Seperti namanya, Martini, ia memabukkan. Setidaknya itu yang dikatakan para perempuan sebab cemburu padanya. Itu pula yang dikatakan para lelaki sebab ingin mendekatinya. Tetapi sungguh susah menemuinya.
Jadwal yang padat hingga malam hari telah menjadi kesehariannya. Maka aku berpura-pura menjadi pelanggan baru. Kusebut namaku Pak Dewanto, agar tak seorangpun curiga sebab aku masih belia. Rumahku lumayan jauh dari rumah Martini, menyeberang sungai kecil sehingga tak ada yang mengenalku. Itu bagus, dan Martini mau datang juga setelah berbagai pendekatan kulakukan. Aku berpikir aku harus menemuinya untuk melengkapi cerita ini, namun karena begitu sulitnya maka ia yang kuminta datang.
Ada rasa bangga ketika akhirnya ia mau kuminta datang, walaupun aku berbohong tentang nama dan usiaku. Telah kusiapkan pertemuan ini sejak lama. Sejak aku mendengar di desa seberang sungai ada perempuan cantik, dengan jari-jari lentik siap menggerayangi tubuhmu yang kelelahan.
Pesonanya sudah demikian tersohor hingga tak terlewatkan satu lelaki belum dijamah olehnya. Tentu saja berbagai tuduhan menjadi santapannya sehari-hari. Dan aku penasaran, benarkah ia begitu memabukkan?
Licik. Begitu yang dikatakannya pertama kali kusambut. Ia tak mengira seorang belia sepertiku yang mengundangnya. Padahal ia telah bersiap dengan jari-jarinya yang memang lentik itu.
“Kamu mau apa, le? Kukira bapakmu atau kakekmu yang memanggilku, ternyata kencur macam kamu.
Tak perlu basa-basi lama, kukatakan penasaranku tentang dirinya tetapi ia justru tertawa kecil. Ia perempuan yang masih muda, wajahnya cantik pula, namun aku tertarik dengan ejekan dan cap miring yang diberikan padanya.
“Kudengar selain memijit, kamu melayani lelaki juga? Seperti menjajakan diri, maksudku.”
“Melacur, maksudmu? Katakan saja seperti itu, tak usah diperhalus. Aku malah ndak biasa dengan sebutan menjajakan diri. Sudahlah, itu bukan urusanmu.”
“Tapi aku penasaran, Bu, eh siapa harus kupanggil Anda?”
Ia memintaku memanggilnya dengan namanya saja, Martini, seperti kebanyakan orang memanggilnya selama ini. Baginya nama itulah satu-satunya identitas yang benar-benar dirinya. Selain itu, aku menjadi tahu, orang terlalu berpikir miring tentangnya. Sehari-hari ia pergi dari satu rumah ke rumah yang lain. Tua muda ia layani, ia datang untuk memijit bukan untuk ngeloni.
Ia hanya perlu duit. Ia lalu pulang, dan kuberi imbalan untuk mengganti ongkos perjalanannya ke sini. Awalnya ia menolak, tetapi kukatakan bahwa semua orang butuh duit. Ia tersenyum lagi dan meninggalkanku sebab masih banyak pelanggan yang lain, yang benar-benar butuh dipijit bukan sekedar ngobrol. Agaknya ia kecewa.
Aku selalu penasaran tentangnya. Setiap hari ia berjalan, dicemooh tetangga dan ditinggal kerabat namun ia tak peduli. Diam saja seperti mendengar anjing menyalak. Sudah biasa, katanya datar. Aku memintanya datang sekali lagi, kali ini kukatakan aku mau benar-benar dipijit, bukan sekedar ngobrol. Maka datanglah ia, diantar tukang becak langganan. Wajahnya ceria, tidak ada curiga atau tatapan sinis padaku. Syukurlah, aku menghela nafas.
Aku bersiap, ia pun bersiap. Ada bau wangi khas parem keluar dari tasnya, menyerbu hidungku memenuhi ruangan ini. Namun ia diam saja, ia tampak tak tertarik untuk bicara. Sejenak aku menjadi sungkan, teramat sungkan hingga aku hanya merasa geli. Seperti tak terjadi dialog sebelumnya, rasanya kami baru pertama kali bertemu. Maka kumulai pembicaraan, kuharap ia tak keberatan bercerita.
“Sampai kapan terus memijit?”
Sampai tua, sampai renta, sampai tak kuat berjalan dan otot-otot tangan melemah. Lalu orang-orang hanya tahu namanya, itu saja. Mereka akan mengolok-olok perempuan tua bekas petualang. Sampai tenggorokan mereka kaku, nyeri karena terlalu banyak menyemooh. Dunia ini memang aneh, kabar burung selalu jadi raja daripada yang sebenarnya.
“Kabar burung?”
