» » Kasta Lonceng dan Klakson

Pembaca :

"Kudengar,di negeri tropis ini sudah tak lagi mempersoalkan kasta. Din. Satu kali. Menandakan aku ada. Din. Din. Dua kali. Menandakan aku tak kesedar ada, aku berada. Din. Din. Din. Tiga kali. Menandakan tak hanya berada, aku kuasa. Dinnnnnnnnnnnn. Panjang. Ini pertanda aku segalanya.

Norma rupanya tinggal nama. Ia sudah aus oleh zaman. Belum lagi di metropolitan, di gang – gang kecil saja norma tak lagi kasat mata. Tak ada warisan tentang norma yang bisa disimpan oleh seseorang untuk diteruskan pada anak cucunya. Zaman berlalu, norma berlalu.

Rupanya sekarang ini jalan bukan menjadi milik umum lagi. Jalan sekarang dikuasai oleh raja yang beringas. Wajahnya seperti manusia biasa, namun tindakannya serupa raja. Ia adalah pemilik klakson, raja segala jalanan. Yang bebas hambatan, populernya.

Ada dua sosok manusia yang sama. Dilahirkan dari rahim perempuan. Tumbuh menghirup udara polusi jalanan. Bekerja. Memberi nafkah. Tidur dengan mata tertutup juga. Namun mereka menjadi berbeda ketika berada di jalanan. Yang satu tua renta dan miskin, sebutannya. Ia pastilah petani atau nelayan sebab tampak dari warna kulitnya yang khas terbakar panas matahari. Dengan kaos tipis bolong di lengan kiri, celana selutut warna warni (alias mbladus) dan sandal jepit yang lusuh menipis. Ia mengelap jeruji sepeda usang, loncengnya masih nyaring. Kring. Kring. Ia mengecek loncengnya, ternyata masih berfungsi baik.

Sosok yang kedua muda dan kaya, sepertinya. Ia mungkin pekerja dengan harta lumayan sebab tampak dari caranya berpakaian yang rapi, disetrika, dan wangi barangkali. Aku samar sebab tak kuperhatikan. Ia tak cukup menarik, batinku.

Keduanya tak saling mengenal. Tak saling membutuhkan. Juga tak saling bermusuhan. Lalu keduanya bertemu di jalanan. Di jalan yang bus saja tak diijinkan lewat. Dan di sanalah, di jalanan kecil itu, mereka menjadi berbeda.
Mula – mula si tua mengayuh sepeda teramat pelan. Ia mengerem sepedanya sebelum akhirnya berhenti di tepi jalan. Ia tengok kanan dan kiri. Uh, ramai sekali. Lalu ia berhenti cukup lama. Ia menggesekkan sandalnya di tanah seolah ada yang terasa merekat. Sampah, barangkali. Ia tak memperhatikan lagi jalanan sebab ia sendiri tak tahu waktu yang tepat untuk menyeberang. Begitu lama ia berdiri saja memegangi sepedanya. Sesekali ia mainkan lonceng dan kring kring kring nyaris tak terdengar.

Ia ragu – ragu untuk menyeberang, namun ia mulai bersiap. Baru berapa millimeter ia menggeser sepedanya ke depan, dari jauh terdengar ‘din’. Satu kali. Oh, ia memberitahukan dirinya ada. Si tua kembali mundur. Lalu maju lagi, dari jauh kembali terdengar ‘din’. Satu kali. ‘din’ ‘din’ O, dua kali, berarti seorang berada akan lewat dan si tua haruslah mengalah. Namun ini lain, ini seorang raja yang akan lewat. Raja, si muda. Melihat ban sepeda si tua berada di aspal jalan, si muda tak ragu memberitahukan keberadaannya. ‘dinnnnnnnnnnnnn’ yang panjang sekali. Oh, ini bukan raja biasa. Ia adalah raja segala jalan yang harus ‘bebas hambatan’. Ia datang dengan kecepatan mirip  jet sehingga tak mungkin untuk mengerem ketika si tua hendak menyeberang. Padahal, ia waktu itu masih cukup berjarak. Cukup untuk si tua membawa dirinya dan sepeda hingga ke seberang jalan. Namun, waktu juga menjadi milik sang raja jalan ini.

