Kecantikan yang kau lihat di sekelilingmu juga merupakan kecantikanmu. Dunia disekitarmu adalah refleksi, cermin yang menggambarkan orang macam apa kau ini.
Untuk mengubah dunia kau harus mengubah dirimu terlebih dahulu. Menyalahkan orang lain dan berkeluh kesah hanya akan membuat urusan semakin runyam. Apapun yang menjadi pedulimu adalah juga tanggung jawabmu.
Apa yang kau lihat pada orang lain menunjukkan kepadamu dirimu sendiri. Lihatlah yang terbaik pada orang lain niscaya kau akan menjadi yang terbaik bagi dirimu. Hargailah keindahan niscaya kaupun akan menjadi indah, kagumilah kreatifitas niscaya kau akan menjadi kreatif.
Berikan cintamu maka kau pun akan dicintai. Berusahalah untuk memahami, maka kaupun akan dipahami. Dengarkanlah, maka suaramu akan didengar. Ajarkanlah maka kaupun akan mendapatkan pengetahuan.
Tampilkan wajah terbaikmu di hadapan cermin, maka kau akan senang dengan wajah yang menatapmu.
Kukenal Mbah Sarwi sebagai pedagang sayur di Pasar Minggu.Aku memang sering berbelanja sayur ke sana, sembari perjalanan pulang dari Jakarta ke Depok. Usianya mungkin sekitar 65 tahun. Tubuhnya ringkih dibalut kain kebaya. Memang tampak sederhana karena Mbah Sarwi tidak memiliki perhiasan yang layak untuk dipamerkan. Kalaupun ada yang berharga, hanyalah sepasang anting emas di telinganya. Sementara ditangan kirinya terjuntai dua buah gelang karet berwarna kuning.
Tapi aku sangat menghormatinya karena Mbah Sarwi adalah guruku: Guru yang membukakan mataku tentang sisi lain kehidupan, mengajariku tentang arti kepasrahaan kepada Tuhan juga semangat pantang menyerah. Biasanya aku hanya memberikan uang kepada Mbah Sarwi, sembari mengatakan rencana sayur yang akan kubuat. Dengan cekatan beliau memilihkan sayur kepadaku.
Pernah aku bertanya, apakah Mbah Sarwi tidak merasa takut bersaing dengan supermarket, hypermarket bahkan pedagang lain yang menjadi saingannya? Beliau hanya menjawab bahwa rizki kuwi wis ono sing ngatur, ono dino yo ono upo. Pernah sesekali aku berpandangan negative bahwa mungkin sikap beliau adalah cermin sebuah keterbelakangan, moral peasant. Menurut Samuel W. Popkin (?), seorang petani lebih bodoh dari buruh, sehingga dianalogikan bahwa petani akan berteriak adanya banjir apabila air telah mencapai leher. Dan Mbah sarwipun mungkin baru akan menyadari kekeliruannya setelah modalnya habis dan bangkrut.
Akan tetapi sekitar dua tahun aku berlangganan, tidak kutemukan sebuah kemunduran. Bahkan kini Mbah Sarwi bisa membeli sebuah timbangan. Biasanya beliau meminjam timbangan dari pedagang sayur disampingnya. Beliau juga berceritera bahwa beliau habis menjenguk keluarganya di Madiun, karena cucunya dikhitan. Dan beliau merasa bersyukur karena Tuhan terus memberikan berbagai kebahagiaan di penghujung usianya.
Jawaban-jawaban Mbah Sarwi memang membuatku mati langkah. Kepasrahannya kepada Tuhan, mengalahkan ceramah para agamawan yang kadang harus menetapkan tariff bagi mereka saat mengundangnya. Kegigihannya dalam berusaha, mengalahkan kaum pengusaha yang terbukti hanya bisa menjual lisensi dan praktek monopoli.
Hukum Tuhan memanglah misteri. Orang yang kita pandang lemah, justru sebenarnya adalah orang yang kuat. Banyak orang kaya yang justru merasa khawatir tentang hartanya serta banyak orang berilmu merasa khawatir akan wibawanya.
Catatan :
File lama yang tersimpan kumpulan dari berbagai sumber..