Matahari di jam empat sore. Setengah panas, setengah dingin. Hangat. Setengah terang, setengah gelap. Remang–remang. Membuat Senja terdiam, memandangi awan dari kotak jendela yang lebar–lebar hingga mirip pintu. “Awan–awan yang terbebas.”
Tak seperti rasa ngilu di ulu hatinya yang pasti muncul saat matahari seperti itu, bahkan di musim dingin. Ruang di dalam hatinya itu tak mau menjadi kosong, meskipun ini sudah yang ke sekian kali. Di hari pertama itu Senja mulai menyadari ada semacam ngilu menyusup ke dadanya. Berulang kali ia memeriksa ponselnya, berharap tak ada bunyi telepon, bunyi sms, atau bunyi-bunyi apapun selain bunyi notifikasi dari provider bahwa pesan-pesannya berhasil terkirim. Bukan lagi tertulis “waiting”, “waiting”, karena belasan pesan sebelumnya tertulis “failed”. Di tiga jam pertama, lalu tiga hari pertama, lalu entah.
Seakan tak mau pergi, rasa ngilu itu justru membangunkan perih di lambungnya. Itu adalah rasa perih yang tak biasa. Yang bisa muncul walau sehabis makan, kadang muncul di pagi hari, bahkan di malam hari saat ia beranjak tidur. Hal–hal seperti itu membuatnya gelisah, tak bisa tidur, walau sudah memeluk selimut yang kusut ia tak peduli dingin sudah memenuhi kamarnya.
“Sham... Sham... Buat aku tidur. Sham...” Ia memaksa tubuhnya untuk pura–pura tidur, tidur dalam kepalsuan pun sangat indah baginya. Dengan sibuk memindah-mindahkan ponsel, dari meja ke dekat bantalnya lalu ke meja lagi. Begitu, berulang-ulang dan belum satupun tertulis “send....” Please, kata hatinya.
Ada sebuah kotak kardus di kamarnya tapi tak pernah dibuka. Ia sengaja memesannya di toko souvenir, sebuah kotak kardus ukuran 20 x 30 cm yang dibungkus kertas kado berwarna hitam. Polos. Tanpa motif. Tanpa pita. Hanya lem yang boleh melekat.
Senja ingat apa saja yang ia masukkan ke dalam kotak itu, tetapi pura-pura lupa. Meski tangannya menyenggol, meski spons bedaknya jatuh di tutup kotak itu, meski debu-debu dibiarkannya menempel seumpama bedak di pipinya. Karena ia suka bergegas. Segalanya ingin diselesaikan dengan cepat. Cepat-cepat.
Suatu kali ia berhenti, menyentuh tutup kotak itu. Hanya menyentuh, tetapi pikirannya langsung terbang ke masa lalu. Tak ada yang lebih menakutkan selain menyimpan masa lalu dalam sebuah kotak yang disimpan di sudut kamarnya. Masa lalu yang berbobot, sebuah kenangan. Bukan satu buah, tetapi banyak buah, barangkali seperti siap dipanen. “Tetapi kapan...”
Tak ada pesan, tulisan, atau ucapan sebagai penanda atau pertanda tentang pertanyaan di dalam hatinya. “Bagaimana hati bisa bertanya?” Hati adalah organ di sisi kanan yang sering disebut-sebut sambil memegang dada kiri. Bukankah di situ ada jantung. Dan yang terasa sakit itu adalah ulu hati, terasa nyeri.
Senja ingin menangis. “Bolehkah...” Tetapi ia harus tersenyum, setidaknya bersikap biasa, pura-pura tak terjadi apa-apa. Walaupun entah hati, ulu hati, atau jantungnya terus gelisah. Ada badai di sana. “Ayolah,, please. Send..send..send..!!”
Hari ini lain. Senja merindu.
Dibukanya kotak itu. Isinya lalu beterbangan mengelilingi kelapanya, memenuhi pikirannya. Ada selembar kertas, hampir seperti surat. Tetapi apakah bisa disebut surat kalau kertas itu tak pernah dikirimkan.
Tetapi sekarang lain, tak ada bunyi apapun dari ponselnya. “Belum...” Senja berusaha menghibur perasaannya sendiri. “Kepalaku pusing, perutku perih.” Perih yang sungguh aneh, karena bisa muncul dan bertengger agak lama tetapi seketika lenyap oleh sebuah sapaan ‘merengut’ di layar ponselnya.
Senja merindukan sapaan itu. Sapaan yang cukup satu saja tetapi khas, hanya nomor itu yang mengirim sapaan sebuah emotikon ‘merengut’. Tak ada yang lain, karena itu ia menjadi sangat istimewa sekaligus dirindukan. Seperti saat ini.
Iya, ini sudah menyiksa. “Oke..Oke..” walaupun sudah pasti Senja menitikkan air mata. Tak bisa disebut menangis karena cuma dua tetes. Tetapi bukankah air mata yang menetes saat terdiam itu justru mengandung jutaan emosi tak terbentuk karena sudah begitu bercampur. Dan meskipun ini bukan kali pertama, sensasinya selalu sama. Tak ada rindu yang tak menyiksa.
Di dalam kotak itu ada kotak lagi, lebih kecil. Kotak ponsel. Ah, ia menyimpan ponsel. Senja menyimpan ponsel itu tetapi tak benar-benar ingin menyimpannya. Meskipun daya batreinya begitu lemah, Senja ingin selalu memegangnya. Itulah benda pertama yang diberikan untuknya. Diberikan cuma-cuma karena alasan cinta. Membuat benda-benda setelahnya menjadi tidak teramat istimewa karena ponsel itulah yang pertama.
Sebuah ponsel yang bernilai jutaan, mungkin jika dihitung sebagai benda ‘second’ hanya bernilai setengahnya saja, namun menyimpan kenangan bertriliunan kata. Itu adalah media bertukar kata, suara, juga emotikon ‘merengut’ yang ia rindukan. Senja amat menyayangi benda itu, karenanya selalu menyimpannya dalam kotak istimewa. Seistimewa triliunan kenangan di dalamnya.
“Kamu, di suatu tempat, aku ingin kamu membaca ini. Di antara surat-surat yang tak berani kukirimkan padamu, mungkin ini yang boleh kamu baca...”
Akan ada pagi esok hari. Sama seperti pagi ini dan sebelumnya. Selalu saja matahari muncul di ufuk timur diikuti riuh kokok ayam bersahutan. Kemudian embun memanas dan kering pada dahan yang terbangun dari kemalasannya. Nyala siang menggebu menyayat kulit dan debu menyaingi pandangan mata ke sekitarku.
Denting, yang tak pernah melaju surut, tenang dalam diamnya namun kadang menggilas pesona senja lalu menjadikannya gelap oleh malam. Langkahku pelan kembali pada malam-malam seperti biasanya. Senjaku selalu sama seperti pagiku. Dan di antara siang dan malam yang berganti aku bersembunyi dalam sesak dada. Riuh sekali kudengar di sana berteriak pada satu nama. Meskipun hening yang selalu tampak pada bola mata sayu ini. Seolah mencari pagi yang tak sama. Seolah mengharap siang dan malam yang menjelmakan mimpi-mimpiku.
“Aku ingin tertidur...” Benar-benar tidur hingga tak butuh mimpi lagi.
*ditulis oleh Oyin, 07-01-2015