Bidadari-bidadari di Persimpangan Bumi
Sebenarnya siapa pemilik rumah joglo yang sedang ramai itu? Aku bertanya pada bidadari–bidadari. Mereka mendekatiku, membelai rambutku pelan–pelan lalu tersenyum. Mereka kembali menari–nari. Sebagian berenang dengan ikan paus dan sebagian masih mengepakkan sayapnya mencari arah matahari siang ini.
“..sebentar lagi kau akan punya teman tapi kau tak bisa menyelamatkannya…” Suara itu menuntunku mendekati arah angin. Angin berbisik bahwa aku akan segera punya kawan, seperti yang dikatakan suara itu. Kemudian aku memandangi lagi bidadari–bidadari, seorang berhenti di depanku. Ia tersenyum.
Di bumi, ia bercerita kepada remaja yang sedang patah hati tentang ketegaran dan emosi, tak lupa ia membawa dua bola kristal yang isinya ketegaran dan emosi untuk dilahapnya.
Aku memandangi bidadari yang memakai mawar di jarinya, ia menoleh ke arahku kemudian terbang lagi lebih jauh dari pandanganku. Ia menoleh sekali lagi ke arahku kemudian melempar bintang ke arahku. Ouw…. Kataku, bintang–bintang ini kurang berseri. Bidadari itu tersipu, wajahnya memerah. Langit kemudian mulai menjingga, pelangi muncul di dekat kakinya.
Aku berjalan lagi menjauhi bidadari–bidadari itu. Ini kulakukan setiap hari dan aku tak pernah mengeluh. Aku selalu mendatangi anak–anak kemudian bercerita hingga membuatnya berhenti menangis, aku lenyap ketika ibunya datang. Tidak perlu terbang untuk sampai ke bumi, aku hanya cukup duduk di antara awan lalu mengalir bersama angin. Kadang aku bertemu segumpal air lalu kutendang sehingga bumi menjadi basah.
Ketika kunyalakan bohlam malam, bintang–bintang mulai terang. Bidadari–bidadari bermata jeli sibuk mengatur gugusan, begitu mereka menyebutnya.
Peri yang datang setiap malam agaknya terlambat memberiku sukma. Kulihat ia sedang duduk di ayunan sendiri. Ia sedang termenung. Bidadari berulang kali memanggilnya tetapi ia menggeleng terus.
“Masih belum baik untuk kuserahkan pada dia.. Biarkan sukma itu menangis dulu sepuasnya. Dan bola kristal yang kau berikan pun belum dilahapnya.“ Begitu kata si peri.
Yang dimaksud dia adalah aku. Peri–peri lain sudah naik, teman–temanku mulai membacakan surat dari bumi yang dibawa peri–peri. Peri yang bertugas mengambilkan surat untukku belum juga datang. Kulihat bidadari yang memakai jamrud di lehernya memberikan segienam mutiara yang isinya semangat pada warna, kemudian dilahapnya dan ia bersiap membuat pelangi.
Tetapi periku belum juga datang. Teman–temanku selesai membaca surat, kali ini aku tidak. Bidadari yang memakai mahkota di kepalanya mengisyaratkan pada matahari untuk bangkit. Peri–peri kembali ke ruang kaca untuk tidur. Bidadari–bidadari tak pernah tidur, bahkan saat bumi tidur mereka menjadi lebih sibuk.
Bidadari yang memakai mawar di jarinya duduk di dekatku, sambil melempar–lempar senyum. Bunga-bunga di bumi mekar.
Aku memandang bumi, rumah joglo itu kian ramai. Seorang wanita menangis secukupnya pada tubuh yang pernah ditinggali sukma, menyesali secukupnya bahwa ia masih ingin menjadi ibu.
“Dia sejak kecil tak pernah menangis. Entah ibunya atau ayahnya pernah memukul punggunggya dengan gagang sapu saat menangis. Sejak itu dia tak mau menangis. Dia mulai mencari aku yang waktu itu masih tinggal di dalam segitiga jingga bersama teman–temanku yang juga masih kecil.
