» » Romantika KKN di Rawapening

Pembaca :
Selamat datang Oyiner,  kali ini Oyin memposting tentang asal mula terbentuknya salah satu tempat wisata air di Jawa Tengah, yaitu Rawapening. Dengan pesona alamnya nan elok,  udara pegunungan yang sejuk membuat  kita seakan memasuki taman Firdaus. Kebetulan Oyin sewaktu tugas KKN berada di salah satu desa di Kabupaten Semarang ini yaitu Banyubiru. (Untuk pembesaran foto silahkan arahkan mouse Oyiner  pada foto yang dipilih).


Oyin foto galllery

Rawa Pening adalah sebuah danau yang merupakan salah satu obyek wisata air di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Danau ini tepatnya berada di cekungan terendah antara Gunung Merbabu, Telomoyo, dan Ungaran. Rawa Pening memiliki luas sekitar 2.670 hektar yang menempati empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru.

Adakah misteri di danau ini ? Okey, pada malam hari yang sunyi dan dingin sewaktu mengikuti acara KKN, salah satu penduduk desa yang bernama mbah Sarwi bercerita pada Oyin tentang misteri Rawapening.

Dahulu, di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo terdapat sebuah desa bernama Ngasem. Di desa itu tinggal sepasang suami-istri yang bernama Ki Sangidu dan Nyai Selokonto yang dikenal pemurah dan suka menolong sehingga sangat dihormati oleh masyarakat. Sayangnya, mereka belum mempunyai anak. Meskipun demikian, Ki Sangidu dan istrinya selalu hidup rukun. Setiap menghadapi permasalahan, mereka selalu menyelesaikannya melalui musyawarah.

Suatu hari, Nyai Selokonto duduk termenung seorang diri di depan rumahnya. Tak lama kemudian, Ki Sangidu datang menghampiri dan duduk di sampingnya.

“Istriku, kenapa kamu terlihat sedih begitu?” tanya Ki Sangidu.
Nyai Selokonto masih saja terdiam. Ia rupanya masih tenggelam dalam lamunannya sehingga tidak menyadari keberadaan sang suami di sampingnya. Ia baru tersadar setelah Ki Sangidu memegang pundaknya.
“Eh, Kakang,” ucapnya dengan terkejut.

“Istriku, apa yang sedang kamu pikirkan?” Ki Sangidu kembali bertanya.
“Tidak memikirkan apa-apa, Kakang. Dinda hanya merasa kesepian, apalagi jika Kakang sedang pergi. Sekiranya di rumah ini selalu terdengar suara tangis dan rengekan seorang bayi, tentu hidup ini tidak sesepi ini,” ungkap Nyai Selokonto, “Sejujurnya Kakang, Dinda ingin sekali mempunyai anak. Dinda ingin merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.”

gallery thumbnail

Mendengar ungkapan isi hati istrinya, Ki Sangidu menghela nafas panjang.
“Sudahlah, Dik. Barangkali belum waktunya Tuhan memberi kita anak. Yang penting kita harus berusaha dan terus berdoa kepada-Nya,” ujar Ki Sangidu.

“Iya, Kakang,” jawab Nyai Selokonto sambil meneteskan air mata.

Ki Sangidu pun tak kuasa menahan air matanya melihat kesedihan istri yang amat dicintainya itu.

“Baiklah, Dinda. Jika memang Dinda sangat menginginkan anak, izinkanlah Kakang pergi bertapa untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa,” kata Ki Sangidu.

Nyai Selokonto pun memenuhi keinginan suaminya, meskipun berat untuk berpisah. Keesokan harinya, berangkatlah Ki Sangidu ke lereng Gunung Telomoyo. Tinggallah kini Nyai Selokonto seorang diri dengan hati semakin sepi.

Berminggu-minggu, bahkan sudah berbulan-bulan Nyai Selokonto menunggu, namun sang suami belum juga kembali dari pertapaannya. Hati wanita itu pun mulai diselimuti perasaan cemas kalau-kalau terjadi sesuatu pada suaminya.

Suatu hari, Nyai Selokonto merasa mual dan kemudian muntah-muntah. Ia pun berpikir bahwa dirinya sedang hamil. Ternyata dugaannya benar. Semakin hari perutnya semakin membesar. Setelah tiba saatnya, ia pun melahirkan. Namun, alangkah terkejutnya ia karena anak yang dilahirkan bukanlah seorang manusia, melainkan seekor naga.

Kemudian, anak yang di lahirkannya ini diberi nama Baru Klinthing, nama ini diambil dari nama tombak milik suaminya yang bernama Baru Klinthing. Kata “baru” berasal dari kata bra yang artinya keturunan Brahmana, yaitu seorang resi yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sementara kata “Klinthing” berarti lonceng.