“Udara masih panas, bung. Siang belum juga beranjak dingin. Lalu kenapa tak kau biarkan si tua lewat. Kau bisa mengurangi laju kendaraanmu. Kau bisa membagi senyum kepada siang yang terik dan biarkan si tua juga mendapatkan haknya sebagai raja jalanan. Apakah karena ia hanya punya lonceng dan kau punya yang lebih menunjukkan kau cukup berada?”

Kudengar di negeri tropis ini sudah tak lagi mempersoalkan kasta. Namun, harta masih mampu memecahnya. Apa susahnya membiarkan seorang tua menyeberang?

Oh, tidak. Tidak begitu susah. Sebab ada seorang wanita memperhatikan si tua. Wanita ini juga bisa menjadi raja jalanan. Ia punya klakson. Namun ia memilih mengerem kendaraannya dan menggerakkan tangan kepada si tua. Seolah berkata “monggo, mbah” (Silakan, kakek). Lalu si tua menyeberang. Lega. Tampak dari helaan nafas yang cukup panjang. Ia bersiap mengayuh lagi sepedanya menyusuri gang – gang selanjutnya. Ia pastilah tetap punya cemas sebab di depannya nanti akan ada banyak raja – raja jalanan yang lain.

Raja segala raja jalanan menyusul di belakang wanita. Dengan cepat terdengar ‘dinnnnnnn’ yang sangat panjang. Bahkan sebuah kepala melongok keluar setelah kaca diturunkan. “Hoiiii…” Raja ini sangat berkuasa. Ia lebih berkuasa daripada raja yang muda tadi. Ia seolah memiliki cemeti untuk dicambukkan pada wanita yang menghalangi jalannya. Siapapun melihatnya dengan mata menyipit. Ia menjadi begitu bangga. Dadanya membusung, bajunya tak muat lagi.

Wanita, yang kalau mau pun ia bisa menjadi raja, ternyata kalah. Masih ada raja di belakangnya yang merasa tak lagi bebas hambatan. Maha Raja. Oh, jalanan yang malang harus diperebutkan oleh raja – raja beringas. Di belakangnya ada raja – raja kecil yang tunduk. Mereka berhenti di belakang Maha Raja ini. Sabar, sebab klakson mereka kalah nyaring.

Wanita memacu kendaraannya tanpa menoleh ke belakang. Ia tak peduli Maha Raja yang siap melindasnya. Kemudian diburulah wanita oleh Maha Raja. Wuuussh. Seperti angin. Wanita tetap tak menghiraukannya. Untuk apa? Maha Raja beringas kehilangan norma sudah tak menarik, baginya.

Aku melihatnya. Aku berdiri di seberang jalan sejak tadi. Sejak kuperhatikan lengan kaos si tua yang bolong. Batinku, aku tak punya lonceng atau klakson. Jangankan raja, aku hanya seorang kere di jalanan ini. Untuk sebuah lonceng saja perlu bersabar cukup lama dengan terus dihujani klakson, apalagi aku? Maka kuhela nafas, mengeluh sendiri sebab jalanan ini menunjukkan hilangnya norma. Dan raja – raja beringas itu lalu lalang begitu cepatnya. Aku berdiri saja hingga sepi sebab aku takut akan perang klakson.

Mengapa seorang raja tak bisa berbagi jalan dengan seorang kere? Aku memikirkannya.

*****

"Kudengar, di negri tropis ini sudah tak lagi mempersoalkan kasta.
Namun, harta masih mampu memecahnya.

Apa susahnya membiarkan seorang tua menyeberang?"



Disclaimer
Oyin Ayashi admits that though we try to describe accurately, we cannot verify the exact facts of everything posted. Postings may contain Information, speculation or rumor. We find images from the Web that are believed to belong in the public domain. If any stories or photos that appear on the site are in violation of copyright law, please write in comment box and we will remove the offending section as soon as possible. (Oyiners = Blog reader)

Above article written by Unknown

bean
Hi there!, You just read an article Kasta Lonceng dan Klakson . Thank you for visiting our blog. We are really enthusiastic in Blogging. In our personal life we spend time on photography, mount climbing, snorkeling, and culinary. And sometimes We write programming code.
«
Next
Newer Post
»
Next
Older Post

Silakan beri komentar dengan akun facebook Anda