Untuk mengingatkan kembali ..
“Aku jarang berkata manis padanya, bahkan kurasa belum pernah. Kupikir diriku seutuhnya adalah cukup. Terlepas dari keinginan untuk memiliki aku ingin dia tetap hidup. Menjalani kehidupannya dengan baik karena aku yakin dia tahu yang terbaik untuk dirinya.
Jarak pijakan kakiku dengannya adalah 4 derajat bujur timur dalam skala 1 : 4.000.000 dan dalam lintangan yang sama yaitu lintang selatan. Terpaut beda 10 menit dalam hitungan waktu Indonesia bagian barat. Termasuk bahasa yang sedikit beda namun selalu teratasi karena terlahir dari kebudayaan yang sama.
Untuk sampai ke tempatnya ada jutaan kubik beton yang harus ditembus, ribuan mil aspal yang harus dilewati, dan lebih banyak pohon yang bisa dihitung. Ada ratusan gerakan angin yang membentuk awan di langit. Juga tak terhitung banyaknya frekwensi dan getaran yang tercipta. Seakan kecepatan cahaya adalah kendaraan yang paling bisa diandalkan.
Aku tidak cemas mengenai berapa nominal yang harus dikorbankan. Karena aku tahu dia akan bisa mengatasinya. Dia tidak membiarkanku berpikir banyak karena dia telah menyiapkan segalanya. Dia memberiku semua yang kumau bahkan yang belum kupikirkan pun dia lebih dulu tanggap. Seolah dia ingin menguasai dunia dan segala isinya pun belum cukup untuk diberikan kepadaku.
Dia lebih tangguh dari singa, menurutku. Dia tentu protes karena kusamakan dengan singa tapi tidak berguna protesnya. Yah, aku tidak pernah memuji atas prestasi dan pencapaiannya. Kupikir dia seutuhnya adalah cukup. Terlepas dari semua atribut yang melekat pada tubuhnya dan apa-apa yang melekat pada namanya. Aku ingin dia yakin bahwa aku bisa menjalani kehidupanku dengan baik karena aku tahu yang terbaik untuk diriku.
Bagiku, untuk mencintai dia, aku butuh dia mencintai aku juga. Meski kalimat “ I Love You “ tidak diucapkan. Fondasi itu rasanya cukup kuat kalau saja nanti ada rayap kecil mengganggu, bahkan tawon sekalipun. Lebih baik lagi ada unsur saling percaya di antara kami. Hal itu cukup melindungi bangunan yang sedang dibangun sebagai atap bagi rumah kami nanti. Untuk melindungi diri dari ancaman eksternal.
Tentu sedikit perselisihan pasti terjadi karena tak ada gading yang tak retak. Ketika kekeruhan itu hilang, lenyap oleh kalimat-kalimat yang tepat diucapkan, jadilah ia nisan beku yang terlupakan di sudut makam. Lalu seperti mercusuar, menunjukkan jalan pulang bagi hatinya untuk, akhirnya, menemuiku”.
- 18 April 2009
“Dalam suratku yang pertama aku menyebutkan tak pernah memuji prestasinya, sampai hari ini pun aku belum pernah memujinya… Dia merendah atas apa-apa yang dimilikinya, namun aku tahu apa-apa yang disembunyikan di balik kedua tangannya.
Untuk menjembatani perbedaan kami melewati 24 jam dalam sehari… lebih baik jika ada 8 hari dalam satu minggu, maka di hari itu tak akan dibagi untuk yang lain. Hari ini kami berdoa untuk dikabulkan.. dengan nafas yang memaksa. Karena keinginan menjadi semakin kuat setiap detiknya.
