Pukul sepuluh malam. Aku masih di luar, di kedai kopi tepatnya. Kubayangkan berada di desa saat seperti ini hanya terdengar suara jangkrik atau kodok di musim dingin. Tetapi, di ibukota segalanya tak pernah tidur. Termasuk aku, yang dengan sabar menunggu seseorang. Di depanku sedang bermesraan sepasang kekasih. Yang lelaki mengeluarkan cincin emas putih, menyematkannya di jari kekasihnya, yang perempuan berekspresi kaget sekaligus sumringah. Pemandangan yang romantis.
Beberapa waktu yang lalu di sini ada seseorang menggila. Dengan muka memerah hampir mabuk oleh kopi pahit, ia terus meracau menyebut-nyebut nama seorang perempuan. Tak peduli orang-orang melihatnya, ia terus beraksi seolah senang menjadi pusat perhatian. Dan aku yang kebetulan, entah mungkin takdir, melihatnya dari luar jendela sempat kaget sesaat dengan tingkah lelaki yang kukenal sedang mabuk dengan konyolnya.
“Stress. Patah hati. Sedih. Aku konyol, bukan ???” Ia meracau dengan sendirinya menyadari keberadaanku di depannya. “Eh he he he Dia,,, kamu ya.. kamu mau minum denganku? Ini Moccachino, kesukaanmu, rasanya manis seperti cokelat… Coba, ini kamu cobalah…”
“Claudia…. Claudia…” ia menyebut namaku berkali-kali. Aku buru-buru menggertak, aku tak mau orang-orang menganggapku biang stress lelaki ini. “Kamu stress tapi masih ingat namaku. Apa yang membuatmu begini? Kamu pikir ini whisky? Kamu tidak akan nge-fly dengan minum kopi. Yang ada perutmu mual di pagi hari, kamu bisa sakit lambung. Dan itu pasti,,, coba lihat berapa gelas sudah kamu habiskan?” aku menghitung gelas-gelas itu dengan jariku. Sepuluh lebih. Herannya, waiters di sini tak mempedulikan kesehatan tamu. Aku menggeleng-geleng undur diri.
“Dam, pulanglah…” aku memberi alamat kepada supir taksi untuk mengantar Adam ke rumahnya.
Paginya, Adam menelponku. Rupanya ia ingat semalam akulah makhluk yang muncul dalam aksi mabuk konyolnya. “Jam sepuluh, kedai yang sama. Oke, aku menunggumu..” Begitu ia mengajakku bertemu lagi. Kuharap ia tidak sedang beraksi seperti semalam.
Aku datang lebih cepat. Kukatakan pada barista, “apapun yang dipesan Adam nanti, pastikan kopi itu rendah kalori, kurangi gulanya, sebab aku tak mau tubuhnya rusak dengan racikan kopi yang menyebabkan panas di lambung. Terserah bagaimana kamu membuatnya, aku menaruh kepercayaan penuh padamu”. Barista yang tampak masih muda itu mengangguk, setelah kujelaskan Adam adalah lelaki semalam yang beraksi konyol di salah satu meja di ujung sana, di dekat pintu. Aku menjelaskan sambil menunjuk ke arah pintu.
Tak lama Adam datang. Beda sekali dengan semalam. Kali ini ia begitu rapi, dengan setelan celana dan kemeja garis-garis warna biru tua. Warna itu terkesan teduh, mungkin hatinya sudah teduh. Aku tertawa kecil.
“Kenapa? Ada yang lucu?” ia bertanya. Siapa yang tidak tertawa jika membandingkan penampilannya sekarang dan kemarin. “Beda. Beda sekali. Kamu tahu, kamu beda dengan yang semalam. Aku pikir kamu menjelma menjadi Godzilla. Eh, bukan, kamu kuberi nama Boydzilla. Cocok sekali untukmu.”
“Kamu mau aku menari-nari seperti semalam, ya?”
“Kamu ini tak punya malu. Minimal kamu pura-pura malu karena aku melihatmu beraksi seperti itu. Ah, sudahlah…”
Kami memesan kopi. Aku melirik barista muda itu, dengan kode berkedip-kedip aku pastikan ia mengerti yang kukatakan tadi, lalu ia mengangguk pelan.
“Emm.. ini aneh, kok tidak pahit ya?” Adam menyadari rasa kopinya.
“Oh, itu mungkin karena efek latte di atas ini. Kamu tahu latte rasanya manis, kan?” Aku mengalihkan fokusnya sambil mengaduk-aduk garnis di pinggir cangkirnya. “Ini, pasti lebih manis rasanya.” Aku cukup ahli mengelabuhinya, dan Adam menurut saja meskipun ekspresinya bertanya-tanya. Biar saja.
“Aku lebih suka yang pahit.”
“Tapi pahit tidak baik buat lambungmu. Perhatikan kesehatan lah, hidupmu masih panjang.”
“Akan bagus kalau aku mati gara-gara kopi pahit.”
Aku terdiam sejenak. “Apa yang membuatmu gila seperti itu?” Aku mulai pertanyaan inti. Adam menjadi agak serius. “Patah hati, apa lagi coba?”