Sepertinya dia belum menemukanku, kemudian dia mulai menyanyi. Aku memandangnya ketika menyanyi. Lagu–laguannya itu adalah kerinduannya padaku, aku tahu. Karena saat dia menyanyi bukan untukku, tangannya akan tiba–tiba kaku, kata–katanya luntur dan nada–nadanya melantur.
Ketika remaja, kami bertemu. Aku sudah keluar dari segitiga jingga. Aku dilahirkan. Saat itu dia berjalan tak tentu arah di malam hari. Ketika melihat rombonganku lewat dia memegang tanganku erat sekali, akupun memegangnya erat. Sehingga aku tertinggal di tempatnya, itu di rumah joglo yang kian ramai saja.
Saat ini bidadari yang memakai mawar di jarinya melihat bumi sambil terus menerus melempar senyum. Suara itu menciumiku seperti gerimis yang tak tahu waktu, ia turun ketika matahari belum selesai membagikan cahayanya.
“Pertama kali kuajak dia kemari aku tahu hatinya sangat senang. ‘Apa itu?’ tanyanya pertama kali, jarinya menunjuk tujuh kotak emas. Kujelaskan padanya bahwa kotak emas pertama ada segitiga cahaya yang isinya cinta. Kotak emas ke dua ada bola kristal yang isinya ketegaran. Kotak emas ke tiga ada bola kristal lagi tapi isinya emosi. Kotak emas ke empat ada segienam mutiara yang isinya semangat. Kotak emas ke lima ada silinder merah yang isinya keberanian. Kotak emas ke enam ada segitiga cahaya lagi tapi isinya kenangan. Kotak emas ke tujuh tidak ada isinya, dulu ada sekarang tidak lagi. ‘Kenapa?’ tanya dia lagi.
Karena bumi tidak menginginkan perdamaian lagi. Anak–anak lebih suka senapan daripada nyanyian dan tawa. Orangtua lebih suka bertengkar daripada berpelukan. Dia menjawab ‘ya’ dengan yakinnya. Kami berjalan lagi melihat peri–peri sedang menemani teman–temanku membaca surat untuk bumi.
Kuceritakan bahwa tiap kotak berisi warna–warni yang berbeda. Tiap–tiap bidadari akan memilihkan warna yang tepat untuk bumi. Kalaupun terjadi kesalahan dalam memilih, mereka tidak akan dihukum. Itu semua adalah takdir. Bumi hanya bisa menerima dan menikmati apa yang disuguhkan, sebab ada yang bertugas menulis tiap kejadian, bahkan termasuk yang keliru tadi. Kami tak pernah bertemu penulis itu. Para bidadari yang memakai jamrud di lehernya akan datang ramai-ramai di suatu pagi. Mereka menyebutnya berbagi takdir.
Kau, sukma, pun berkali–kali melahap isi kotak–kotak tersebut dan selama ini tepat. Aku tidak tahu apa yang terjadi jika kau salah menerima isi dari kotak–kotak itu.
Sayup dia bertanya “Kau pernah bertemu dengan ruh bumi? Temukan aku dengannya. Kami tak pernah saling bertemu. Ketika aku bangun, ia pergi entah ke mana. Dan ketika aku tidur, aku tak menemukannya. Tak ada waktukah?”
Lalu aku menggeleng, tidak ada yang tahu ke mana perginya ruh ketika kau datang kemari. Aku pun tak tahu. Setiap bumi tidur kalian akan berpisah, tapi akan kembali lagi esok pagi. Aku selalu memperhatikanmu.
Sukma itu berada dalam hati di bumi sedangkan ruh tidak mau meninggalkan raga.”
Bidadari yang memakai mawar di jarinya menyandarkan kepalanya di bahuku. “Karena mereka saling mencintai, maka kau memintaku mempertemukan mereka berdua di sini.”
Aku mengangguk pelan, begitu pelan hingga rambutku yang panjang tergerai ditiup angina tiap helainya. “Tetapi kau memisahkan ruh dari raganya agar sukma senang. Kau salah memberikan bola kristal yang isinya emosi kepadanya, kau salah memilihkan warnanya.”
