Cerpen 'Empat Dimensi' : antara ada dan tiada
Pagi
Seperti biasa aku akan bangun lebih dulu darimu. Tak butuh alaram atau jam weker untuk membangunkanku, juga tak perlu kokok ayam yang seringkali lebih lambat. Ya, pada sisa gelap menuju terang aku terbangun setiap harinya, entah apa yang membangunkanku. Kulihat kau masih lelap, aku tak berani membangunkanmu bahkan meskipun hari sudah tak lagi gelap. Kaupun akan terbangun saat sinar matahari yang masuk lewat sela-sela gorden itu menyusup di celah matamu. Selalu, setiap hari.
Aku melihatmu beranjak dari kasur dan seprai menjadi kusut oleh gerak tubuhmu semalaman. Lalu aku merapikannya, menarik ujung-ujungnya hingga tak berbekas jejakmu seolah kau tak pernah tidur di kasur itu. Bersamaan dengan itu, aku mendengar air mengguyur tubuhmu. Seperti terburu-buru kau menyiram tubuhmu sendiri seakan kau adalah dinding yang tak mungkin roboh oleh hujan. Belum pernah kau tiba-tiba berhenti dan berteriak sabun atau pasta gigi habis, karena aku selalu memastikan semua yang kau butuhkan ada di dalam ruang sempit itu.
Yang kau inginkan di pagi hari adalah secangkir kopi panas di meja makan. Aroma khas kopi menyeretmu mendekat, kau mengaduknya lagi kemudian dengan ujung sendok kecil kau mencicipinya, lalu meletakkan sendok itu dan kau segera meninggalkan pagimu yang selalu sama. Mengapa kau harus mengaduk kopi panas itu? Kau tentu tahu, ampas kopi yang berada di dasar gelas akan berhamburan menyerbu ke atas dan membuat tenggorokanmu gatal. Butuh waktu lebih lama untuk ampas itu mengendap lagi, kau tak punya cukup waktu untuk menunggu sehingga kau buru-buru menyudahi. Kau bilang, “aku bisa terlambat.”
Begitu sunyi rumah ini, bahkan kau bisa mendengar bunyi jarum jam mengikuti langkah kakimu melewati pintu meninggalkanku tanpa sebuah kecupan di keningku. Padahal ada aku, yang setiap malam kau lihat di sampingmu. Juga tanpa pesan, entah akan pulang cepat atau larut malam. Aku hanya harus menunggumu pulang. Aku hanya harus yakin bahwa kau pasti pulang. Aku hanya harus mengerti bahwa dalam sebuah rumah perlu seorang lelaki dan seorang perempuan agar bisa disebut rumah tangga. Dan mereka itu adalah kau dan aku. Kita.
Kita. Butuh dua orang untuk dikatakan setia. Kau dan aku. Kita. Aku tidak memaksamu memperlakukanku serba romantis. Aku tidak menyuruhmu memanggilku dengan suara erotis. Aku tidak memilihmu untuk bermain-main. Kukatakan bermain-main sebab tidak mungkin sebuah hubungan terjalin mulus tanpa noda. Kita bukan kanak-kanak lagi, yang setiap bertemu kesulitan akan mudah menyerah. Karena itu kita bisa bersama hingga hari ini. Aku berbohong saat kukatakan aku tak pernah benci sikapmu. Aku hanya berusaha memisahkan rasa benci itu saat aku, ternyata, lebih memilih untuk meneruskan usahaku bertahan denganmu.
Siang
Kalau boleh meminta, aku ingin kau tidak pergi. Aku ingin bisa menemukanmu saat aku mengingatmu, sehingga aku bisa memastikan apa yang ada padamu masih ada padamu. Kau hanya harus mengangguk dan bersedia menemaniku di sini. Walaupun hanya satu siang. Begitu sulitkah bagimu tetap di sampingku? Biar kuingat betapa kau sanggup bersusah payah menyisihkan waktumu untukku. Mari kita buat lingkaran merah di kalendar itu, yang kau letakkan di dekat kasur, pada tiap angka yang menunjukkan kau melewatkan sebuah siang yang terang di tempat yang bisa kulihat.
Sungguh, bersamamu dalam sebuah siang yang terik akan sangat menyenangkan untukku. Kita bisa bermain, walaupun kita bukan kanak-kanak lagi. Apa yang kau suka? “Apa saja.” Mungkin itu jawabanmu. Datar. Seperti tidak tertarik, seperti tidak peduli. Kemudian akulah yang memutuskan kita akan bermain apa. Petak umpet, tebak kata, catur –oh, aku tidak bisa-, jadi kita akan bermain apa? Atau kurasa kau sangat lelah, sehingga kita bisa nonton film saja. Kebetulan aku suka nonton film. Kalau kau tak suka dengan film ini, kau bisa tidur di sampingku. Itu saja cukup menyenangkan. Aku tahu, kau sangat lelah dan tidur adalah satu-satunya kesukaanmu jika kau bisa berada satu siang saja di rumah ini.
Ayolah… aku sudah sangat jenuh. Bisakah kau tak pergi hari ini? Kalau kau tak suka bermain, kita bisa mengerjakan hal yang tak kalah menarik. Kita bisa membersihkan jendela. Mengelapnya dengan cairan pembersih agar kacanya menjadi bening. Terutama kaca di bagian atas yang tak bisa kujangkau, tubuhmu lebih tinggi jadi kau bisa menjangkaunya. Rumah kita menjadi bersih, bukankah kau sangat menyukai kebersihan? Barangkali dengan begitu kau akan betah berada di rumah siang hari.
