Oyin menulis mengenai tradisi ini bermaksud bahwa Islam dalam masyarakat Jawa memang memiliki sekian banyak tradisi yang khas.
Secara etimologi, megengan berasal dari bahasa Jawa ‘megeng’ yang berarti menahan. Dalam tradisi lisan masyarakat pengguna bahasa Jawa kata megeng selalu terkait dengan megeng nafas yang mempunyai makna terasa berat, meskipun berat harus ditahan selayaknya orang menghirup nafas.
Dengan demikian, megeng berarti suatu penanda bagi orang Islam untuk melakukan persiapan secara khusus dalam menghadapi bulan suci.
Para Walisongo mengajarkan Islam kepada masyarakat dengan berbagai simbol. Karena itu dibuatlah tradisi untuk menandainya, yang kebanyakan adalah menggunakan medium slametan meskipun namanya sangat bervariasi. Nafas Islam memang sangat kentara di dalam tradisi megengan.
Dan sebagaimana diketahui bahwa Islam sangat menganjurkan agar seseorang bisa menahan hawa nafsu. Manusia harus menahan nafsu amarah, nafsu yang digerakkan oleh rasa marah, egois, tinggi hati, merasa benar sendiri, dan menang sendiri.
Nafsu amarah adalah nafsu keakuan atau egoisme yang paling sering membuat manusia terlena. Setiap orang memiliki sikap egoistik sebagai bagian dari keinginan untuk mempertahankan diri.
Namun jika nafsu ini terus berkembang tanpa dikendalikan, maka justru akan menyesatkan karena seseorang akan jatuh kepada sikap yang menganggap dirinya paling hebat, sedangkan yang lain tidak sama sekali.
Nafsu amarah merupakan simbolisasi dari sifat egoisme manusia dalam berhadapan dengan manusia atau ciptaan Tuhan lainnya.
Kemudian nafsu biologis atau nafsu fisikal, yaitu nafsu yang menggerakkan manusia untuk sebagaimana binatang yang hanya mementingkan nafsu biologisnya atau pemenuhan kebutuhan fisiknya saja.
Nafsu ini memang penting sebab tanpa nafsu ini maka manusia tidak akan mungkin mengembangkan diri dan keluarganya.
Manusia butuh makan, minum, berharta, dan sebagainya. Namun jika hanya ini yang dikejar maka manusia akan jatuh ke dalam pemenuhan kebutuhan fisiknya saja tanpa mengindahkan kebutuhan lainnya yang juga penting.
Mbah dan Bulik kompak masak apem |
Nah, simbol paling wajib dalam tradisi megengan adalah kue apem. Apem berasal dari kata afwam atau afuan yang berarti permintaan maaf.
Kita sebagai manusia diharapkan selalu bisa memberi maaf atau memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain. Itu sebabnya mengapa dalam tradisi megengan identik dengan membagi kue apem kepada para tetangga atau saudara, sebagai simbol meminta maaf sebelum memasuki bulan suci Ramadan.
Memang para Walisongo mengajarkan Islam melalui simbol-simbol budaya. Namun, sayangnya yang ditangkap oleh masyarakat Islam hanya simbolnya.
Dari masa ke masa, tak banyak orang yang tahu makna kue apem dalam tradisi ini, sehingga hanya mengikuti apa yang diajarkan leluhur sebagai kepatuhan saja.
Padahal jika yang ditangkap tidak hanya simbolnya tetapi juga substansinya, maka sesungguhnya ada pesan moral yang sangat mendasar.