“Aku baru tahu kalau playboy bisa patah hati juga…” ejekku pelan.
“Ini beda, Dia. Vanya itu keterlaluan. Aku berencana melamarnya bulan depan. Kamu tahu, kan, aku melamarnya. Ini rekor bagiku. Seumur-umur baru ini aku berniat melamar perempuan. Dan itu Vanya. Bayangkan, sebentar lagi aku melamarnya, tapi dia bilang akan pulang ke desa, orangtuanya menjodohkannya dengan lelaki super kaya. Ah, siapa itu. Kenapa Vanya mau saja, dia pikir aku ini siapa? Dia tidak memikirkan perasaanku.”
Oh, jadi begitu. Gara-gara perempuan, dan itu Vanya. Perempuan yang menurutku serba kurang proporsional tubuhnya. Kenapa Adam bisa menyukai perempuan itu? Aku jadi geli sendiri.
“Dia, kamu malah tertawa? Aku ini sedih, kamu bukannya ikut sedih. Aku sakit hati, kamu harus menyembuhkanku.”
“Weits, apa? Menyembuhkamu? Kamu pikir aku apa?” aku mengelak.
“Kamu kan dokter, jadi kamu harus menyembuhkanku. Secepatnya! Aku tidak tahan dengan patah hati. Aku kecewa sekali, Dia… Kamu mengerti aku lah..”
“Aku bukan dokter jiwa. Kamu perlu ke psikolog cinta, bukan aku. Pasti kamu maunya yang gratis. Dasar…”
“Dia….” Wajahnya begitu memelas. Apakah patah hati demikian sakitnya? Sebelumnya tak tampak lelaki di depanku ini berbakat patah hati.
“Aku pulang dulu, sekian saja curhatnya ya…” Aku buru-buru meninggalkannya. Aku selalu meninggalkannya. Dalam berbagai kesempatan, aku selalu pulang lebih dulu. Aku tidak terlalu peduli padanya. Bahkan saat ini juga, saat ia patah hati oleh Vanya. Ah, aku merasa geli. Aku sama sekali tidak prihatin. “Maafkan aku, Dam…”
Pada malam-malam selanjutnya, di malam-malam yang sama di kedai ini, jadilah aku pendengar. Hari ke hari tampaknya ia mau berhenti dari efek gila patah hati. Ia kembali pada kewarasannya dan mulai membicarakan hal-hal positif. Sepertinya aku pun mulai tertarik mendalami kejiwaan lelaki ini.
“Kamu sudah sembuh, Dam, kamu siap berkelana lagi…”
“Aku? Tidak. Aku sudah bosan dengan urusan hati. Menyakitkan. Sebaiknya aku memikirkan kehidupanku yang lain. Karirku, uangku...he he he….”
Aku tertawa terbahak-bahak. Di depanku sekarang ada playboy insaf, rupanya. Efek patah hati memang begitu besar. Ternyata seorang Adam pun bisa tersengat pahitnya sakit hati dan menjadi trauma karenanya. Aku tak percaya, aku mungkin perlu kopi pahit saat ini. Tidak lagi Moccachino atau Latte.
“Barista…. Espresso plis….” Barista muda itu melihatku aneh. Aku tak berkedip-kedip saat ini, dengan mengayunkan tangan aku buat ia mengerti bahwa malam ini aku tak ingin sajian kopi rendah kalori seperti biasanya.
“Wow, it’s good…” Adam terpesona. Jelas saja, ia tak tahu sebelumnya ia kukelabuhi. “Dia, aku punya ide. Ini brilliant sekali. Kamu tidak akan menyesal, aku bisa jamin itu.”
“Apa sih?” Aku penasaran. “Sini. Aku pikir hidup ini terlalu berharga untuk sakit hati oleh perempuan. Kamu pasti setuju.” Aku mengangguk-angguk menurutinya. “Maka, kita bisa bekerja sama untuk masa depan kita berdua. Kamu dan aku. Percayalah, aku sudah berhenti berkelana. Aku akan melamarmu saja. Kamu jadi istriku, hebat kan? Kita bisa bersama-sama sampai tua, melakukan banyak hal, aku mendukungmu, kamu mendukungku. Pokoknya kita harus optimistis. Kita rancang banyak hal, dan aku akan selalu di sisimu.”
“Ha ha ha ha…..” aku tertawa begitu keras. Orang-orang pastilah melihatku. “Kamu kerasukan setan dari pohon apa?”
Adam mengubah mimik mukanya menjadi lebih serius. Sambil memegang kedua lenganku. “Bayangkan saja kalau nama kita jadi satu. Aku, Adam. Kamu, Claudia. Selama ini kita tahu sejarah nenek moyang kita Adam dan Hawa, begitu terkenal. Roman-roman ditulis dalam banyak bahasa, Adam and Eve. Sekarang kita ciptakan roman besar di abad ini, berjudul Adam dan Claudia, The Great Story of Adam and Claudia. Bagus, kan?”
