Stasiun Tugu
Semilir angin meruapkan aroma tanah. Rel yang memanjang berkilat oleh sisa embun. Di kejauhan, kabut yang menggayut di pepohonan perlahan musnah terbakar matahari. Sekawanan burung gereja terbang lalu hinggap di kabel tiang listrik. Kicau mereka menyambut para penumpang yang baru saja turun dari kereta.
Dari bangku tunggu, kusaksikan wajah-wajah asing itu lalu lalang. Ah, entah berapa puisi telah lahir distasiun ini. Kalau bukan karena Sunu, tak terfikir olehku menginjakkan kaki kembali di kota ini. Kota yang menyimpan ribuan perjalanan hidupku.
Minggu lalu, menjelang dini hari, Sunu menelepon. Suaranya nyaris tak kukenali lagi. Dia ingin memastikan kedatanganku di resepsi pernikahannya nanti.
"Aku belum pasti bisa berangkat atau tidak" jawabku.
"Lho, kenapa begitu? Usahakanlah datang. Ini hari bersejarah dalam hidupku. Pemikahan kedua dan ketiga nanti, belum tentu kau kuundang lagi." ia terbahak-bahak di ujung kalimatnya.
"Bagaimana kalau aku tak dapat izin dari kantor?"
"Bolos sajalah dari kantormu"
"Semprul, Kau mau aku dipecat?!"
"Kalau dipecat, carilah pekerjaan lain."
Ah, dia masih seperti dulu, pikirku. Humoris dan kerap menganggap enteng semua masalah.
"Okelah, sebisa mungkin kuusahakan datang."
"Ajak serta keluargamu. Kalian bisa menginap di villaku di Kaliurang. Hitung-hitung liburan akhir pekan." Tawarannya itu membuatku mengingatkan sesuatu. Serasa ada yang menohok batin. Sejak wisuda, kami dipisahkan jarak dan waktu.
Sunu melanjutkan tongkat estafet bapaknya. Mengurus usaha mebel dan percetakan.
Aku hampir setahun lontang-Iantung, akhirnya sebuah perusahaan developer lokal membukakan pintu, menerimaku sebagai karyawan.
Komunikasi antara aku dan Sunu pun hanya sebatas e-mail atau pesan singkat saja. Itupun jarang, kalau tak bisa dibilang langka, Kesibukan akhirnya menuntut pengorbanan.
Stasiun mulai sepi. Matahari merangkak tinggi. Puntung rokok kuinjak dengan alas kaki.
Ransel yang tergeletak di lantai pindah ke bahu kiri. Kuayun langkah meninggalkan pelataran stasiun. Menampik rayuan tukang becak. Ojek atau sopir taksi. Aku ingin jalan kaki. Menyusuri jejak-jejak yang tertinggal di kota ini...
Dalam desau angin terdengar bisikan lirih "Ingatan dan kenangan adalah hal paling berharga yang dimiliki manusia", serasa ada hawa dingin meniup tengkuk ku.
Kuputuskan menginap di losmen tak jauh dari gedung resepsi pernikahan Sunu. Naik bis kota cuma sekali. Bahkan, kalau mau, bisa ditempuh dengan jalan kaki.
Waktu resepsi pernikahanku dengan Ratna empat tahun lalu, aku melihat Sunu duduk di deretan bangku belakang. Matanya terpasung ke arah panggung, memelototi biduan yang sedang berdendang.
Ketika tatapan kami bertemu, Sunu tersenyum dan melambaikan tangan. Aku terharu. Tanpa memberi kabar, dia tempuh jarak Yogya-Bandung untuk menghadiri pernikahanku. Itulah yang membuatku merasa bersalah jika tak datang ke pesta pernikahannya.
Ternyata butuh setengah windu untuk membalas kejutan Sunu. Sengaja dia tak kukabari kedatanganku di Yogya. Sebagai calon pengantin, pasti dia sedang esktra sibuk.
Hand Phone kuno yang tergeletak di samping bantal meringkik. Dengan kantuk masih menggayut di pelupuk mata, kuraih Hp itu. Begitu terdengar suara Elin, aku merutuk dalam hati. Perempuan memang sulit dimengerti.
"Apa kamu sudah gila? Aku baru tidur beberapa jam saja!"
"Aku punya kabar baik Ito. Ini menyangkut hubungan kita. Kamu enak bisa tidur. Aku justru semalaman nggak bisa tidur."
"Kabar baik apa?!" kejarku tak sabar.
"Rahasia. Pokoknya kutunggu kamu sekarang juga." Sambungan telepon lalu diputus.
Elin membiarkanku menerka-nerka rahasia apa yang diperamnya. Aku adalah anak kuliahan yang mengandalkan kiriman orangtua setiap bulannya. Tentu saja keluarga Elin memandangku sebelah mata. Apakah keluarganya telah merestui hubungan kami?
Gerangan itu kabar baik yang kudengar, aku langsung berangkat tanpa mandi atau gosok gigi.
