Kamu tampak logis dan cekatan. Mengerti banyak hal; kalkulasi, waktu, dan satuan uang negara-negara lain. Aku tidak. Aku tak mampu membaca deretan angka melampaui 8 digit, tapi kamu bisa dengan sangat mudahnya.
Di kesempatan lain, aku suka dengan deretan kata-kata, menjadi paragraf, berlembar-lembar. Aku bersedia tenggelam cukup lama di sana untuk sekedar memahami bahwa di dunia ini bukan hanya aku yang hidup memiliki kisah eksotik. Kamu tak mampu, tepatnya tak mau.
Entah apa yang membuatmu rela mendekapku cukup lama, melepas helai demi helai pakaianku dan pakaianmu di saat kita tak mampu berkomunikasi dengan kode bahasa yang umum. Seksualitas yang menjadi prioritas eksistensimu sebagai lelaki tulen mendorong geloramu untuk terus dan terus menderu tubuhmu, menguras peluh dan energi yang tak mau surut.
Saat itu memang kita tak perlu bicara dengan bahasa yang rumit. Tak perlu berpikir apakah kamu mengerti atau aku mengerti, sebab kita saling memahami inilah detik di mana kita tidak butuh batas untuk berekspresi. Bahkan kita tak perlu membuka mata lebar-lebar atau memanggil keras-keras karena kita dapat merasakan keberadaan kita begitu dekat. Teramat dekat seperti perekat yang hangat.
Mengagumkan, bukan? Hanya dengan satu bahasa yang cenderung pendek-pendek dan terbata-bata, dengan beberapa vokal dan konsonan yang sama yang diulang-ulang, kita mampu berkomunikasi yang sejalan, sepaham, mengalahkan berbagai kode bahasa lain yang super rumit, ekstra ruwet, dan kita seringkali salah paham.
Akan tetapi kita bukanlah robot buatan manusia, kita adalah manusia itu sendiri. Yang konon aku berasal dari Venus, kamu berasal dari Mars, lalu kita bertemu di Bumi. Kita belajar banyak hal, belajar mengucapkan Aku Cinta Padamu, I Love You, atau Aishiteru. Terserah, mana yang kamu suka. Pilihlah satu dan ucapkan padaku. Aku butuh kata-kata itu, walaupun sangat singkat, pendek tanpa koma, tanpa aling-aling alasan ini dan itu, bagaimanapun juga aku suka mendengarnya dari kamu.
Jangan karena kelamin lalu kamu definisikan aku sebagai makhluk kelas dua, makhluk yang tak mampu mengerti angka dan energi positif penyusun bumi. Jangan kesampingkan aku atas nama diskriminasi okupasi, berdasarkan kelamin kita yang berlainan. Kamu punya senjata, pegangan, penunjuk arah yang kaku dan mampu mengarahkanmu menjejak bumi dengan tegap. Lalu aku yang punya lubang gelap yang dalam tak lantas tak paham apa-apa, tak bisa melihat apa-apa yang bisa kamu lihat.
Kamu perlu aku, untuk bersembunyi dari segala kepenatan duniawi yang membayangi langkahmu. Kamu perlu aku untuk berkomunikasi ke dalam bahasa tertentu, bahasa yang hanya kita berdua yang akan mampu memahami, bahasa yang baru dapat tercipta jika kita beradu, bahasa yang tak sekedar kata-kata namun mengikutsertakan rasa ke dalamnya.
*****
Ketika membaca celotehku ini, kamu bergegas menyudahi, melewatkan beberapa titik dan koma yang bagimu absurb, yang tampak sebagai deretan huruf dan kata yang harus segera selesai. Kemudian dengan santai kamu berkata, “aku tak mengerti, apa ini?” Aku menjadi sedikit geli, dan nyeri. Aku berbicara menggunakan bahasa dari salah satu negara di Bumi ini, yang mana kamu lahir, tumbuh hidup dan berdomisili, mana mungkin kamu tidak mengerti sama sekali. Aneh, tapi nyata. Itulah kamu, sosok tinggi berwajah tirus dengan alis tebal, menggemaskan.