Angin datang bersama air sekali lagi. Bidadari yang memakai mawar di jarinya memercikkan air. Bumi menjadi basah di beberapa sudut.
Suara itu mengantarku melihat ke jendela, kulihat sukma dia lewat. Saat kupanggil keras – keras namanya, dia menoleh dan menghampiriku. Aku bertanya mengapa dia tak datang menemuiku lagi.
“Aku mencintai ruh dan ingin bertemu dengannya. Aku adalah dia, dia adalah aku. Aku bagian dari dia dan dia bagian dari aku. Mengapa aku berpisah darinya…..”
Kubilang bahwa kau hanya akan bertemu dengannya sekali setelah ruh meninggalkan raga. Lalu kau akan melayang di tempat yang gelap. Tak tahu apa yang akan menimpamu.
Dia memegang erat tanganku, “Ke mana perginya ruh dia?” Aku menggeleng. Tak ada yang tahu ke mana perginya ruh dia setelah pengadilan. Penjaga pintu tak mengizinkan kami melihatnya. Sungguh disayangkan. Aku dapat membuat hujan, aku dapat membuat pelangi karena bantuan dari para bidadari ini. Tapi aku tak dapat menolongmu. Pergilah ke tempat yang gelap itu, kau akan tenang. Ruh dia pun sekarang berada di tempat yang pantas untuknya.
Sukma meneruskan perjalanannya. Aku melihat berulang kali sukma mengusap pipi merahnya. Yang kudengar hanya isak tangis.
Suara itu yang mendengarkan percakapan kami menangis sekeras–kerasnya.
“Kenapa tak kau katakan pada sukma dia bahwa setelah sukma masuk ke tempat yang gelap itu maka kau akan hilang?”
“Seperti yang kalian ketahui, aku hanya punya satu kali kesempatan bertemu lagi dengan sukma dia yaitu tadi. Setelah itu tak ada yang bisa kalian perbuat. Bidadari bermata jeli yang dibantu peri biru akan mengumpulkan ingatannya dan memasukkannya ke dalam istana karang. Itu sebuah tempat yang sulit dijangkau sebab para penjaga dengan serigala es selalu berdiri di tiap–tiap gerbangnya. Hanya naga berekor emas yang boleh masuk membawa peti–peti batu rubi yang isinya ingatan tadi.”
Peri–peri yang bertugas mengambil sukma bumi datang padaku. Mereka menawarkan sukma–sukma yang baru tetapi aku menolak. Mereka menundukkan kepala, mereka bersedih.
Saat ini aku terbang ke atas. Bidadari–bidadari, peri–peri, angin, awan, air, dan suara itu melambai. Teman–temanku yang fasih membaca surat dari bumi tiba–tiba menangis. Sukma yang bersama mereka terbangun di bumi, lalu hujan turun disertai petir di bagian timur.
Penjaga pintu menghadangku sebelum aku diperbolehkan masuk ke dalam istana karang yang tak tampak dari luar. Ini adalah pintu yang tak ingin dilewati siapapun, juga apapun.
“Adakah yang ingin kau sampaikan sebelum melewati pintu ini?” begitu tanya penjaga pintu.
“Katakan pada ruh dia bahwa sukma mencintai dia, sebelum ruh dia masuk ke pintu di ujung jubahmu.”
Tapi penjaga pintu itu menggeleng.
“Dia tak bisa ditemui siapapun lagi. Perbuatan memisahkan ruh dari raga tak bisa diampuni. Tugas dia di bumi belum selesai…”
“Tetapi dia berbuat begitu karena tak merasakan kasih sayang keluarga. Sejak kecil dia dipukuli dengan kayu, juga kata–kata yang menghujatnya..”
“Itu adalah bagian dari takdir dia!”
Aku memandang bumi sekejab. Siapa yang ingin punya takdir seperti itu, Tuan? Bagaimana dengan sukma dia?
“Sukma dia telah masuk ke tempat yang gelap itu. Bidadari bermata jeli dan peri biru telah mengumpulkan ingatannya. Ruh dia akan segera dijatuhi putusan oleh pengadilan. Ruh dia sedang memikirkan kata–kata pembelaan. Dan ruh dia akan menangis seandainya tahu kau masih di sini dan tersiksa karena dia.”