Ya, orang-orang cepat percaya pada kabar burung daripada bertanya secara pribadi. Mereka menganggapnya melacur, ya biar saja toh mulut mereka tak bisa disumpal satu per satu, repot sekali jadinya. Pekerjaannya sudah melelahkan ditambah mengurusi mulut bau mereka, buat apa? Cari lelah saja. Ia selalu bercerita dengan agak tersenyum kecil, seperti menyindir. Tapi siapa yang ia sindir?Sedikit kupaksa, ia mau bercerita.
Dulu ia pernah menikah, ia pernah berbahagia dengan lelaki yang tidak menganggapnya melacur. Lelaki itu memang baik, namun tak sebaik takdirnya. Tiga tahun tak juga hamil, ia dituduh mandul lalu ditinggal begitu saja, seenaknya. Kemudian lelaki itu menikah lagi, dan tak lama istrinya hamil hasil bergumul dengan pegawai bank. Semua orang tahu, namun semua orang diam.
“Siapa juga yang mandul, kok kamu yang dituduh?” Aku jadi ikut tersenyum kecil. “Jadi, kamu tidak mandul?”
Ia menepuk pelan bahuku. Mana pantas bertanya seperti itu. Ia tak menikah sejak ditinggal dulu, sejak itu pula ia tak tidur dengan lelaki manapun walau ia disebut-sebut melacur.
“Kamu masih bau kencur…” Ah, kenapa ia selalu menyebutku bau kencur.
Ia berkata begitu datar tentang lelaki.
“Aku sudah tak tertarik dengan urusan kelamin, aku hanya ingin hidup terus dan untuk itu aku perlu duit.” Itu saja, sangat sederhana.
Mengapa orang begitu buruk menilainya? Apakah pekerjaan memijit selalu identik dengan urusan kelamin? Aku ikut menyebutnya dengan urusan kelamin, sepertinya ia benar-benar tak tertarik lagi.
“Suamimu, eh mantan suamimu, sekarang bahagia?” Aku bertanya sembari melongokkan kepala meliriknya, ia tetap saja tertunduk asyik dengan jari-jarinya menggerayangi tubuhku.
Tak dijawab, tapi aku tak kecewa. Pasti sakit rasanya dicampakkan sepihak, lalu menjalani kehidupan menyandang nama buruk juga. Aku menjadi ngilu, aku trenyuh. “Aku tak butuh nama baik, ndak kenyang makan pakai nama baik.” Begitu kata-katanya selalu saja datar. Ia seperti tak tergugah untuk berontak. Aku bertanya, ia menjawabnya sambil lalu saja. Ia terlalu kuat dengan cobaannya ataukah terlalu lemah untuk berontak?
Ia dan bahagia seperti musuh bebuyutan, menurutku. “Mengapa tak menikah lagi, agar tak menyandang identitas jelek?” Ah, siapa pula lelaki yang mau dengan wanita yang melacur? Identitas itu demikian melekat sampai-sampai daun yang bergoyang saja mengatakan ia melacur. Mana ada lelaki sanggup membopong sebutan itu? Yang ada, mereka maunya mencicipi, menjajal sesekali, sudah itu puaslah mereka. Siapa pula yang mengurusi? Mereka itu lelaki, dan lelaki selalu mau enaknya saja. “Aku ini lelaki…” celotehku.
Hari ini cukup, ia mengemasi peralatannya, bergegas meninggalkanku untuk melayang-layang lagi menemui pelanggan lain, di desa lain, di seberang sungai-sungai yang lain. Aku mencoba memesannya lagi minggu depan. Ia tak menjawab dengan pasti, langganannya terlalu banyak. Dari sekian langganan itu apakah ia bercerita seperti denganku? Aku penasaran, lagi.
Aku melamun, perempuan itu mampu melayani sejumlah lelaki dengan terus menyandang nama jelek. Apakah semua lelaki ia keloni, dan hanya aku yang tidak? Ah, aku tahu pikiranku amat ngawur. Ia sudah begitu tegas mengatakan tak tertarik dengan urusan kelamin. Lalu mengapa tak satupun dari lelaki itu mencoba menyanggah identitas melacur yang disandang Martini? Adakah mereka terlena, sebab setelah Martini datang mereka dianggap telah tidur dengannya? Mengapa? Aku bingung dengan yang kupikirkan.
Aku harus bicara lebih banyak dengannya. Aku penuh pertanyaan. Aku sangat tak sabar.
Dan siang ini begitu terik. Aku tengah berdiri di depan rumah kecil, rumah Martini. Sepi. Ia pasti sedang melayang-layang di antara pelanggannya. Aku bersedia menunggu walau hingga larut. Di sini begitu sepi karena orang membencinya ataukah karena ia sendiri sebenarnya sudah tak betah? Itu salah satu pertanyaanku nanti jika ia datang.