“Aku tidak mencintaimu…” kataku. Tapi Adam tidak menyerah. “Aku juga tidak mencintaimu, paling tidak saat ini aku memang tidak mencintaimu. Tapi kita bisa memulainya. Aku pernah berkelana, kamu tahu aku dengan mudah jatuh hati pada perempuan. Kali ini aku memilihmu, sebab yang lain membuatku sakit hati. Aku tahu kamu tidak, sebab kamu kan perempuan tidak laku. Sampai sekarang kamu jomblo, jadi tawaranku pasti sangat menguntungkanmu.”
“Gila. G-i-l-a. kamu benar-benar tidak waras. Temui dokter jiwa segera. Ini aku beri referensi, besok kamu temui dokter ini. Oke !!!” Aku malas melanjutkan topik ini, jadi aku pergi. Lagi-lagi, aku meninggalkannya.
Dua bulan sejak malam itu, aku tidak lagi mengunjungi kedai kopi. Adam juga tidak menelponku. Ia tahu, aku perlu waktu untuk sendiri sebab konsep masa depan yang ditawarkannya itu serba mendadak, serba optimis, serba tak peduli bahwa hidup perlu yang namanya cinta agar menjadi romantis.
Barusan aku membaca surat kabar, di situ tertulis bagaimana seorang Adam menjadi sukses setelah berhasil menyelamatkan hak kaum buruh dari aksi penggusuran juragan mall. Keren. Yah, paling tidak ia melakukan hal yang berguna daripada terus terjerembab dalam patah hati berkepanjangan.
Untuk merayakannya, ia menelponku. Seperti biasa, “jam sepuluh di kedai kopi, aku menunggumu.” Dan aku datang memenuhi undangannya. Terasa sekali ia bahagia dalam kesuksesan, bagiku tak mengapa meladeni kegilaannya nanti, entah itu apa lagi. Aroma kemenangan menyelimuti langkah Adam. Tepat ia duduk di depanku, memesan secangkir Espresso. Sang barista muda melihatku, menunggu kode dariku, ya, aku berkedip-kedip lagi. Adam boleh senang, namun kesehatannya perlu diperhatikan. Mengerem asupan kafein dalam tubuhnya mungkin salah satu cara yang bisa kulakukan.
Adam bercerita banyak, aku mendengarkan seperti biasanya. Beberapa hal tidak kupahami namun ia tak melihat ekspresiku. “Jadi, begini rupanya sang playboy insaf yang sukses? He he he…”
Adam lalu mengambil jeda, menyeruput Espresso panas di tangannya. “Emm, bagaimana dengan tawaranku dulu, sudah kamu pikirkan, Dia?” Adam tidak benar-benar menyerah, juga tidak benar-benar serius. “Sekarang kamu bahkan bisa mendompleng ketenaranku. Lain kali kamu bisa nampang di harian pagi itu atau di manapun terserah kamu. Kan sudah kubilang, aku akan mendukungmu. Aku tidak pernah bercanda dalam hal ini. Kamu sudah kutargetkan menjadi masa depanku.”
“Dam, kamu sepertinya keliru. Aku mana bisa menghabiskan hidupku denganmu, aku tidak mencintaimu. Kamu juga tidak mencintaiku…”
“Nenekku menikah dengan kakekku karena perjodohan, mereka bisa bahagia, punya cucu tampan dan keren seperti aku ini. Konsep menikah karena cinta memang perlu, tetapi konsep yang akan kita jalani sudah tentu lebih menarik. Karena kita memulai cinta itu dari nol, dari tidak ada sama sekali. Menjadi ada, ibaratnya, menjadi pohon yang mengakar kuat di bumi.”
Aku sedikit terpesona dengan keyakinannya. Ia benar-benar ekstra optimis. Tapi mengapa aku yang jadi lawannya? Aku ini sial atau beruntungkah? “Jadi, aku harus mau, begitu?”
“Ya.” Adam serius.
Aku teringat sepasang kekasih tadi yang memancarkan kebahagiaan atas dasar cinta. Setidaknya, mereka memiliki cinta untuk disemaikan. Aku menjadi ragu untuk menolak Adam, namun aku tak berani melangkah. Aku juga korban patah hati yang terlalu menyengat. Luka itu belum kering. Namun, jika Adam bisa berubah, seharusnya aku juga bisa berubah. “Aku pikir aku akan memulainya dengan cinta saja…” ucapku.
“Kalau begitu, aku perlu membuatmu jatuh cinta padaku. Itu mudah.” Super optimis.
Malam ini lain, aku menghabiskan malamku bersama Adam. Aku tidak meninggalkannya seperti sebelum-sebelum ini. Di akhir teguk Espresso, Adam menegaskan agar aku bersiap-siap sebab The Great Story of Adam and Claudia segera dimulai. Ia memintaku menyiapkan diri untuk menjadi terkenal, dengan banyak fans di seluruh dunia. Ia sudah menggila, dreamzilla, aku suka.
Semarang, November 2012
*cerpen ini ditulis oleh Oyin