“Tak ada yang tahu ke mana perginya saya setelah melewati pintu itu. Tidak juga kau. Saya pun akan lupa pada nyanyian–nyanyian dia dulu. Saya menjadi sesuatu yang asing bagi diri saya sendiri. Segala cinta dan kerinduan itu akan ikut pula musnah. Lalu ruh dia tidak akan ingat pada saya, percuma…”
Sementara itu sukma dia mulai membersihkan diri dari ingatan. Sukma dia mengenakan selendang cahaya yang berkilauan saat bumi tertidur. Bidadari bermata jeli melempar sukma dia ke langit dan bumi melihatnya berkilauan bersama sukma–sukma yang lain membentuk sebuah gugusan, kata bumi.
Raga dia mulai bersatu dengan tanah dan air. Makhluk lain memanggil teman–temannya. Mati. Makan. Pesta. Pesta. Pesta. Begitu mereka berseru. Pesta. Pesta. Pesta. Pesta. Pesta. Pesta. Pesta. Pesta. Pesta.
“Bagaimana?” Penjaga pintu itu membuyarkan lamunanku.
“Saya masih ingin bersama sukma dia. Saya tak bisa melihat dia melunasi hutang di balik pintu itu, saya tidak sanggup, saya tidak tega. Saya ingat ketika dia membuka kotak emas ke enam. Dia tidak menemukan kenangan apapun kecuali kenangan saat menari dengan saya. Saya masih ingat saat dia mencium saya ketika membuka kotak emas pertama. Dia tidak bertemu dengan siapapun kecuali dengan saya, Tuan.”
Aku terlanjur jatuh cinta pada bumi, pada dia terutama. Dan rumah joglo di bumi itu tak lagi ramai. Ibu yang dulu menangis secukupnya tak lagi bersedih. Seharusnya dia menulis di sebuah kertas untuk ibunya. Seharusnya dia menulis alasan ruh dia meninggalkan raga dia dengan memaksa dia meminum semua butir obat tidur sekaligus. Sehingga mereka bertemu satu kali dan berpisah selamanya.
Penjaga pintu itu menarik tanganku dan membawaku pergi jauh. Aku mulai lupa, yang kuingat hanyalah teriakanku yang memanggil nama dia.
Begitulah yang masih ada dalam ingatanku. Dan sepertinya tak bisa pergi dariku.
Peri yang bertugas mengambilkan surat dari bumi mendatangiku dan memberi satu lembar surat. Aku membacakan surat itu untuk bumi yang mulai mengantuk. Kulihat bidadari yang memakai mawar di jarinya menangis. Tetesan air matanya jatuh ke bumi. Bidadari itu tersenyum padaku sambil terus berlinangan airmata. Entah apa yang terjadi padanya, sepertinya ia baru saja melahap bola kristal perak yang isinya emosi.
Angin dan suara itu berlari ke bumi, saling bertengkar hebat. Bidadari yang memakai mawar di jarinya masih menangis. Semua yang ada di tempat itu memandangiku sambil menangis, juga teman–temanku yang sudah tua itu. Ibuku menangis, ayahku menangis, ibu dan ayah teman–temanku menangis. Kakek dan nenek teman–temanku menangis. Apa yang terjadi?
“Kami semua tahu Anda masih merindukan dia meskipun Anda dilahirkan lagi untuk bumi yang baru…”
Dia? Siapa yang mereka maksud dia?
Sementara itu di bumi hujan semakin deras. Aku hanya punya satu kali kesempatan mengingat dan bercerita yaitu tadi. Sekarang aku menjadi asing bagi diriku sendiri.
(25 Desember 2005)
*cerpen ditulis oleh Oyin
Oyin Ayashi admits that though we try to describe accurately, we cannot verify the exact facts of everything posted. Postings may contain Information, speculation or rumor. We find images from the Web that are believed to belong in the public domain. If any stories or photos that appear on the site are in violation of copyright law, please write in comment box and we will remove the offending section as soon as possible. (Oyiners = Blog reader)