From nature with culture.... Garis besar suasana di desa ini salah satunya adalah budaya. Di gang - gang yang sebagian besar penduduknya bertani, pedagang, dan guru ini hidup berdampingan pola pikir modern dan tradisional.
Jika pagi datang, pemandangan yang tertangkap mata ialah segerombol burung yang bertengger di sebuah
cagak sentheng , begitu orang – orang menyebutnya. Burung – burung ini berbaris rapi, mungkin saling bertukar cerita satu sama lain. Hmm,, apa yang mereka bahas ya..?
Ciri khas petani sangat kental, meskipun banyak masyarakatnya yang muda mudi bersekolah tinggi bahkan sampai ke luar negeri, tetap saja warisan nenek moyang tak bisa dipandang sebelah mata. Sejak kecil mereka diajarkan bertani, jadi tak heran kalau mereka paham betul dunia tani. Mulai dari petani sawah dan tambak yang luasnya berhektar – hektar hingga kolam kecil sekelas kolam lele.
Anak – anak asyik memancing di salah satu kolam milik Uwak Basir yang isinya udang dan bandeng. Ikan yang mereka dapat dikembalikan lagi ke kolam, sebab jika Uwak Basir melihat, bukan ikan yang mereka pancing tetapi amarah Uwak Basir,,heheee
• Tambak Ngening
Apa itu
mbedahi dan
nyoroti ? Di sinilah akan ditemukan jawabannya. Keduanya adalah aktivitas menguras dan mengisi air tambak. Sumber air untuk sirkulasi tambak ini berasal dari Laut Jawa langsung tanpa melalui bendungan tertentu sebab tambak – tambak ini berbatasan langsung dengan laut. Kalau ingin melihat laut yang tenang tanpa bayar karcis, lewati deretan tambak ini maka sampailah ke laut.
• Lapangan Sido Mumbul
Sepulang dari laut, akan terlihat sebuah lapangan sepak bola yang cukup tersohor. Selain sebagai pusat sepakbola, lapangan ini juga serbaguna. Misalnya untuk kemah persami sekecamatan Juwana. Pernah juga untuk pasar malem skala besar. Kalau lagi sepi, penduduk menggunakannya untuk latihan mengendarai sepeda motor.
Letaknya berjejer dengan SMA Negeri Juwana, dari jalan tidak begitu kelihatan karena tertutup deretan rumah penduduk.
Berbicara tentang budaya, di sini masih kental tradisi yang sarat makna.
|
Balai Desa |
Ini Balai Desa, pagarnya baru diperbaiki. Dulunya hanya pagar kayu yang dipelitur, sekarang lebih keren… Untuk pagarnya saja ini hasil patungan penduduk dan Bupati lohh… Balai Desa ini juga serbaguna. Untuk pagelaran seni kethoprak, pementasan karawitan anak didik, pertunjukkan seni tari hingga digunakan untuk resepsi pernikahan. Letaknya masih satu pagar dengan punden yang cukup ‘disegani’.
|
Pintu masuk punden Nyai Ageng dan Ki Dalang Soponyono |
Pintu masuk
punden Nyai Ageng dan Ki Dalang Soponyono ini merupakan gerbang pertama melepas hawa luar ke dalam hawa keramat. Hati – hati di tempat ini, penduduk sekitar masih menghormati peninggalan moyang yang satu ini. Penduduk percaya arwah Mbah Sabiroh Murni masih mendiami punden. Dan, bagi yang baru saja menikah hukumnya wajib mengitari punden ini, tentu saja tidak pakai alas kaki. Begitu tradisi yang masih dipercaya. Konon, jika tidak mengitari punden dipercaya rumah tangga kurang bahagia...
|
Pohon beringin yang telah diregenerasi |
Wit ringin alias pohon beringin ini telah mengalami regenerasi. Dulunya besar dan tinggi, jadi sedikit mengerikan kalau malam – malam berada di sini. Bahkan, ada salah satu penduduk yang pernah melihat ular
gedhe melingkari pohon ini. Orang yang boleh memangkas dan merawat pohon ini hingga hari ini adalah
juru kunci punden, yaitu Uwak Basir yang punya kolam bandeng. Hehe… Beliau sudah cukup lama berkiprah menjadi juru kunci, meskipun beliau sendiri adalah muslim yang taat ibadah. Inilah yang disebut tradisi dan agama bisa berdampingan.
Pada hari Kamis di sini ramai orang – orang
nyekar leluhur, tak hanya penduduk sekitar tapi juga penduduk luar desa yang sengaja datang untuk
ngalap berkah saking tersohornya pesona punden ini. Tak kalah keramatnya dengan tempat – tempat lain, ada loh hari khusus membersihkan punden dan seisinya seperti benda – benda pusaka dan selambu, yaitu pada tanggal 1 Suro. Yang boleh mengganti selambu tentu saja juru kunci.
