Kedai. Kedai. Kedai.
Tiga hati ini bertemu kembali, saling bertatapan duduk berdampingan. Diam, begitu sepi. Karena tiga hati kini didera rindu. Sekali waktu mereka bertengkar kata. Melempar kesalahan ke segala. Lalu diam kembali. Dan seorang menangis. Seorang lagi menawarkan sapu tangan. Seorang lainnya menepuk–nepuk pundak yang lain.
Kalau saja laut tidak mati. Pasti suasana menjadi lain. Tak ada perdebatan atau tangis. Lampu remang pasti terasa hangat. Kedai yang ramai tentu tak seperti ini.
Ya. Kalau saja waktu dapat kembali, tak akan kami biarkan laut mati. Lalu di sini, akan ada empat hati yang bertarung berebut secangkir kopi.
Liliana. Hati yang ke empat akhirnya mati. Padahal ia paling senang merebut kopi. Ah, ya! Kedai kopi. Kedai kopi. Liliana menangisi kedai kopi yang tak buka lagi. Sial. Liliana sudah menyiapkan rangkaian kata-kata. Sehari itu ia terus mengulangi dialog bagiannya. Meski kami tak tahu. Pemilik kedai kopi tak tahu, malah tak mau tahu pada apa yang kami bincangkan. Padahal tentang dia, juga anak lelakinya yang baik hati.
Kami terus saja mengganggu setiap sorenya hanya untuk secangkir kopi. Dan lelaki itu datang dengan empat cangkir berisi kopi panas. Tak pernah bertanya tentang kami yang tak pernah memesan selain kopi, karena begitu banyak menu yang ditawarkan di kedai ini. Tapi, toh tak masalah. Liliana senang.
Karena senyum Liliana adalah embun di pagi hari. Karena tawa Liliana adalah kicau burung di hutan belantara. Karena kebahagiaan Liliana adalah senja memerah yang muncul pada kedua pipinya.
Tiba–tiba Liliana menangis karena kedai kopi tak buka lagi. Kami tak pernah tahu. Bagi Liliana ini kehancuran. Pelabuhan itu tak dapat ditemui lagi, tak dapat digoda lagi. Karena tak ada kedai kopi, Liliana menyukai laut. Kami berlarian di pantai sepi menghabiskan tangis. Liliana menghabisi kegundahan hatinya dengan bermain air. Lalu pulang.
Liliana menjadi pantai karena tak dapat menemukan pelabuhan hatinya. Karena laut begitu luas. Karena di laut tak ada kedai kopi.
Seperti hari ini, di kedai ini. Liliana tak suka dengan suasana kedai. Entah mengapa tiga hati ini bertemu kalau hanya untuk menangis di sebuah kedai. Kami menghabisi kerinduan kami pada Liliana tiga hari ini di tempat yang sama di kedai ini yang tidak disukai Liliana.
Laut. Kami mencari Liliana di laut. Karena ia begitu mencintai laut. Pada ombak kami menanti, pada angin kami mendengar, pada horizon kami menatap. Kalau saja laut tidak mati…
Apa yang dapat kami berikan padamu, Liliana? Sekali saja, sebelum laut mati. Padahal itu juga untuk kami, untuk mengatakan bahwa kami bersamamu. Karena kedai kopi tak akan ramai tanpamu, meski kedai kopi tak buka lagi.
Kami berhenti di kedai kopi yang disukainya. Tutup. Tak ada secangkir kopi untuk diperebutkan. Mengapa tak kau tinggalkan sesuatu di sini agar kami temukan dan kami berikan padamu. Karena itu milikmu, Liliana.
Toko buku. Liliana senang membaca. Barangkali kami menemukan sebuah buku yang disukainya. Mungkin kumpulan puisi atau kumpulan cerpen. Mungkin juga sebuah buku karya penulis ternama Indonesia yang disukainya. Tapi apa? Kami tak pernah tahu. Liliana tak pernah menyebut di depan kami, atau kamilah yang tak mau mendengar.
