» » Asmara

Pembaca :
Asmara. Namanya menggetarkan panggung suara setiap kali ia berdiri dan bernyanyi. Riuh penonton tak lagi terpukau keelokan tubuhnya. Bukan itu yang bernilai dari seorang Asmara, tetapi suaranya yang sanggup bercerita. Tatapan matanya seperti pisau yang membelah tidur makhluk-makhluk malam, mereka berlari, berduyun-duyun mendekati panggung untuk mendengarkan Asmara bernyanyi.

Siapa tak kenal Asmara… Perempuan berusia dua puluh tahun itu sanggup menggeser pesona biduan yang seringnya tak bersuara ketika menyanyi. Ia, Asmara, juga cantik. Tak pernah ada yang menyangka ia tak lagi punya Ayah dan Ibu. Ia dibesarkan di sebuah panti asuhan dan ia sendiri tak kenal kedua orangtuanya. Harapannya, dengan bernyanyi bisa menemukan orang yang mengakuinya sebagai anak kandung.

Itu dulu. Cerita jaman kejayaannya telah berlalu.
Pertama kali ia menyusuri jalanan desa ini tak ada yang mengenalnya. Ia berjalan leluasa, tak ada yang berteriak memanggil-manggil namanya. Inilah hidup, baginya. Pada sebuah rumah kecil ia berhenti. Pintu rumah itu dibiarkan setengah terbuka oleh pemiliknya seakan tahu bagaimana menyambut seorang Asmara. Ia masuk saja karena tak ada suara menjawabnya.

Di dalam kamar ia temukan seorang kakek tua, sedang tertidur dengan selimut tebal seakan kedinginan. Jendela pun tertutup, seperti menyampaikan isyarat kepada angin untuk jangan masuk. Asmara hanya duduk disamping sang kakek, tangannya merapikan selimut di ujung kaki sang kakek. Kemudian seperti telah lama berada di rumah itu, Asmara mulai menyentuh dapur, merapikan seisi rumah hingga sang kakek terbangun. Tak ada sapa pada awalnya, sang kakek hanya mendekat kepada Asmara dan menciumi bau bubur yang telah hangat. Ia merasa lapar seketika. Asmara pun tak banyak bertanya, ia dengan cekatan menuruti pikiran sang kakek.

Malam demi malam berganti. Setiap mengantuk, sang kakek meletakkan kepalanya di pangkuan Asmara, ia memintanya bernyanyi. Apa saja yang ia hapal, ia lantunkan. Ia tak bertanya alasan Asmara lari dari kampungnya dan memilih tinggal bersama seorang kakek tua yang usianya tiga kali lipat darinya. Begitupun Asmara tak pernah bertanya alasan keluarga sang kakek meninggalkannya di rumah tua sendirian. Seorang kakek yang mungkin sudah mulai pikun dan tak bisa merawat diri sendiri.

Namun itu tak pernah menghalangi semangat sang kakek untuk bangun pagi, ditemani Asmara berlari keliling desa. Sesekali ia berhenti di pasar untuk membeli sayur dan ikan untuk makan nanti. Mereka bahagia, meski hanya berdua dan hidup seadanya. Tak ada suara keras bergema dirumah, tak ada pertengkaran dan makian. Semua disampaikan dengan lembut penuh kasih sayang.

Inilah hidup yang kuinginkan, batin Asmara. Sepi tetapi penuh cerita. Ia tak menyesal menerima tawaran dari Haryo untuk menemani ayahnya yang renta karena ia sendiri tak bisa tinggal di desa ini, dan ayahnya tak mau diajak ke kota karena bising, alasannya. Asmara tersenyum kecil jika mengingat tawaran itu, tetapi ia berterima kasih atas kehidupannya yang baru. Ia merasa bosan. Dirumah kecil ini ia menemukan kesenangan. Ia bebas bernyanyi. Tak ada yang melarang ia menyanyikan apa saja. Tak ada yang bersiul karena kecantikan wajahnya. Tak ada yang menawarinya kencan di malam minggu. Tak ada yang mengajaknya menikah dengan memakasa-maksa. Ia menjadi diri yang menarik, batinnya.

Sudah berapa lama ia tinggal disini tak ia pedulikan. Ia berharap akan tinggal disini hingga ajalnya. Ia ramah dengan sekitar, mereka tak pernah bergunjing melihat Asmara begitu senang menemani sang kakek. Ini menyenangkan, inilah hidup, batinnya.

Malam-malam menjadi lain ketika sang kakek lebih sering keluar rumah sehabis berlari pagi. Ia akan pulang ketika sore, disitu Asmara menemukan raut sang kakek penuh letih. Ini musim tanam padi, alasannya. “ Banyak orang pergi kesawah saling membantu. Kau juga sesekalilah kesana, lihatlah apa yang belum kau lihat disini…” Asmara tersenyum saja. Siapa yang tak ingin kesana. Ia sangat ingin.

Sepulang dari sawah, sang kakek bercerita tentang pembajak sawah, para petani dan istri-istri mereka yang membawa bakul nasi setiap siang. “Lain kali, bawalah makanan untuk mereka. Tak ada yang bising disana. Yang terdengar hanya suara angin menyibakkan rambutmu. Kalau terjadi hal menarik, para petani akan bergemuruh, misalnya sapinya tak mau membajak karena malas…” Asmara tertarik dengan cerita sang kakek. Ia diam mendengarkan.

