Adakah misteri di danau ini ? Okey, pada malam hari yang sunyi dan dingin sewaktu mengikuti acara KKN, salah satu penduduk desa yang bernama mbah Sarwi bercerita pada Oyin tentang misteri Rawapening.
Mendengar ungkapan isi hati istrinya, Ki Sangidu menghela nafas panjang.
“Sudahlah, Dik. Barangkali belum waktunya Tuhan memberi kita anak. Yang penting kita harus berusaha dan terus berdoa kepada-Nya,” ujar Ki Sangidu.
“Iya, Kakang,” jawab Nyai Selokonto sambil meneteskan air mata.
Ki Sangidu pun tak kuasa menahan air matanya melihat kesedihan istri yang amat dicintainya itu.
“Baiklah, Dinda. Jika memang Dinda sangat menginginkan anak, izinkanlah Kakang pergi bertapa untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa,” kata Ki Sangidu.
Nyai Selokonto pun memenuhi keinginan suaminya, meskipun berat untuk berpisah. Keesokan harinya, berangkatlah Ki Sangidu ke lereng Gunung Telomoyo. Tinggallah kini Nyai Selokonto seorang diri dengan hati semakin sepi.
Berminggu-minggu, bahkan sudah berbulan-bulan Nyai Selokonto menunggu, namun sang suami belum juga kembali dari pertapaannya. Hati wanita itu pun mulai diselimuti perasaan cemas kalau-kalau terjadi sesuatu pada suaminya.
Suatu hari, Nyai Selokonto merasa mual dan kemudian muntah-muntah. Ia pun berpikir bahwa dirinya sedang hamil. Ternyata dugaannya benar. Semakin hari perutnya semakin membesar. Setelah tiba saatnya, ia pun melahirkan. Namun, alangkah terkejutnya ia karena anak yang dilahirkan bukanlah seorang manusia, melainkan seekor naga.
Kemudian, anak yang di lahirkannya ini diberi nama Baru Klinthing, nama ini diambil dari nama tombak milik suaminya yang bernama Baru Klinthing. Kata “baru” berasal dari kata bra yang artinya keturunan Brahmana, yaitu seorang resi yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sementara kata “Klinthing” berarti lonceng.
Untuk menutupi hal tersebut, ia pun berniat untuk mengasingkan Baru Klinthing ke Bukit Tugur. Tapi sebelum itu, ia harus merawatnya terlebih dahulu hingga besar agar dapat menempuh perjalanan menuju ke lereng Gunung Telomoyo yang jaraknya cukup jauh. Tentu saja, Nyai Selokonto merawat Baru Klinthing dengan sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan warga.
Waktu terus berjalan. Baru Klinthing pun tumbuh menjadi remaja. Suatu hari, anak itu bertanya kepada ibunya.
“Bu, apakah aku mempunyai ayah?” tanyanya dengan polos.
Nyai Selokonto tersentak kaget. Ia benar-benar tidak pernah menduga pertanyaan itu keluar dari mulut anaknya. Namun, hal itu telah menyadarkan dirinya bahwa sudah saatnya Baru Klinthing mengetahui siapa ayahnya.
“Tapi, Bu. Apakah ayah mau mempercayaiku dengan tubuhku seperti ini?” tanya Baru Klinthing dengan ragu.
“Jangan khawatir, Anakku! Bawalah pusaka tombak Baru Klinthing ini sebagai bukti,” ujar Nyai Selokonto, “Pusaka itu milik ayahmu.”
Setelah memohon restu dan menerima pusaka dari ibunya, Baru Klinthing berangkat menuju lereng Gunung Telomoyo. Setiba di sana, masuklah ia ke dalam gua dan mendapati seorang laki-laki sedang duduk bersemedi. Kedatangan Baru Klinting rupanya mengusik ketenangan pertapa itu.
“Hai, siapa itu?” tanya pertapa.
“Maafkan saya, tuan, jika kedatangan saya mengganggu ketenangan Tuan,” kata Baru Klinting.
Betapa terkejutnya pertapa itu saat melihat seekor naga yang dapat berbicara.
“Siapa kamu dan kenapa kamu bisa berbicara seperti manusia?” tanya pertapa itu dengan heran.
“Saya Baru Klinthing,” jawab Baru Klinthing. “Kalau boleh tahu, apakah benar ini tempat pertapaan Ki Sangidu?”
“Iya, aku Ki Sangidu. Tapi, bagaimana kamu tahu namaku? Siapa kamu sebenarnya?” tanya pertapa itu penasaran.
Mendengar jawaban itu, Baru Klinthing langsung bersembah sujud di hadapan ayahnya. Ia kemudian menjelaskan siapa dirinya. Awalnya, Ki Sangidu tidak percaya jika dirinya memiliki anak berwujud seekor naga. Ketika naga itu menunjukkan pusaka Baru Klinthing kepadanya, Ki Sangidu pun mulai percaya. Namun, ia belum yakin sepenuhnya.
“Baiklah, aku percaya jika pusaka Baru Klinthing itu adalah milikku. Tapi, bukti itu belum cukup bagiku. Jika kamu memang benar-benar anakku, coba kamu lingkari Gunung Telomoyo ini!” ujar Ki Sangidu.