Liliana seorang pelajar yang jenius. Hampir setiap semester ia duduki peringkat pertama. Kami, tiga hati ini tak pernah mau tahu bagaimana ia dapat mencapai prestasi itu. Kami cukup senang, karena di laut kami bercengkerama.
Ibunda Liliana menyayangi kami. Liliana tahu betul hal itu. Setiap akhir pekan ia membawa kami ke rumahnya. Ditemani sang ayah yang terlalu sibuk membaca dongeng untuknya.
Liliana. Liliana. Liliana. Kami tak akan membiarkanmu mati begitu saja. Ke mana perginya semangatmu yang membara setiap sorenya di kedai kopi, dulu. Sungguh, kami tak tahu kalau kau senang di kedai kopi itu. Kami tentu tak menolak seandainya kau menyeret kami menghabiskan sore di sana. Di kedai kopi yang kau senangi.
Tapi, pemuda itu sudah tak ada lagi. Kata orang, pemiliknya bukan orang sini, tentu anaknya bukan orang sini juga. Ke mana kami mencarinya untuk kami berikan padamu sebagai hadiah. Karena sebenarnya kami bersamamu.
Kalau saja waktu dapat diputar ke belakang tentu empat hati ini akan mencoba berkenalan. Atau bahkan menghindari kedai kopi yang membuat segala siksa ini. Liliana, jangan mati tanpa mengatakan pada kami tentang apa yang kau sembunyikan.
Di sebuah sore Liliana memanggil tiga hati ini, katanya untuk bermain di pantai. Ia malah mengunci di kamar karena toh tak satupun dari kami pergi ke pantai untuk menikmati laut.
Mungkin Liliana sudah tahu, tapi tetap saja membuat undangan-undangan yang selalu tak bisa kami datangi. Seperti sekarang, kami tetap tak bisa menemaninya menghabiskan sore di pantai. Walau hanya untuk memandang matahari yang ditelan laut di horizon sana. Karena kami terlalu asyik menikmati remang lampu di kedai ini.
Tiga hati ini beralih. Sebab laut telah mati. Pergi ke laut seperti bunuh diri. Segala pesona laut tak dapat kami nikmati. Meski laut menggoda dengan senja tiada henti, kami seperti mati. Begitupun laut ikut mati. Tetap saja tak ada pelabuhan yang dapat menggoda kami, menggoda Liliana.
Apa hubungan laut dengan Liliana? Ia sangat mencintai laut. Ia adalah pantai yang tak bisa dipisahkan dari laut. Tapi laut butuh dermaga bagi kapal yang baru kembali. Masalahnya kedai kopi tak buka lagi, dermaga ikut tutup. Bagaimana kapal dapat berlabuh?
Liliana menangis. Tak ada lagi pelabuhan yang dapat diganggu hanya untuk memesan secangkir kopi. Kami ikut menangis tapi tanpa Liliana saat ini. Karena laut sudah mati, Liliana mati. Ia sakit, sangat sakit sehingga kami tak mau menyebut istilahnya. Dan tiga hari ini sangat sulit kami temui. Ia pastilah benar–benar sakit.
Kenapa pula kami besikeras ingin menjenguknya, biasanya itu bukan soal. Seberapa lama ia menghilang tak kami pikirkan. Aneh, kami seperti didera penyesalan tiada henti. Toh, Liliana sering sekali tiba–tiba pergi di tengah perbincangan yang sedang asyiknya.
Toilet. Liliana juga senang berlama–lama di toilet. Rasanya ada banyak keganjilan sehingga kami dibiarkannya menunggu dan pada akhirnya pulang tanpa dia. Itu tak soal. Ini bukan kali pertama.
Kedai kopi mungkin tempat yang paling dirindukan Liliana. Terakhir, tiga hari yang lalu, empat hati ini masih berniat menggoda pemuda baik hati karena secangkir kopi. Sayangnya kedai tutup. Liliana sungguh kecewa, karena sore itu baru kami bisa datang memenuhi undangannya setelah berkali–kali ia terkatung–katung tanpa kami sendirian di kedai kopi itu.