Ajaibnya, meskipun berwujud naga, Baru Klinthing dapat berbicara seperti manusia. Nyai Selokonto pun terheran-heran bercampur haru melihat keajaiban itu. Namun di sisi lain, ia juga sedikit merasa kecewa. Sebab, betapa malunya ia jika warga mengetahui bahwa dirinya melahirkan seekor naga.

Untuk menutupi hal tersebut, ia pun berniat untuk mengasingkan Baru Klinthing ke Bukit Tugur. Tapi sebelum itu, ia harus merawatnya terlebih dahulu hingga besar agar dapat menempuh perjalanan menuju ke lereng Gunung Telomoyo yang jaraknya cukup jauh. Tentu saja, Nyai Selokonto merawat Baru Klinthing dengan sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan warga.

Waktu terus berjalan. Baru Klinthing pun tumbuh menjadi remaja. Suatu hari, anak itu bertanya kepada ibunya.
“Bu, apakah aku mempunyai ayah?” tanyanya dengan polos.

Nyai Selokonto tersentak kaget. Ia benar-benar tidak pernah menduga pertanyaan itu keluar dari mulut anaknya. Namun, hal itu telah menyadarkan dirinya bahwa sudah saatnya Baru Klinthing mengetahui siapa ayahnya.

“Tapi, Bu. Apakah ayah mau mempercayaiku dengan tubuhku seperti ini?” tanya Baru Klinthing dengan ragu.
“Jangan khawatir, Anakku! Bawalah pusaka tombak Baru Klinthing ini sebagai bukti,” ujar Nyai Selokonto, “Pusaka itu milik ayahmu.”

Setelah memohon restu dan menerima pusaka dari ibunya, Baru Klinthing berangkat menuju lereng Gunung Telomoyo. Setiba di sana, masuklah ia ke dalam gua dan mendapati seorang laki-laki sedang duduk bersemedi. Kedatangan Baru Klinting rupanya mengusik ketenangan pertapa itu.

“Hai, siapa itu?” tanya pertapa.
“Maafkan saya, tuan, jika kedatangan saya mengganggu ketenangan Tuan,” kata Baru Klinting.

Betapa terkejutnya pertapa itu saat melihat seekor naga yang dapat berbicara.

“Siapa kamu dan kenapa kamu bisa berbicara seperti manusia?” tanya pertapa itu dengan heran.
“Saya Baru Klinthing,” jawab Baru Klinthing. “Kalau boleh tahu, apakah benar ini tempat pertapaan Ki Sangidu?”
“Iya, aku Ki Sangidu. Tapi, bagaimana kamu tahu namaku? Siapa kamu sebenarnya?” tanya pertapa itu penasaran.

gallery thumbnail

Mendengar jawaban itu, Baru Klinthing langsung bersembah sujud di hadapan ayahnya. Ia kemudian menjelaskan siapa dirinya. Awalnya, Ki Sangidu tidak percaya jika dirinya memiliki anak berwujud seekor naga. Ketika naga itu menunjukkan pusaka Baru Klinthing kepadanya, Ki Sangidu pun mulai percaya. Namun, ia belum yakin sepenuhnya.

“Baiklah, aku percaya jika pusaka Baru Klinthing itu adalah milikku. Tapi, bukti itu belum cukup bagiku. Jika kamu memang benar-benar anakku, coba kamu lingkari Gunung Telomoyo ini!” ujar Ki Sangidu.

Baru Klinthing segera melaksanakan perintah tersebut untuk meyakinkan sang ayah. Berbekal kesaktian yang dimiliki, Baru Klinting berhasil melingkari Gunung Telomoyo. Akhirnya, Ki Sangidu pun mengakui bahwa naga itu adalah anaknya. Setelah itu, ia kemudian memerintahkan anaknya untuk bertapa di Bukit Tugur.

“Pergilah bertapa ke Bukit Tugur!” ujar Ki Sangidu, “Suatu saat kelak, tubuhmu akan berubah menjadi manusia.”
“Baik,” jawab Baru Klinthing.

Sementara itu, tersebutlah sebuah desa bernama Pathok. Desa ini sangat makmur, namun sayang penduduk desa ini sangat angkuh. Suatu ketika, penduduk Desa Pathok bermaksud mengadakan merti dusun (bersih desa), yaitu pesta sedekah bumi setelah panen.

Untuk memeriahkan pesta, akan digelar berbagai pertunjukan seni dan tari. Berbagai makanan lezat pun disajikan sebagai hidangan bersama dan jamuan untuk para tamu undangan. Untuk itulah, para warga beramai-ramai berburu binatang di Bukit Tugur.

Sudah hampir seharian mereka berburu, namun belum satu pun binatang yang tertangkap. Ketika hendak kembali ke desa, tiba-tiba mereka melihat seekor naga sedang bertapa. Naga ini tak lain adalah Baru Klinthing. Mereka pun beramai-ramai menangkap dan memotong-motong daging naga itu lalu membawanya pulang. Setiba di desa, daging naga itu mereka masak untuk dijadikan hidangan dalam pesta.

