Kapuk Kayu
Aku melihat diriku dalam kaca. Kutatap bola mataku sendiri yang seolah berbicara penuh isyarat. Aku seorang istri yang menikahi sunyi. Sudah lebih setahun ini aku menemani bantal kapuk. Sesekali ada lelakiku menggantikan bantal itu. Dengan ribuan jentik kantuk ia merebahkan tubuhnya. Menghempas begitu saja tanpa menatapku.
Ia tertidur mendahuluiku. Atau ia akan pulang sangat larut hingga aku tak mendengar kedatangannya. Ketika pagi datang, ia akan sudah di meja makan begitu aku memanggilnya untuk sarapan. Usai itu, aku ditinggal tanpa ucapan I love you sekali saja. Dan aku masih di meja menyelesaikan sarapanku sendiri. Kulihat piringnya selalu menyisakan separuh nasi yang kuambilkan. Aku tak pandai memasak, aku mengaku.
Berada dalam siang hari sangat menyenangkan. Aku tak perlu melihat ekspresi lelakiku yang tak lebih dari bantal kapuk, begitu aku menyebutnya. Biarkan ia bermain di jalanan, menikmati hawa sesukanya, tanpa aku. Karena aku akan di rumah saja. Karena aku tak perlu melihat dunia di luar sana. Karena aku, aku, aku, penghuni rumah ini.
Ia, lelakiku. Ia tak peduli pada tulang yang tak terbalut daging di tubuhku. Ia tak mau memuji kecantikanku. Siapa yang tak mau menjadi pemimpin? Tak akan ada jari yang terangkat. Seperti lelakiku. Ia menikahiku karena ayahku, berjanji akan menjadikannya pewaris. Aku anak satu – satunya, bukan lelaki. Dan lelakiku sudah dipilih. Ialah, yang sekarang diluar sana dan aku tak tahu.
Ia, lelakiku, akan pulang larut malam. Sehingga ia tak menemukan aku menunggu di pintu karena aku sudah lelap. Seperti aku, ia pun menganggapku guling kayu. Tubuhku kurus, tidak berisi. Tentu ia tak tertarik padaku, tapi pada janji ayahku.
Aku tak tahu tentang wanitanya di luar sana. Ia tak perlu mengendap – endap mengelabuhiku. Kalaupun aku tahu, toh aku tak bisa berbuat apa – apa. Karena ayahku menyukainya melebihi dirinya sendiri. Bahkan jika ayah diminta menebas lehernya untuk diberikan kepada lelakiku, ayah akan tersenyum puas.
Jika ia pulang dan menemukan aku menunggunya, ia akan berdalih capek dan ingin cepat tidur. Lagipula, siapa yang mau memeluk kayu???
Aku tak peduli alasan perempuan memilih berpisah dari pasangannya. Kini aku tak lagi membicarakan hati. Mungkin yang disebut hati, aku tak punya. Aku tak peka. Begitu kata orang – orang.
Ia melihat dirinya dalam kaca. Metatap bola matanya sendiri yang seolah berbicara penuh isyarat. Ia seorang istri yang menikahi sunyi. Sudah lebih setahun ini ia menemani bantal kapuk. Sesekali ada aku menggantikan bantal itu. Dengan ribuan jentik kantuk kurebahkan tubuhku. Menghempas begitu saja tanpa menatapnya.
Aku tertidur mendahuluinya. Atau aku akan pulang sangat larut hingga ia tak mendengar kedatanganku. Ketika pagi datang, aku akan sudah di meja makan begitu ia memanggilku untuk sarapan. Usai itu, aku tinggalkan ia tanpa ucapan I love you sekali saja. Dan ia pasti masih di meja menyelesaikan sarapannya sendiri. Ia tentu melihat piringku selalu menyisakan separuh nasi yang ia ambilkan. Ia tak pandai memasak, ia mengaku.
Berada dalam siang hari sangat menyenangkan. Aku tak perlu melihat ekspresi perempuanku yang tak lebih dari guling kayu, begitu aku menyebutnya. Biarkan ia bermain di rumah, menikmati hawa sesukanya, tanpa aku. Karena aku akan di jalanan saja. Karena aku tak perlu melihat gerak – geriknya di rumah itu. Karena aku, aku, aku, bosan di rumah itu.
Aku, lelakinya. Aku tak peduli pada tulang yang tak terbalut daging di tubuhnya. Aku tak mau memuji kecantikannya. Siapa yang tak mau menjadi pemimpin? Tak akan ada jari yang terangkat. Seperti halnya aku. Aku menikahinya karena ayahnya, berjanji akan menjadikanku pewaris. Ia anak satu – satunya, bukan lelaki. Dan aku sudah dipilih. Ialah, yang sekarang diluar rumah dan ia tak tahu.
Aku, lelakinya, akan pulang larut malam. Sehingga aku tak menemukannya menunggu di pintu karena ia sudah lelap. Seperti ia, aku pun menganggapnya guling kayu. Tubuhnya kurus, tidak berisi. Tentu aku tak tertarik padanya, tapi pada janji ayahnya.
Mungkin, ia tak tahu tentang wanitaku di luar sana. Aku tak perlu mengendap – endap mengelabuhinya. Kalaupun ia tahu, toh ia tak bisa berbuat apa – apa. Karena ayahnya menyukaiku melebihi dirinya sendiri. Bahkan jika ayahnya diminta menebas lehernya untuk diberikan kepadaku, ayahnya akan tersenyum puas.
Jika aku pulang dan menemukan ia menungguku, aku akan berdalih capek dan ingin cepat tidur. Lagipula, siapa yang mau memeluk kayu???
Oyin Ayashi admits that though we try to describe accurately, we cannot verify the exact facts of everything posted. Postings may contain Information, speculation or rumor. We find images from the Web that are believed to belong in the public domain. If any stories or photos that appear on the site are in violation of copyright law, please write in comment box and we will remove the offending section as soon as possible. (Oyiners = Blog reader)