Dari sore ke sore berikutnya, bau keringat yang mengetuk pintu. Asmara mengeluh karena sang kakek terlalu letih diluar. Sesampainya dirumah ia langsung menggeletak di dalam kamar. Ia jarang mendengarkan Asmara bernyanyi. Ia seperti sangat letih. Asmara masih membiarkan sang kakek tertidur di pangkuannya. Tangan kirinya digenggam erat, tangan kirinya membelai kepala sang kakek pelan-pelan. Angin dingin segera membawanya terlelap. Ini malam seperti biasanya.

Sebentar lagi panen. Orang-orang mulai menyiapkan diri beranjak kesawah menyambut panen raya. Tak terkecuali sang kakek, ia berjalan membawa caping sembari mengipas-kipaskannya karena hari begitu panas. Di belakangnya Asmara mengikuti, dengan membawa bakul berisi makanan dan minuman bagi para petani yang memanen sawah bersama sang kakek. Seisi petak sawah itu manyambut senang sekali melihat jatah makan siang telah datang. Satu persatu memberi laporan apa saja yang terjadi di sawah hingga siang ini. Mereka tertawa bersahutan.

“Kau mau beli apa As? Besok kita ke pasar kota, pikirkan apa yang kau mau dari sekarang…”

Dan Asmara tak punya banyak permintaan. Tetapi ia senang sang kakek membelikannya baju baru, warnanya kuning gading cocok sekali di kulitnya. Ini saja sudah membuatnya senang sekali. Asmara memegang erat tangan sang kakek, ia tak terbiasa ke pasar yang ramai dan sesak. Ia seperti kehabisan angin, kemudian sang kakek membawanya pulang saja sebelum ia pingsan kepanasan.
Asmara segera mengenakan baju baru itu. Ia tak berhenti mengamati dirinya di cermin. Seperti gadis kecil, ia berputar-putar senang. Sang kakek memperhatikannya dari kursi goyang. Kali ini ia merasa ingin mendengar Asmara bernyanyi. Ia tiba-tiba ingin Asmara bernyanyi lagu Jawa kesukaannya, tetapi Asmara tak hapal betul. Berkali-kali ia salah ucap,ia harus berhenti ketika tangan sang kakek menepuk kepalanya.

“Bukan begitu As…” kata sang kakek pelan. Asmara benci sekali jika tak hapal lagu-lagu yang disukai sang kakek. Ia berpikir keras malam itu. Ia tak sadar bahwa sang kakek sudah tertidur, ia masih saja mengulang-ulang lagunya.

Seperti itulah malam Asmara berlalu hingga sang kakek meninggal di pangkuannya seusai ia berhasil menyanyikan lagu kesukaan sang kakek. Dengan balutan selimut tipis di kakinya yang menggigil karena dingin. Asmara diam saja malam itu. Tangan kirinya berubah dingin sekali. Ia tak melepaskan genggaman tangan sang kakek. Tangan kananya masih mengelus kepala sang kakek yang juga menjadi dingin dengan cepat.

Kini Asmara dikelilingi tawa cucu-cucunya di sebuah rumah besar yang ia tinggali bersama putri kecilnya. Tetapi ia masih merasa sepi yang tak bisa bercerita. Sepi yang ia rasakan benar-benar membunuh. Ia bosan dengan hidupnya yang bising. Ia rindu kepada rumah tua di bukit yang ia kenal. Ia ingin kesana ditemani Bu Min yang sekian tahun menemaninya membangun keluarga kecil sepeninggal sang kakek. Bu Min tahu betul kesedihan Asmara malam itu. Ia menangis hingga tak punya airmata lagi.

Asmara merasakan sepi yang mulai bercerita. Ia teringat ketika pertama kali mengetuk pintu rumah ini. Haryo tak menjualnya tetapi juga tak merawatnya, itu yang tertangkap mata Asmara sekarang. Daun pintu yang setengah terbuka, jendela kamar yang tertutup. Ia melihat caping dan bakul nasi di pojokkan dapur. Ia merasa ingat semua masa mudanya disini.

Ia merebahkan tubuhnya di kamar, yang terlihat dimatanya debu di atap. Ia senang sekali tanpa berkata-kata. Begitu seharian ia merasa cukup berterima kasih atas kehidupannya yang menyenangkan. Di dalam kamar itu juga ia merasa siap melepas hari-harinya, ia sangat rindu pada sang kakek.

Samar-samar ia mendengar suara sang kakek memanggilnya pelan. Asmara merasa bangkit dan berlari menemui sang kakek. Ia tak peduli lagi pada atap yang berdebu, juga pada Bu Min yang duduk di dekat tubuhnya. Ia yakin sekali, ia sudah mati



Disclaimer
Oyin Ayashi admits that though we try to describe accurately, we cannot verify the exact facts of everything posted. Postings may contain Information, speculation or rumor. We find images from the Web that are believed to belong in the public domain. If any stories or photos that appear on the site are in violation of copyright law, please write in comment box and we will remove the offending section as soon as possible. (Oyiners = Blog reader)

Above article written by Unknown

bean
Hi there!, You just read an article Asmara . Thank you for visiting our blog. We are really enthusiastic in Blogging. In our personal life we spend time on photography, mount climbing, snorkeling, and culinary. And sometimes We write programming code.
«
Next
Newer Post
»
Next
Older Post

Silakan beri komentar dengan akun facebook Anda