Kalau dipikir-pikir, memang betul apa yang disebutkan dalam cerita itu untuk tidak pilah pilih. Namun, lebih dipikir-pikir lagi, kalimat itu sudah tidak berfungsi di era ini. Seiring waktu berjalan, nama seseorang menjadi teramat penting. Dulu memang setiap orang dilihat nama belakangnya. Siapa itu Capulet, siapa itu Montenegro, siapa itu si anu? Sekarang orang-orang sudah tak lagi peduli nama belakang, mereka sudah membaur. Dan karena pembauran inilah kemudian nama seseorang menjadi amat penting.
Ketika sekolah, kita kenal namanya daftar absensi siswa, disitu tertulis nama-nama siswa urut abjad. Bayangkan jika kita tidak mengenal nama, mana ada absensi? Semuanya dipanggil sama, yang cowok dipanggil le, yang cewek dipanggil nduk.. Hmmmm genduk-genduk dimana-mana, lalu bagaimana membedakannya? Nduk A, nduk B, nduk C? Wah…. Misalnya dalam sebuah kondangan, jika tidak ada nama maka penghulu akan menyebut begini: “saya nikahkan genduk binti bapaknya dengan mas kawin…….dst” Hehehe.
Serupa jika semua cowok dipanggil lelaki, semua cewek dipanggil wanita.
“Kamu mau kencan sama siapa, wan?”
“Sama lelaki dunk?”
“Lelaki yang mana, wan?”
“Lelaki A”
Tetap saja embel-embel A,B,C merupakan sebutan untuk membedakan sosok satu dengan yang lainnya. Tetap perlu pembeda, dan untuk hal ini diperlukan nama. Jeruk saja punya pembeda; jeruk buah, jeruk bali, jeruk pecel, jeruk es. Tidak mungkin semuanya disebut jeruk kuning, lah yang masih ijo disebut apa? Jeruk mentah???
Lain halnya, nama adalah doa dari orangtua kita. Ada yang diberi nama bagus sekali, namun karena kelakuannya jelek maka ia dipanggil ‘kampret’. Jadilah kemana-mana ia dipanggil ‘mpret’. “Mau kemana, mpret?” “Halah mpret, gitu aja kok dipikirin sih mpret..” Hmmm sangat tidak enak di telinga. Kasihan sekali orangtua yang anaknya jadi korban nama alias ini.
Nama merupakan penemuan yang paling penting dalam hidup ini. Dimana-nama perlu nama. Dimana-mana ada nama. Nama sekolah, nama gedung, nama makanan, nama kendaraan saja beda-beda. Semua benda-benda penemuan pun kemudian diberi nama. Pemberian nama pun dimaksudkan untuk membuat kehidupan ini menjadi simpel dan praktis. Bayangkan jika Alexander Graham Bell tidak menyebut temuannya dengan ‘telepon’ lantas bagaimana menyebutnya? Alat komunikasi dua arah yang disambung dengan kabel??? Hehehe… sekarang ada handphone, lantas bagaimana menyebutnya? Alat komunikasi dua arah tanpa kabel? Wah, repot lah untuk menulisnya dalam iklan.
“Alat komunikasi dua arah tanpa kabel X X X….” Waaaaa
Jika di zaman sekarang masih ada orang yang setia pada jargon “what is in the name?”, sebaiknya dikaji lagi. Jelas kalimat ini tidak boleh diartikan ‘apalah artinya sebuah nama?’ tetapi lebih pas jika diartikan ‘apalah artinya sebuah marga?’ sebab kala itu Shakespeare membahas permusuhan antara dua marga dimana anak-anaknya terlibat cinta terlarang. Tragis memang, namun melegenda.
Mungkin, perlu dilahirkan reinkarnasi Shakespeare untuk menuliskan jargon “what is in the clan?” – “apalah artinya sebuah marga?” Sehingga jelas apa yang menjadi masalah. Bukan nama, melainkan marga. Toh, sekarang ini orang-orang tak peduli marga, bukankah cinta lebih berkuasa? Hmmm…
*****