Langit mendung jadi payung. Sampai tujuan kudapati Elin termangu di kursi rotan. Gerimis turun satu-satu. Baru beberapa detik aku duduk, Elin membisikkan sesuatu.
"Sudah hampir sebulan lebih haidku tak datang", katanya. Aku tersentak. Ekor mata Elin melirik ke dalam rumah. Kuatir ada yang menguping.
"Sepertinya aku hamil." Suaranya sampai ditelingaku serupa celetar petir di tengah gerimis. Kupikir dia bercanda tapi setelah adu mulut dan melihat gelagatnya yang tegang, aku mulai panik.
Membayangkan masalah-masalah yang kelak ditudingkan ke hidungku, di beranda rumahnya, aku seperti cacing kepanasan.
"Aku belum siap menikah, Elin” Suaraku tersendat di kerongkongan.
"Kenapa?"
"Kamu tahu, kuliahku baru separuh jalan. Aku belum punya pekerjaan. Apa tanggapan orangtuamu nanti?" Elin menggeser kursi hingga kami tak berjarak lagi.
"Jangan kuatir, Ito. Aku kan sudah kerja. Gajiku cukup kok untuk menghidupi kita berdua. Kamu juga bisa tetap kuliah."
"Bodoh!, Kau pikir segampang itu jalan keluarnya?" hardikku spontan. Elin menempelkan telunjuk jarinya ke bibir, meminta agar suaraku dikecilkan.
"Aku masih punya harga diri. Kau tahu bagaimana sikap orangtuamu padaku. Baru pacaran saja sudah memandangku dengan sebelah mata, apalagi menikah dan menggantungkan hidup padamu. Aku tak mau dianggap sebagai benalu."
"Jadi, kamu tak mau tanggungjawab?" Aku gugup ditanya seperti itu.
"Bukan tak mau tanggung jawab. Aku hanya belum siap. Ini terlalu cepat buatku."
Dan keheningan membentangkan jarak yang menyakitkan....
"Lantas bagaimana dengan janin ini?" Elin memegang perutnya. Aku tak punya nyali untuk menatap wajah Elin. Kilau matanya bagai ujung pisau yang meneteskan darah bening.
"Kita gugurkan saja ... " Entah apakah kalimat itu benar-benar terucap dari hatiku atau
hanya terlintas di bibir...
Setahun setelah kejadian itu, Elin memintaku datang menemui dirinya. Dia menungguku dirumah sahabatnya.
"Aku mau menikah, Ito." Aku menghela nafas. Sudah berulang-kali kudengar kalimat itu.
" Astaga, Elin. Sabar sedikit, kenapa sih?! Kuliahku kan hampir selesai." Elin menyeringai seraya geleng kepala.
'Tidak Bukan denganmu, Ito, tapi lelaki lain ..."
Aku seperti disengat kalajengking. Dengan suara serak dia bilang tak sanggup menungguku lebih lama lagi. Mulutku terkunci ketika ia beberkan siapa lelaki yang akan menyuntingnya. Duda satu anak. Pemilik sebuah biro perjalanan. Istrinya meninggal empat tahun lalu. Famili Elin yang mempertemukan mereka.Yang membuatku kecewa, ternyata sudah empat bulan Elin menjalin hubungan dengannya.
Semula aku tak percaya. Mungkin Elin sedang menguji kadar cemburuku. Nyatanya aku salah.
"Ito, usiaku sudah tiga puluh tahun lebih. Aku perempuan biasa yang ingin menikah dan punya anak. Cuma itu yang kuinginkan sekarang."
"Jadi, hubungan kita ... " kugantung kalimatku. Menatap Elin Minta kepastian.
"Kuharap kamu mengerti, Ito. Maaf. . ,," Aku pamit pulang. Rasanya tak perlu lebih lama lagi di tempat itu.
Sepanjang jalan, aku tak habis pikir membayangkan keputusan Elin setelah semua yang kami tempuh bersama. Benar kata orang, jodoh rahasia Tuhan. Jodoh pula yang mempertemukanku dengan Ratna, adik kelasku waktu SMA. Kami bertemu tiga bulan setelah aku bekerja.
Empat tahun kami berumah tangga, namun hingga kini belum ada tangis bayi menyemarakkan rumah kami. Itulah yang membuat suasana hati kami muram. Berbagai cara telah kami tempuh. Pengobatan modern dan tradisional. Saran orang-orang terdekat yang terasa tak masuk akal pun telah kami coba. Namun belum juga ada tanda-tanda kami bakal dapat momongan.
Resepsi pernikahan Sunu meriah. Aku ketemu beberapa mantan teman kuliah. Jadinya seperti reuni dadakan saja. Aku bersua lagi dengan Tama. Dia teman satu kos dulu. Kami bernostalgia, mengenang sebungkus mi yang dibagi dua, menggilir rokok ketengan, tertawa getir ketika tengah malam perut kami berkeriut menahan lapar...
Pada Tama kuceritakan bahwa selain menghadiri resepsi Sunu, ada alasan lain yang memaksaku datang ke kota ini. Aku ingin mengunjungi sebuah tempat jauh di luar kota. Tama heran mendengar penuturanku. Tapi akhirnya dia mau mengantarku ke sana.