Ketika para warga sedang asyik berpesta, datanglah seorang anak laki-laki yang tubuhnya penuh dengan luka sehingga menimbulkan bau amis. Rupanya, anak laki-laki itu adalah penjelmaan Baru Klinthing.

Oleh karena lapar, Baru Klinthing pun ikut bergabung dalam keramaian itu. Saat ia meminta makanan kepada warga, tak satu pun yang mau memberi makan. Mereka justru memaki-maki, bahkan mengusirnya.

“Hai, pengemis. Cepat pergi dari sini!” usir para warga, “Tubuhmu bau amis sekali.”
Sungguh malang nasib Baru Klinthing. Dengan perut keroncongan, ia pun berjalan sempoyongan hendak meninggalkan desa. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang janda tua bernama Nyi Klatung.

“Hai, anak muda. Kenapa kamu tidak ikut berpesta?” tanya Nyi Klantung.
“Semua orang menolak kehadiranku di pesta itu. Mereka jijik melihat tubuhku,” jawab Baru Klinthing, “Padahal, saya lapar sekali.”

Nyi Klantung yang baik hati itu pun mengajak Baru Klinthing ke rumahnya. Nenek itu segera menghidangkan makanan lezat.

“Terima kasih, Nek,” ucap Baru Klinthing, “Ternyata masih ada warga yang baik hati di desa ini.”
“Iya, cucuku. Semua warga di sini memiliki sifat angkuh. Mereka pun tidak mengundang Nenek ke pesta karena jijik melihatku,” ungkap Nyi Klantung.

“Kalau, begitu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Baru Klinthing.
“Jika nanti Nenek mendengar suara gemuruh, segeralah siapkan lesung kayu (lumpang: alat menumbuk padi)!”

Baru Klinthing kembali ke pesta dengan membawa sebatang lidi. Setiba di tengah keramaian, ia menancapkan lidi itu ke tanah.

“Wahai, kalian semua. Jika kalian merasa hebat, cabutlah lidi yang kutancapkan ini!” tantang Baru Klinthing.

Merasa diremehkan, warga pun beramai-ramai hendak mencabut lidi itu. Mula-mula, para anak kecil disuruh mencabutnya, tapi tak seorang pun yang berhasil. Ketika giliran para kaum perempuan, semuanya tetap saja gagal.

Akhirnya, kaum laki-laki yang dianggap kuat pun maju satu persatu. Namun, tak seorang pun dari mereka yang mampu mencabut lidi tersebut.

“Ah, kalian semua payah. Mencabut lidi saja tidak bisa,” kata Baru Klinthing.

Baru Klinthing segera mencabut lidi itu. Karena kesaktiannya, ia pun mampu mencabut lidi itu dengan mudahnya. Begitu lidi itu tercabut, suara gemuruh pun menggentarkan seluruh isi desa. Beberapa saat kemudian, air menyembur keluar dari bekas tancapan lidi itu.

Semakin lama semburan air semakin besar sehingga terjadilah banjir besar. Semua penduduk kalang kabut hendak menyelamatkan diri. Namun, usaha mereka sudah terlambat karena banjir telah menenggelamkan mereka. Seketika, desa itu pun berubah menjadi rawa atau danau, yang kini dikenal dengan Rawapening.

gallery thumbnail

Sementara itu, usai mencabut lidi, Baru Klinthing segera berlari menemui Nyi Klantung yang sudah menunggu di atas lesung yang berfungsi sebagai perahu. Maka, selamatlah ia bersama nenek itu. Setelah peristiwa itu, Baru Klinthing kembali menjadi naga untuk menjaga Rawa Pening.

Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah sifat angkuh, sombong, dan tidak menghargai orang lain adalah sifat tidak terpuji. Saling membantu dan saling tolong menolong merupakan perbuatan baik yang patut untuk dicontoh, tanpa memandang latar belakang status sosial, agama, asal, dan kondisi fisik orang yang ditolong.


Malampun semakin kelam, hanya suara daun yang bergesekan diterpa angin dan lolongan anjing hutan yang terdengar dari kejauhan... Dingin mulai membekukan badan, akhirnya tak terasa Oyin pun tertidur lelap dengan memeluk tas ransel sebagai penahan dinginnya udara malam...




Disclaimer
Oyin Ayashi admits that though we try to describe accurately, we cannot verify the exact facts of everything posted. Postings may contain Information, speculation or rumor. We find images from the Web that are believed to belong in the public domain. If any stories or photos that appear on the site are in violation of copyright law, please write in comment box and we will remove the offending section as soon as possible. (Oyiners = Blog reader)

Above article written by Unknown

bean
Hi there!, You just read an article Romantika KKN di Rawapening . Thank you for visiting our blog. We are really enthusiastic in Blogging. In our personal life we spend time on photography, mount climbing, snorkeling, and culinary. And sometimes We write programming code.
«
Next
Newer Post
»
Next
Older Post

Silakan beri komentar dengan akun facebook Anda