Memang benar dugaanku yang pertama, orang-orang begitu benci dengan Martini. Mata mereka menatapku dengan aneh, seperti aku tak boleh berdiri di sini. Aku menatap mereka juga, tak ada kata-kata pasti, senyum juga tak ada. Aku merasa tak nyaman, tetapi aku ingat Martini, ia pernah berkata datar tentang mereka, “Aku tak butuh nama baik…”. Agak mendung ketika Martini pulang. Ia melihatku cukup lama, aku pun melihatnya cukup lama. Ia heran, aku tidak.
“Kamu mau apa datang ke sini?” katanya pelan sembari melambaikan tangannya menyuruhku mendekat ke pagar.
“Kamu pulang saja, ini mau hujan.” Oh, tidak. Aku sengaja datang untuk menemuinya, tentu aku tak mau pulang begitu saja.
“Pulang sana sebelum…” Ia berhenti bicara. Apa? Kenapa tak dilanjutkan? Ah, ia bergegas masuk ke dalam rumah, mengunci pintu tak mengizinkanku masuk.
“Kamu siapa, nak? Tamu mbak Martini? Atau pelanggan?” seorang lelaki mendekat.
Yah, aku sebenarnya ingin bicara tentang identitas yang disandang Martini namun aku urung ketika kulihat ia mengintip dari celah kecil gorden jendelanya. Ia tampak begitu enggan keluar, ia ketakutan. Takut pada lelaki inikah? “Ah, ya aku tamu.” Sebut saja begitu. Namun aku berbalik pulang, tak bisa bicara dengan Martini. Lelaki itu mengusirku sebab hari sudah malam, tak boleh bertamu selarut ini.
Gelo, kata orang-orang. Ada sesal kusimpan karena tak bisa bicara dengan Martini. Dan lelaki itu membuatku semakin penasaran. Lelaki itu, beberapa tahun lalu istrinya meninggal karena sakit keras. Setelah itu ia juga sakit, dan meminta Martini datang.
Namun entah siapa yang sial, sore itu Martini pulang dengan sangat tergesa. Orang-orang melihatnya berlari menuju rumah dan lelaki itu tak keluar dari rumahnya. Rupanya, lelaki itu mengaku telah meniduri Martini. Semua orang percaya, semua orang membencinya. Aneh, kataku, mengapa yang dibenci Martini, bukan lelaki itu? Pak Kadim, tukang becak langganan Martini tak melanjutkan ceritanya. Ia tak tahu banyak, namun ia bilang Martini tidak melacur.
“Tanya saja padanya langsung, aku tak tahu banyak.”
Oh, lelaki itu penyebabnya. Lelaki yang mengaku-ngaku telah meniduri Martini, namun gagal. Ia kesal dan mengaku-ngaku ke seluruh desa. Pengakuannya membangkitkan semua lelaki untuk ikut mengaku-ngaku. Semua lelaki tak mau kalah, sebab Martini memang cantik. Semua lelaki mengaku-ngaku membuat semua istri mereka marah. Semua istri marah sehingga Martini tak betah di desa itu. Ia memilih pergi di siang hari.
“Sudah cukup. Itu saja yang bisa kukatakan. Dan sekarang, jangan lagi penasaran.” kata Martini. Ia datang, menemuiku. Seperti tahu aku selalu penasaran tentangnya, ia datang membawakanku cerita. Aku menyimak. Aku diam. Manggut-manggut. Aku semangat. Aku ingin lagi.
“Kamu tak ingin pergi dari desa itu? Kalau sudah tak nyaman, untuk apa terus di sana?” Aku bertanya, berharap ia mengemasi barang-barangnya lalu pergi dari desa itu.
“Kalau aku pergi, orang-orang akan yakin jika aku memang seperti anggapan mereka. Tetapi tidak, kalaupun ada yang harus pergi, ya mereka semua. Aku tidak.” Ia menjawab dengan tidak emosi. Ia selalu datar, tak menunjukkan gerah. Ia memang lain.
“Ikut aku, tinggal di sini.” Kalimatku membuatnya menatapku sangat lama.
Aku melihat lingkaran matanya bergerak-gerak. Ia menatapku, menatap ke dalam jantungku. Aku gemetar.
“Kamu masih bau kencur…” Katanya sembari tersenyum meninggalkan rumahku.
Ia pergi begitu cepatnya, aku bahkan masih memikirkan kalimatku tadi. Aku menjadi heran sendiri dengan diriku. Aku tak lagi tertarik karena kisahnya, namun juga tertarik padanya. Aku ngilu.
Ah, aku tahu ia akan mengatakan aku masih bau kencur. Aku tak kecewa, namun aku akan datang lagi menemuinya. Suatu saat nanti, pasti.