Istri
Kami menikah pada musim yang kaya akan matahari tropis dan angin lembut bertiup manja dari pori-pori awan. Hujan daun berjatuhan dari ranting, ketika kami saling mengucapkan janji seia-sekata, sehidup semati. Dalam untung dan malang. Dalam suka dan duka. Dalam sakit dan sehat. Sampai maut memisahkan. Kuucapkan sumpahku sepenuh hati. Niatku memang tulus dan suci.
Hari itu aku diliputi udara kebahagiaan yang membuatku mabuk kepayang, bagai menenggak berpuluh-puluh sloki scotch. Belum pernah kuIihat istriku tampak demikian cantik dan bercahaya. Benar, dia sungguh-sungguh bersinar, seakan dia menjelma menjadi peri kunang-kunang. Aku terharu, terapung-apung oleh ombak lembut di samudra cintaku kepadanya.
Jangan katakan aku adalah pria yang cengeng atau melankolis, yang mudah tersentuh oleh hal-hal seperti itu. Apa pun suasananya, aku akan selalu tersentuh jika melihat kehadiran istriku. Dia mampu mewarnai hidupku dan menciptakan pelangi setelah hujan turun. Dia adalah kumparan intan permata yang selalu kusemat dalam lorong jiwa tergelapku.
Malamnya, kami bercinta di atas ranjang hotel yang romantis bertabur puluhan kelopak mawar. Kucium belakang telinganya yang wanginya seharum rumpun cemara pada pagi hari. Kuusap bibirnya yang lembut dan kenyal bagai jeli manis berwarna merah delima. Kurasakan degup jantungnya yang stabil dan menenangkan pada tanganku. Cintaku meleleh, membungkusnya rapat-rapat, dari ujung rambut terjauhnya sampai telapak kaki mungilnya. Oh, dia begitu indah.
Tak pernah aku merasakan kekuatan dalam tubuh ini yang ingin selalu melindunginya dari segala marabahaya. Aku menatap istriku tanpa henti, seakan waktu tak pernah berputar dan musim tak pernah memudar. Aku mati-matian menahan diri agar tidak jatuh tertidur, agar detik itu mengkristal, menjadi keabadian, tapi, toh, mata memang dapat mengkhianati hati. Ketika aku menutup kelopak mataku, aku masih merasakan bayangannya yang hidup dan bergerak dalam mimpiku.
Dua bulan kemudian, istriku menyampaikan berita paling manis yang pernah terucap. Dia hamil. Aku akan menjadi ayah dia akan menjadi ibu. Bagai berjalan di atas tanah basah setelah hujan embun, aku merasakan hidupku sungguh lengkap. kami berlayar di dunia yang penuh cinta. Tidak pernah aku ingin memutar perahu ini kembali pada dermaga yang dulu.
Ketika kandungannya berusia tiga bulan, istriku keguguran aku menolak mengatakan bahwa itu adalah peristiwa tersedih yang pernah kualami. Tidak, peristiwa itu membuat cintaku makin dalam padanya. Ketika rahimnya dibersihkan, aku ngotot mendampinginya, menggenggam jemarinya. Dokter sibuk diujung tungkai kakinya, menyedot sisa-sisa janin dengan alat medis yang tampak seperti vacuum cleaner bagiku. Istriku dibius total. Aku menatap matanya. Aku tenggelam dalam mimpinya, memagut tubuhnya dalam pelukanku.
Enam bulan kemudian dia hamil lagi. Kebahagiaan kami mendapatkan bayi hanya seumuur jagung. Dua bulan setelahnya, dia kembali keguguran. Kali ini tangisnya bagai kawah gunung berapi yang sedang menggelegak. Dia ingin mengecek kondisi medisnya. Istriku geram, istriku penasaran, istriku berkabung. Apa gerangan yang membuatnya selalu keguguran? Aku mendampingi dan mendukungnya dalam setiap keputusannya.
Berbulan-bulan dia menjelajahi hutan medis. Tes darah. Tes kesehatan. Tes fisik. Tidak apa-apa, kata semua dokter. Keguguran adalah hal normal yang terjadi pada calon ibu. Aku menggenggam tangannya erat- erat, ketika kepalanya jatuh tertunduk layu di ruang konsultasi dokter.
Setahun kemudian, dia hamil lagi. Kali ini dia bertekad menjaga kandungannya. Istriku beristirahat total di rumah. Dia menyiapkan sarang kecil di kamar kami. Tiap hari kulihat dia bergelung di atas ranjang, tidak melakukan apa-apa, hanya berbaring...
Tidakkah kamu bosan, tanyaku. Tidak, katanya . Ini semua kulakukan untuk anak kita tercinta, begitu jawabnya penuh kasih sayang. Kuperhatikan dirinya dalam gelegak diam yang penuh kebahagiaan, ketika melihat perutnya membuncit. Istriku terlihat makin seksi, sensual, dan menggairahkan. Sembilan bulan melaju demikian cepat. Dia melindungi janinnya baik-baik. Aku berterima kasih kepadanya atas pengorbanannya yang begitu besar. Pagi itu, ketika embun pertama menetes, dia melahirkan bayi kami...
AKU TIDAK PERNAH BERHENTI mencintainya. Hanya istriku yang menjadi tiang utama perhatianku dalam hidup. Hanya dia seorang, tak ada lagi. Setelah melahirkan, dia berubah. Perhatiannya yang dulu bertubi-tubi untukku jadi berkurang. Sering kali aku diabaikan. Sering kali aku didiamkan. Aku selalu bersabar menghadapinya. Kata orang, demikianlah wanita yang baru melahirkan. Hormonnya berubah-ubah...
Oyin Ayashi admits that though we try to describe accurately, we cannot verify the exact facts of everything posted. Postings may contain Information, speculation or rumor. We find images from the Web that are believed to belong in the public domain. If any stories or photos that appear on the site are in violation of copyright law, please write in comment box and we will remove the offending section as soon as possible. (Oyiners = Blog reader)