Perkampungan di pulau Sebatik (Photo by Oyin) |
Postingan ini menceritakan suka dan dukanya menjadi penduduk di pulau terluar Indonesia yang berbantasan langsung dengan negara jiran Malaysia. Walaupun berupa Opini, tapi mungkin baik untuk kita renungkan sebagai penambah wawasan dan rasa kebangsaan kita.
Garuda didadaku Malaysia di perutku ! Itulah realita yang terjadi di daerah perbatasan. Sangat memprihatinkan.
Mungkin bagi orang yang tinggal di Pulau Jawa dan bisa menikmati segala kemewahan, begitu ada sedikit masalah dengan Malaysia mereka dengan mudahnya mengatakan Ganyang Malaysia. Mereka tidak memikirkan bagaimana nasib sejumlah saudara kita yang berdiam di perbatasan yang hidupnya sangat bergantung dengan Negeri jiran tersebut...
Rasa nasionalisme akan timbul bilamana identitas bangsa yang di impikan terwujud. Yaitu rasa keadilan, rakyat bisa hidup makmur dan sejahtera. Bila elemen tadi terwujud, betapa hebatnya negara kita yang memiliki aneka ragam budaya dan melimpahnya sumber daya alam.
Seorang anggota Marinir penjaga pantai pulau Sebatik (Photo by Oyin) |
Berbicara Nasionalisme, masyarakat di perbatasanlah yang secara langsung bisa merasakan. Masyarakat disini, dalam melakukan aktivitas perekonomiannya, menggunakan dua mata uang berbeda yaitu rupiah dan ringgit. Berlakunya kedua mata uang ini sudah dianggap biasa karena masyarakat yang tinggal dekat dengan Tawau (negara bagian Sabah Malaysia) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya harus membeli di pasar Tawau.
Seluruh kebutuhan masyarakat Pulau Sebatik adalah produk asal Malaysia. Penggunaan mata uang Malaysia di Pulau Sebatik disebabkan seluruh hasil bumi warga dipasarkan di Tawau, misalnya kelapa sawit, pisang, sayuran dan kakao.
Disisi lain, sarana yang berupa pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, air minum dan sanitasi, sangat memprihatinkan. Belum lagi irigasi untuk lahan pertanian tak kalah buruk. Jika hal ini berlangsung lama, tak ayal merupakan lubang besar negara Malaysia untuk masuk dan menggoyahkan kedaulatan NKRI.
Pemerintah seakan menutup mata. Dana perimbangan untuk provinsi Kaltim pun ditolak MK dengan alasan kepentingan Nasional. Pihak penggugat menilai selama ini porsi bagi hasil minyak bumi 15 persen untuk daerah penghasil dan 85 persen untuk pusat sesuai UU 33/2004 tidak proposional. Padahal itu adalah sebuah solusi untuk memajukan pembangunan di daerah perbatasan yang tertinggal.
Aktifitas di daerah Entikong Kalimantan Barat dan Kuching Malaysia.
Sumber bacaan :
http://unik.kompasiana.com/2012/03/25/temajuk-sepotong-surga-antara-indonesia-malaysia-bagian-i-449218.html
http://regional.kompasiana.com/2013/03/03/garuda-di-dadaku-malaysia-di-perutku-539588.html