Baru Klinthing segera melaksanakan perintah tersebut untuk meyakinkan sang ayah. Berbekal kesaktian yang dimiliki, Baru Klinting berhasil melingkari Gunung Telomoyo. Akhirnya, Ki Sangidu pun mengakui bahwa naga itu adalah anaknya. Setelah itu, ia kemudian memerintahkan anaknya untuk bertapa di Bukit Tugur.
“Pergilah bertapa ke Bukit Tugur!” ujar Ki Sangidu, “Suatu saat kelak, tubuhmu akan berubah menjadi manusia.”
“Baik,” jawab Baru Klinthing.
Sementara itu, tersebutlah sebuah desa bernama Pathok. Desa ini sangat makmur, namun sayang penduduk desa ini sangat angkuh. Suatu ketika, penduduk Desa Pathok bermaksud mengadakan merti dusun (bersih desa), yaitu pesta sedekah bumi setelah panen.
Untuk memeriahkan pesta, akan digelar berbagai pertunjukan seni dan tari. Berbagai makanan lezat pun disajikan sebagai hidangan bersama dan jamuan untuk para tamu undangan. Untuk itulah, para warga beramai-ramai berburu binatang di Bukit Tugur.
Sudah hampir seharian mereka berburu, namun belum satu pun binatang yang tertangkap. Ketika hendak kembali ke desa, tiba-tiba mereka melihat seekor naga sedang bertapa. Naga ini tak lain adalah Baru Klinthing. Mereka pun beramai-ramai menangkap dan memotong-motong daging naga itu lalu membawanya pulang. Setiba di desa, daging naga itu mereka masak untuk dijadikan hidangan dalam pesta.
Ketika para warga sedang asyik berpesta, datanglah seorang anak laki-laki yang tubuhnya penuh dengan luka sehingga menimbulkan bau amis. Rupanya, anak laki-laki itu adalah penjelmaan Baru Klinthing.
Oleh karena lapar, Baru Klinthing pun ikut bergabung dalam keramaian itu. Saat ia meminta makanan kepada warga, tak satu pun yang mau memberi makan. Mereka justru memaki-maki, bahkan mengusirnya.
“Hai, pengemis. Cepat pergi dari sini!” usir para warga, “Tubuhmu bau amis sekali.”
Sungguh malang nasib Baru Klinthing. Dengan perut keroncongan, ia pun berjalan sempoyongan hendak meninggalkan desa. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang janda tua bernama Nyi Klatung.
“Hai, anak muda. Kenapa kamu tidak ikut berpesta?” tanya Nyi Klantung.
“Semua orang menolak kehadiranku di pesta itu. Mereka jijik melihat tubuhku,” jawab Baru Klinthing, “Padahal, saya lapar sekali.”
Nyi Klantung yang baik hati itu pun mengajak Baru Klinthing ke rumahnya. Nenek itu segera menghidangkan makanan lezat.
“Terima kasih, Nek,” ucap Baru Klinthing, “Ternyata masih ada warga yang baik hati di desa ini.”
“Iya, cucuku. Semua warga di sini memiliki sifat angkuh. Mereka pun tidak mengundang Nenek ke pesta karena jijik melihatku,” ungkap Nyi Klantung.
“Kalau, begitu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Baru Klinthing.
“Jika nanti Nenek mendengar suara gemuruh, segeralah siapkan lesung kayu (lumpang: alat menumbuk padi)!”
Baru Klinthing kembali ke pesta dengan membawa sebatang lidi. Setiba di tengah keramaian, ia menancapkan lidi itu ke tanah.
“Wahai, kalian semua. Jika kalian merasa hebat, cabutlah lidi yang kutancapkan ini!” tantang Baru Klinthing.
Merasa diremehkan, warga pun beramai-ramai hendak mencabut lidi itu. Mula-mula, para anak kecil disuruh mencabutnya, tapi tak seorang pun yang berhasil. Ketika giliran para kaum perempuan, semuanya tetap saja gagal.
Akhirnya, kaum laki-laki yang dianggap kuat pun maju satu persatu. Namun, tak seorang pun dari mereka yang mampu mencabut lidi tersebut.
“Ah, kalian semua payah. Mencabut lidi saja tidak bisa,” kata Baru Klinthing.
Baru Klinthing segera mencabut lidi itu. Karena kesaktiannya, ia pun mampu mencabut lidi itu dengan mudahnya. Begitu lidi itu tercabut, suara gemuruh pun menggentarkan seluruh isi desa. Beberapa saat kemudian, air menyembur keluar dari bekas tancapan lidi itu.
Semakin lama semburan air semakin besar sehingga terjadilah banjir besar. Semua penduduk kalang kabut hendak menyelamatkan diri. Namun, usaha mereka sudah terlambat karena banjir telah menenggelamkan mereka. Seketika, desa itu pun berubah menjadi rawa atau danau, yang kini dikenal dengan Rawapening.
Sementara itu, usai mencabut lidi, Baru Klinthing segera berlari menemui Nyi Klantung yang sudah menunggu di atas lesung yang berfungsi sebagai perahu. Maka, selamatlah ia bersama nenek itu. Setelah peristiwa itu, Baru Klinthing kembali menjadi naga untuk menjaga Rawa Pening.
Malampun semakin kelam, hanya suara daun yang bergesekan diterpa angin dan lolongan anjing hutan yang terdengar dari kejauhan... Dingin mulai membekukan badan, akhirnya tak terasa Oyin pun tertidur lelap dengan memeluk tas ransel sebagai penahan dinginnya udara malam...