Dia meminta maaf atas ketidaksempurnaanya terhadapku… Karena, dia bilang, itu semua sebab kecintaan yang tinggi atasku. Tetapi dia belum menyadari, setiap kegelisahannya atas kecintaan itu lembur bersama kecintaanku sendiri yang tak kalah tingginya. Dia melerai ego dari batinnya untuk menemuiku… Dia menjelma malaikat di dalam rumah ketika berhadapan denganku untuk mendapatkan satu senyum dari bibirku. Dia menjelma iblis merah yang membara untuk melenyapkan sakitku. Dia pun menjelma kelinci putih berbulu lembut untuk mengembalikan perhatianku atas dirinya ketika bertahan di bahuku.
Aku menemukannya saat pohon jeruk di halaman rumah baru ditanam, sekarang pohon jeruk itu sudah tinggi melebihi dirinya. Aku mendengar ketika bersimpuh di dadanya detak jantung yang tak pernah melemah. Selalu saja berlarian seakan ingin mendahului laju detik pada jam dinding.. Aku mendengar nafas yang mengalun ketika mengamati tidurnya. Dan ketika ia terjaga, aku pura-pura tertidur seakan ia bisa memasuki mimpiku.
Hingga saat ini tak terhitung berapa banyak dia mengucapkan ‘I love you’… sebuah kalimat yang dulu tak perlu dipertimbangkan. Namun sekarang setiap detik kalimat itu bergema… dalam keegoisanku aku menjadikannya seperti mauku, dan tak seharipun ia menjelma seperti mauku.. Karena dia hidup dan berwujud. Dia berkembang dengan sendirinya melalui tutur kataku. Dia merasakan sakit melalui pandangan mataku yang menajam pada setiap kesalahannya… Tak jarang, dia merintih ketika kehilangan senyum dari bibirku. Dia mencari senyum di dalam diriku tetapi tak ketemu karena senyum itu terpatri di bibirnya sendiri..
Pada sebuah doa kami bersujud. pada waktu yang baik, pada saat yang tepat.
- 03 September 2009
Aku entah menjelma apa lagi untuk meyakinkan diri bahwa semua detik yang aus tadi adalah bagian paling menarik dari sikap tegas, yang disebut menunggu. Apa yang menanti di hari esok??? Pergantian senja dan fajar berkali-kali. Selalu sama tetapi berlainan hari. Aku menjadi marah pada diriku,, saat ini, ketika langit tak lagi bersinar seperti nyala kunang-kunang di Manhattan. Aku menyendiri di dalam kamar tepian, menanti detik melaju berharap lebih cepat hingga sampai fajar kesepuluh. Dan saat itu, entah kedua mata ini mampu menyaksikan fajar atau justru terpesona oleh sosok yang berdiri menutupi senjaku...
Tak ada yang beda pada malam ini seperti kemarin. Yang menjelaskan jarak kami hanyalah atap yang terus saja kupandangi.. Genting kaca itu seolah mampu meneropong dari kejauhan meter... Bulan seperti mengejekku karena ialah yang menjadi sama ketika dilihat bersamaan, di tempat yang berbeda. Tak ada yang bisa kulakukan selain menikmati diri tenggelam terus ke dalam cahaya rembulan yang kian menari-nari mengelilingi bola mataku.. Dia, entahlah.. Dia mungkin tak melihat apa yang menggodaku malam ini. Dia mungkin sudah terlelap dengan tangannya menyusup di bawah bantal, mencari tanganku tetapi tak ditemukannya karena aku disini tidak bersamanya.
Mungkin, dia tidaklah terlelap tetapi tertegun mencari jawab mengapa di semesta ini tercipta seorang perempuan. Lebih eksotis lagi, dia berontak dalam batinnya mengapa sang perempuan tak menemani malamnya... Menjadi geram karena tak mampu berbuat banyak, untuk sekedar mengakhiri harinya yang melelahkan dengan satu senyum saja. Karena aku, seorang perempuan, hanya mampu memberikan senyum pada jarak yang begini kaku..
