id,
Robert Wright, The Moral Animal, Vintage Books, New York, 1994, hal.7
Herbert Spencer, Social Status, 1850, hal. 414-415