Dengan bahasa apa aku harus berekspresi? Sekian tahun moyang kita membagi-bagi wilayah, menentukan alat komunikasi lewat tulisan, ucapan, dan tanda-tanda alam. Dan kita kebagian tinggal di negara ini, kita sedari kecil belajar mengucapkan a, i, u, e, o yang sama. Jadi, tak ada alasan bagimu untuk tak mau memahami apa yang kukatakan dalam celoteh ini.
Baiklah, aku beri saran. Kamu hanya perlu memulai beberapa aktivitas yang runut. Pergi bekerja, pulang, makan malam, gosok gigi, begadang sesekali, lalu tidur. Kemudian tempatkan aku pada salah satu aktivitasmu itu. Yang manapun, sesukamu saja. Aku yakin, kamu akan semangat menyematkan tubuhku dalam aktivitas tidurmu. Selain itu, apakah kamu tak butuh aku? Sama sekali?
*****
Waktu adalah batas kelemahanku untuk mengejarmu, karena kita hidup di dunia yang berbeda. Kecuali dunia ketiga, dimana kamu dan aku bertemu dalam malam-malam yang tak pernah sunyi sebab aku di sampingmu selalu memenuhi hasrat tertinggi akan kelelakianmu. Lain kali, aku akan berada di sela-sela siangmu, di sela-sela pikiranmu yang sedang bekerja penuh. Aku akan datang dan membayangimu, kalau kamu setuju. Dan walaupun kamu tidak setuju atau tidak memperhatikan, aku tetap memaksa hadir. Itulah aku.
Aku hidup di dunia di mana kepercayaan menjadi kekuatan pertama untuk terus berjuang. Tak terkecuali kepadamu. Aku berjuang ini dan itu, banyak hal yang aneh-aneh pula. Namun, semakin lama ini seperti berdiri di tepi tebing dan melihatmu berjalan di tebing sebelahnya. Kita, tidak berada di dunia yang sama.
Ini menjadi tidak adil ketika kamu menghabiskan seluruh dua puluh empat jam milikmu setiap harinya untuk memikirkan duniamu. Sementara aku hanya mendapat porsi sepersepuluhnya. Aku ingin menjadi rakus, tetapi jika menuntutmu akan membahayakan cadangan energi kemenangan akan pertarunganmu dengan kaummu, maka aku memilih untuk menuruti egoismu sebagai makhluk tanpa kepekaan hati.
Biar begitu, aku tetaplah aku yang memiliki duniaku sendiri seperti kamu memiliki duniamu sendiri. Pertanyaanku, bisakah kita bertemu sesekali di duniaku atau di duniamu? Kamu bisa belajar memahami kesukaanku, tanpa memperolok bahwa bagimu dan duniamu itu bukan hal yang penuh mutu. Walaupun hanya menemani atau mendengar penjelasanku yang ambigu menurut pemahamanmu, setidaknya kamu mencoba untuk ada. Aku juga bisa belajar memahami kesukaanmu, tanpa memperolok bahwa bagiku dan duniaku itu bukanlah hal yang menyentuh. Walaupun hanya melihat angka dan garis yang serba tak lurus menurut imajinasiku, setidaknya aku datang dalam duniamu.
Indah, kalau kita bisa bersama-sama selain di dalam dunia ketiga. Memang kamu sangat perlu dunia ketiga itu, dunia di mana aku ada untuk menerima pembuktian atas cinta yang pernah kamu gadang-gadangkan hanya untukku. Waktu itu kamu tak menyebutkan, bahwa kamu memiliki dunia yang tak bisa kumasuki.
Kamu adalah kamu. Kamu butuh seseorang untuk memahami sikapmu, mengerti kesukaanmu, dan melangkahkan kaki di belakang bayang-bayangmu. Dan aku memilih menjadi orang itu. Seseorang yang mencoba memahami sikapmu, mengerti kesukaanmu, dan melangkahkan kaki di belakang bayang-bayangmu. Walaupun aku hidup di dalam dunia ketiga antara duniaku dan duniamu, minimal aku tetap mencoba untuk berdiri dengan caraku sendiri. Aku bangga akan itu, jadi maafkan aku karena memaksakan kehadiranku dalam dunia milikmu.
*****
10 November 2012