Setelah menyalami pengantin, aku dan Tama keluar gedung. Entah bagaimana tanggapan Sunu melihat kehadiranku di pestanya. Aku tak lagi memikirkannya. Bahkan, tanpa salin baju batik lebih dulu, kami langsung meluncur keluar kota. Makan waktu hampir satu jam untuk sampai ke tempat itu.
Rumpun bambu di tepi sungai. Persisnya dekat aliran air yang membelok ke utara. Disanalah aku mengubur masa lalu yang buram. Mengubur janin bayi hasil hubunganku dengan Elin. Aku percaya ada kaitan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan seseorang. Aku juga percaya hukum sebab akibat.
Mungkin bagi orang lain tak ada kaitan antara janin bayi yang kukubur sekian tahun lalu dengan kenyataan bahwa sampai saat ini aku dan Ratna belum dikaruniai anak Tapi aku punya secuil keyakinan, janin dalam kubur tanpa nisan itu adalah jembatan yang menghubungkan jarak dalam hidupku.
Di tepi sungai kami tiba menjelang senja.Tak begitu terik sinar matahari. Tama tahu aku ingin sendiri. Dia menunggu saja diatas motor. Membiarkan aku menuruni lereng sungai. Semakin dekat rumpun bambu itu, semakin bergetar pula jingkat langkah kakiku.
Di bawah rindang rumpun bambu aku berjongkok. Inilah tempat yang kerap menyambangi lamunanku. Bagaimana mungkin kulupakan tanah beberapa jengkal dari ujung sepatuku. Di sini pernah kukubur seonggok janin manusia. Tak ada yang ganjil di sini. Tak juga ada penanda bahwa pernah ada yang ditanam di dalamnya. Kuambil sebatang ranting. Kusapu butiran-butiran kotoran kambing, sampah plastik, dan daun kering yang berserak diatasnya.
Daun dan batang bambu bergesek terdenger ngilu. Gemercik air sungai menambah suasana haru. Desau angin menerbangkanku ke masa lalu. Pelan tapi pasti semuanya terngiang kembali. Rintih kesakitan Elin. Wajahnya yang pias. Air mata yang leleh di pipi. Ah, entah di mana dia sekarang. Tak kudengar lagi kabar beritanya...
"Anakku ..." Aku menelan ludah.... " Sejak malam itu, baru sekarang aku datang menjengukmu. Jika semua yang kualami saat ini adalah balasan karena telah menyia-nyiakanmu, aku mohon maaf.."
Masih banyak yang ingin kudedahkan di bawah rindang rumpun bambu itu. Namun semuanya hanya menggumpal dalam hati. Entah berapa lama aku termangu menatap bayanganku yang memanjang di tanah. Dapat kudengar desah nafasku sendiri. Dengan punggung tangan, kuseka setetes air yang menggantung di bulu mataku..
Tiba-tiba pundak kiriku ditepuk pelan.
"Hampir magrib, Ito. Ayo, kita pulang." Aku tercekat menatap wajah Tama. Saat bangkit ratusan kunang-kunang merubung di pelupuk mata. Tama membantuku yang tertatih-tatih mendaki lereng sungai. Lirih angin mengantar kami meninggalkan tempat itu. Ketika Tama menstarter motornya, kusempatkan menengok ke tepi sungai. Kubayangkan di bawah rumpun bambu itu, seorang anak kecil melambaikan tangan. Wajahnya tersenyum. Tak ada air mata atau dendam tampak diwajahnya...
Bis yang kutumpangi mulai bergerak meninggalkan Terminal Giwangan. Batinku terasa lebih nyaman. Seperti ada beban berat lepas dari pundakku. Di tengah perjalanan, saku celanaku bergetar. Buru-buru kuambil Hp. ada SMS dari Ratna.
"Semalam aku mimpi aneh Mas. Ada anak kecil mengantar keranjang lalu pergi begitu saja. Dia melambaikan tangan dari jauh. Waktu keranjang kubuka, isinya bayi mungil! Mudah-mudahan pertanda baik ya Mas." Aku trenyuh membayangkan bagaimana raut wajah Ratna saat merangkai SMS itu. Ah, dia tak tahu kenapa aku ngotot mau berangkat sendiri ke Yogya.
Dia juga tak pernah tahu rahasia yang selama ini kukubur dalam-dalam. Tentang rumpun bambu di tepi sungai itu. Setelah tertegun beberapa lama, kubalas juga SMS Ratna. Kukatakan padanya agar jangan terlalu percaya pada mimpi.Toh, itu hanya bunga tidur.....
Oyin Ayashi admits that though we try to describe accurately, we cannot verify the exact facts of everything posted. Postings may contain Information, speculation or rumor. We find images from the Web that are believed to belong in the public domain. If any stories or photos that appear on the site are in violation of copyright law, please write in comment box and we will remove the offending section as soon as possible. (Oyiners = Blog reader)