Masih di dalam pagar dengan balai desa dan punden, bangunan ini tak kalah penting. Sering dipakai untuk pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Tempatnya orang – orang punya nazar dan dipakai juga untuk rapat bapak – bapak pengurus desa. Sebenarnya bangunan ini dibangun untuk melindungi sumur tempat berdoa bagi yang percaya. Sumur itu sendiri disebut sumur tiban, artinya tak ada yang tahu siapa yang membangun. Tiba – tiba saja ditemukan pada zaman Nyai Ageng.
Bagian barat punden ini dipakai untuk acara – acara umum, seperti pagelaran wayang untuk meramaikan bulan Suro. Sementara bagian timur ini hanya dipakai untuk acara khusus, seperti nazar seseorang yang telah terpenuhi. Di sinilah perbedaan tingkat kekeramatan sebuah bangunan. Meskipun pagarnya terbuka, tidak semua orang bebas lalu lalang. Penduduk sangat menghormati nilai – nilai punden ini, memang beberapa ada yang santai keluar masuk punden tapi tak apa – apa juga....
Vihara Theravada Indonesia, letaknya di belakang punden. Tempat ibadah yang satu ini tak kalah tua. Sampai sekarang masih digunakan untuk ibadah bagi umat Budha, tak hanya penduduk sekitar tapi juga dari luar. Yang cukup menggelitik, salah satu keturunan pemilik tempat ini mewakafkan sebagian tanah untuk dibangun tempat mengaji Al-Quran. Meskipun begitu, tidak terdengar keributan atas perpecahan lahan ini.
Teposeliro yang lumayan bagus ya...
Ini dia yang tak bisa dipisahkan dari desa. Batik. Penduduk sekitar bermata perncaharian dari usaha batik ini. Ada yang membatik di rumah – rumah sendiri, kalau sudah selesai dikirim ke tempat ini. Ketrampilan membatik ini diajarkan sejak SD, baik laki – laki maupun perempuan. Pengerjaan batik tulis ini bisa sampai berbulan – bulan, wajar lah kalau harga kain jadinya mahal.......
Tjokro Batik Tulis Bakaran merupakan salah satu budaya batik asli warisan bangsa Indonesia. Lebih lanjut tentang seluk beluk batik ini anda bisa berkunjung
di sini
Outlet dan Office: Jln Mangkudipuro 196 Bakaran Wetan RT 2 Rw 2 Juwana-Pati Jawa Tengah.
Telepon : (0295) 471660 / 08122936231.
Mbah Warti ini adalah satu – satunya penjual serabi tradisional. Sejak dulu kondisi warungnya juga gini-gini aja…
Mepet pagar SD N 1 Bakaran Wetan, dengan atap plastik mirip bivak. Meskipun terlihat sepele, di sini ramai lohh,,, banyak yang tidak kebagian membeli serabi, karena jam buka warung Mbah Warti cuma dua jam. Saking larisnya bisa kurang dari dua jam sudah tutup. Namun sayang, sampai hari ini belum terlihat tanda – tanda pewaris dari Mbah Warti yang mau meneruskan berjualan..
Sedikit info.. Jangan harap bisa menemukan warung nasi di desa ini. Kalau merantau dan kebetulan terdampar di sini, nikmati saja warung – warung mi ayam dan bakso. Sebab sudah larangan dari Nyai Ageng bahwa anak cucunya tidak boleh berjualan nasi, di manapun itu meskipun di luar desa. Menurut penuturan nenek, Nyai Ageng tidak mau anak cucunya kelaparan sampai – sampai untuk makan saja mesti beli nasi dari orang lain.. Hmm padahal zaman sekarang orang malas masak, gimana Nyai ???
| | |
|
| Anak-anak asik bermain petak umpet |
|
|
Anak-anak sedang serius bermain sentinan |
Berbicara tentang anak – anak penuh dengan keceriaan. Mereka masih suka bermain permainan tradisional seperti
sentinan dan petak umpet. Banyaknya lahan bermain membuat mereka nyaman, meskipun kemajuan teknologi sudah masuk desa. Mereka jago utak atik komputer dan sudah punya facebook! Wow, tapi tetap saja permainan tradisional masih menyenangkan bagi mereka. Setiap sore sepulang mengaji mereka berkumpul. Ramai? Sudah pasti !!!
Ucapan terima kasih untuk narasumber :
• Uwak Basir dan kerabat, sebagai juru kunci Punden
• Mbah Warti, penjual serabi
• Mbah Gie, nenek tercinta
• Dik Neri, adikku yang mau menemani dan menyumbang ide
• Wintang Kirono dan kawan – kawan, yang selalu bermain di depan rumah