Baiklah, mungkin bagimu di rumah selama 24 jam sangat membosankan. Kalau begitu kita bisa jalan-jalan. Menarik, bagiku. Aku perlu tahu sudut-sudut yang tak biasa di kota ini. Kota di mana kita akan menghabiskan sisa hidup kita, bersama. Kau sudah lebih dulu tinggal di sini, pastinya kau lebih tahu banyak dariku. Bahkan, gang-gang kecil dan liang tikus pun harusnya kau tahu. Jadi, tunjukkan padaku sesekali. Aku ingin melihat mata orang-orang memandangi kita berjalan bersama. Mereka akan iri padamu, karena aku cantik.
Entah mana yang lebih kau suka. Berada di rumah atau berjalan-jalan ke luar, bagiku sama menyenangkan karena kita bisa bersama di siang yang terang. Aku khawatir tentang mengapa kau lebih mencintai pekerjaanmu daripada aku, sehingga kau sanggup bercumbu seharian dengan angka dan huruf daripada denganku. Kau bilang, sampai sekarang, aku cantik. Tetapi cantik pun tak mampu menjerat langkahmu.
Sore
Seandainya matahari tak sebesar itu, seandainya ia lebih dekat dan bisa kujangkau, maka akulah orang pertama yang ingin menggesernya dari atas untuk lebih condong ke barat, setengah tenggelam di perbatasan langit dan laut. Saat itu kau akan pulang dan aku bisa melihatmu lagi. Kupastikan aku sudah berada di rumah sebelum kau pulang. Kupastikan kau tidak akan mengeluh lelah sebab secangkir teh panas ada di meja makan dan sebelum teh itu menjadi dingin, kau sudah ada di dekatnya.
Seperti biasa, aku akan memunguti satu persatu kemeja, celana, dan kaus kaki yang menempel seluruh keringatmu. Memasukkannya ke dalam ember penuh busa dan bau khas yang membuatku batuk. Di dekatku, kembali aku bisa mendengar suara air mengguyur tubuhmu. Dan kali ini lebih terburu-buru, entah apa yang ingin kau hapus dari tubuhmu. Kau pikir air bisa melunturkan semua yang menempel di sana? Sesukamu saja.
Malam
Apa kau tahu, jika di antara kita satu ditambah satu tak selamanya menjadi dua. Bisa jadi tiga, empat, atau lima. Terserah, sesukamu. Dan yang disebut rumah tangga akan menjadi lebih ramai. Bahkan kita bisa menyebutnya dengan kata ‘rumah’ saja, tanpa kata ‘tangga’ yang seringkali rawan hancur sebelum kita bisa menua berdua.
Mari kita berlomba lagi, tentang siapa di antara kita yang lebih sering kalah atau mengalah. Mari kita rasakan lagi gelora itu, perasaan sensasional yang hanya bisa kita dapatkan selama bertarung. Aku tidak akan peduli peluh siapa yang lebih banyak mengucur, dan walaupun kau membuatku sakit, aku tidak akan membalas menyakitimu juga. Aku sangat baik, bukan? Kurasa kau tahu ini.
Ke manakah perginya seluruh gelora itu dari dirimu? Tidakkah ada sisa, atau barangkali cadangan, yang bisa kau tumpahkan padaku? Aku tahu kau memiliki banyak, namun kau menyembunyikannya atas nama lelah sehingga tak setitikpun gelora itu mampu membawamu tegak menghadapku. Lalu kau lewatkan kenyataan bahwa sinar rembulan tidaklah indah setiap malam. Juga, bintang yang tak bersinar di saat mendung datang. Seharusnya, menurutku, kau tahu saat yang tepat untuk mendekapku.
Ini seperti duduk terdiam saat listrik padam dan tak tahu kapan akan menyala lagi. Mungkin semenit lagi, atau sejam, atau bisa jadi hingga pagi. Kita berdua tahu pasokan listrik di negeri ini menipis namun masih cukup untuk menerangi malam-malam kita sampai ada ilmuan yang terlahir dengan ide cemerlang akan budidaya listrik ini. Aku tidak tahu mengenai hal ini, kaupun tidak begitu tahu.
Yang aku tahu aku ada di sampingmu saat ini, kau ada di sampingku saat ini. Aku bisa mendengar alunan nafas melalui hidungmu yang mengempis dan mengembang berganti-ganti. Kedua tanganmu seperti hilang di balik bantal, menyembunyikan sesuatu dariku. Ingin aku menyusupkan tanganku juga ke bawah bantalmu agar kau bisa menggenggam tanganku. Barangkali kau sedang bermimpi lalu muncullah aku dalam mimpimu. Barangkali, kau bisa melihatku dengan lebih teliti.
Pagi, lagi
Pagi ini tak ada yang berubah seperti pagi-pagi sebelumnya. Lalu menjadi siang-siang sebelumnya. Berlanjut menjadi sore-sore sebelumnya. Hingga menjadi malam-malam sebelumnya. Aku bertanya, apakah segala yang kita lalui akan selalu sama? Untuk pagi-pagi selanjutnya. Lalu menjadi siang-siang selanjutnya. Berlanjut menjadi sore-sore selanjutnya. Hingga menjadi malam-malam selanjutnya.
Minimal, hadiahi aku dengan dua puluh empat jam waktumu hanya untukku. Cukup.
*cerpen 'Empat Dimensi' ditulis oleh Oyin
Oyin Ayashi admits that though we try to describe accurately, we cannot verify the exact facts of everything posted. Postings may contain Information, speculation or rumor. We find images from the Web that are believed to belong in the public domain. If any stories or photos that appear on the site are in violation of copyright law, please write in comment box and we will remove the offending section as soon as possible. (Oyiners = Blog reader)