Sudah tiga hari Liliana lenyap. Pukul sepuluh malam tiba–tiba ia memanggil kami setelah mendapati kedai kopi yang tutup. Tentu saja kami tak datang. Siapa yang mau keluar di malam begitu? Liliana sakit. Sungguh sakit gadis itu hanya karena kedai tak buka lagi.
Celaka. Terbongkar juga ke mana perginya Liliana. Begitu jauhnya tempatnya kini. Hampir–hampir kami enggan menyebutnya. Tega sekali. Liliana pergi tanpa mengabari kami. Ah tidak! Ia sudah memanggil kami malam itu, kami yang sengaja tak mau datang. Kalau tahu ia bakal pergi, tentu kami akan datang. Sekedar mengucapkan selamat jalan.
Tiga hati ini berjalan bersama. Saling memandang, saling tersenyum melewati deretan kedai yang remang cahayanya.
Kedai? Bosan!
Dan berjalan lagi ke depan di antara gelap. Kembali. Berhenti di depan toko buku. Tiga hati ini berpandangan satu sama lain. Kemudian melempar pandangan ke pintu. Ada tiga laki–laki keluar bersamaan.
Kencan? Malas!
Dan berjalan lagi ke depan, kali ini lebih gelap. Jalanan yang jauh dari keramaian. Bukan kedai, bukan toko buku. Tiga hati ini berjalan lebih cepat. Di belakang, ada segerombol ingatan yang tak perlu disesali. Kami tak ingin menoleh kalau hanya membuat Ros menangis saat teringat pada keanehan–keanehan Liliana dan ibunya yang juga menyayangi kami.
Cukup. Biar kami saja yang menghadapi esok. Biar saja Liliana pergi dari kami. Biar saja seandainya ia mendatangi laut dan pantainya. Biar saja kalau ia mau berenang dan tenggelam di tengah laut. Biar saja.
Ting. Sepi.
Waktu berhenti. Tiga hati ini berhenti berdetak sejenak. Kaget. Tercengang. Kedai kopi. Kedai kopi yang kami kenali. Ya, kami lalu menyambangi kedai kopi yang kemarin buka lagi.
Seorang pemuda datang. “Kopi?”
Satu minggu kedai ini tutup. Katanya pulang kampung. Katanya pula ada hajatan. Hmmm siapa peduli? Kami bukan Liliana.
“Kopi?” Pemuda itu bertanya lagi.
“Ya” Kami menjawab.
“Tiga?”
Bukan, empat. Untuk Liliana juga. Tapi ia sudah mati? Tak masalah. Tak ada Liliana, jika laut mati kami akan membangun pelabuhan sendiri. Laut dan kedai kopi dapat kami datangi sesuka hati. Seperti sekarang, tanpa Liliana di kedai kopi yang buka lagi.
Waktu harusnya berhenti, kami ingin terus seperti ini. Menikmati secangkir kopi. Menghabiskan sore yang melelahkan di akhir pekan. Sejak Liliana pergi meninggalkan kami.
“Ini kopi. Empat.”
Terima kasih. Lalu kenapa kau tak beranjak dari meja kami? Pemuda yang baik hati…. Dan Liliana? Jangan tanyakan tentang dia. Jangan buat kami menoleh ke belakang. Setidaknya untuk sore ini. Karena Ros akan kembali menangis teringat Liliana yang telah pergi. Untuk tujuh harinya ia mati. Laut mati. Pantai sepi.
Yang ada di pikiran kami adalah hadiah. Bingkisan. Menghabiskan sore di kedai ini juga bagian dari hadiah untuk Liliana. Karena dulu kami selalu menolak undangannya. Menolak ke pantai. Menolak menikmati laut. Dan sekarang kami bangun kembali pelabuhan untuk kami sendiri.
Waktu berhenti. Pemuda itu datang menanyakan perihal cangkir ke empat –sudah dingin. Kami, tiga hati ini, saling berpandangan. Lalu tertawa kecil. Mungkin pemuda ini bingkisan yang menarik untuk Liliana. Akan kami bungkus dan beri pita di atasnya. Pas.
Juli 2006
*cerpen ditulis oleh Oyin