Malam ini,, ada kesalahan. Ketika sebuah benda yang lahir dari kemajemukan emosi bernama kerinduan, mengoyak batin. Hanya saling membaca bekas-bekas canda seharian.. Meneliti kembali hal-hal yang mungkin saja terlewat. Atau, membawanya kepada tidur agar lelap dan muncullah pintu ajaib menemukan kami dalam satu pintu untuk dilewati bergantian...
Tragisnya, ini hanya khayalan karena imajinasi berpatah arang dengan realitas, kata Sutardji Calzoum Bachri, tetapi sepatah-patahnya arang, masih ada arangnya. Tidak menjadi kayu atau abu sebelum bertemu dengan api...
- 12 September 2009
Memaafkanmu adalah bisaku sekarang. Entah ia berwujud atau kumpulan kekuatan untuk tetap menjaga hati. Aku, sedih. Samudra naik mengguyurku yang terdiam. Aku sendirian. Waktu menyempitkan nafasku. Sesak dan aku ingin keluar, aku mencoba namun aku tetap dalam kubang sedihku.
Jangan paksa aku memaafkanmu. Karena keringat tak kembali ke dalam tubuh. Aku menangis, sepilu duri lepas dari dahan. Dimatamu tak terlihat nyala amarahku, sebab kau tak menatapku. Bagaimana kutegaskan dukaku setinggi apa? Dan disinilah aku kehilangan rasa. Duka merajai aku. Bergelayut seiring deru angin menabrak dinding. Bergantian menghantam dan lebur bersama waktu. Satu persatu, aku menguliti keteguhanku. mencari jejaknya yang mungkin saja masih ada, sehingga aku sanggup berdiri untuk menyambutmu.
Sekarang aku nyeri. Melihat nyata mata pisau itu mengincar leherku. Kilaunya berkilat-kilat ke arahku. Nyeri disini. Nyeri disana. Nyeri dimana-mana. Nyeriku nyeri sendiri. Dukaku duka sendiri. Tangisku menangis sendiri.
Tak pernah kuijinkan kau membagi tawa khasmu itu dengan siapapun. Itu milikku dan atas keegoisanku, aku menguasaimu. Kemarin, disana, ditempat teramat jauh yang tak tertembus pandangan mataku, kau bercengkerama. Aku bingung pada kesadaranku. Adakah aku menangis karena sedih atau karena benci.
Ada banyak kesalahan. Hingga lupa menghitung dan lelah mengingat. Apakah salah jika aku bertahan. Adakah jaminan kau menyadari kekeliruanmu. Atau aku yang terlalu egois tak mau beranjak. Kegagalanku satu, tunduk patuh pada keperempuananku. Kalau saja aku seorang lelaki, aku memilih bunuh diri sebab dadaku didesak lirikan mata pisau. Denyut putus asa menari – nari di sekeliling pikiranku. Bayanganku kabur, memudar perlahan. Aku tak lagi bercanda berlebihan denganmu. Kucari sudut cemas yang selalu kau tebarkan padaku. Dan aku enggan bergerak meskipun laut mengering sebab seluruh airnya naik mengguyurku.
Seperti kita percaya bahwa khayangan itu indah tanpa pernah berpijak disana dan tak seorangpun tahu dimana ia berada. Tak ada yang meragukan andai saja khayangan tak seindah seperti yang dikatakan tentangnya. Karena ada satu kekuatan yang melingkupi tempat itu yang tak tertembus imajinasi manusia. Kita, hanya percaya tanpa tahu apa yang dijanjikan untuk kita. Seperti itu aku berada disini mempercayai diriku sendiri. Aku tak tahu apa yang ditawarkan hidup saat ini. Tentara langit tidak turun menemuiku untuk berbisik akan sesuatu yang kutanyakan.
Aku bukan cenayang. Aku bukan ilmuan. Tapi aku tahu memandang gerhana akan sakit dimata. Bagaimana ?? Bisaku hanya memaafkanmu sekarang. Bolehkah aku marah, tetapi bagaimana marah itu? Aku belum tahu. Atau, kau mau mengajariku ???
- 19 Desember 2009