Akan ada pagi esok hari. Sama seperti pagi ini dan sebelumnya. Selalu saja matahari muncul di ufuk timur diikuti riuh kokok ayam bersahutan. Kemudian embun memanas dan kering pada dahan yang terbangun dari kemalasannya. Nyala siang menggebu menyayat kulit dan debu menyaingi pandangan mata ke sekitarku.
Denting, yang tak pernah melaju surut, tenang dalam diamnya namun kadang menggilas pesona senja lalu menjadikannya gelap oleh malam. Langkahku pelan kembali pada malam-malam seperti biasanya. Senjaku selalu sama seperti pagiku. Dan diantara siang dan malam yang berganti aku bersembunyi dalam sesak dada. Riuh sekali kudengar disana berteriak pada satu nama. Meskipun hening yang selalu tampak pada bola mata sayu ini. Seolah mencari pagi yang tak sama. Seolah mengharap siang dan malam yang menjelmakan mimpi-mimpiku.
Kepada pagi di tiap kokok ayam aku menjawab sepiku sendiri. Aku disini dengan bayang-bayang yang tak pernah lalai mengikuti langkahku. dan kudengar senandung tua dari lirih batinku ketika mendera sebuah nama di dekat sini, lebih dalam kepada hati. Meski selalu menjadi jera ketika tak ada yang beda pada pagi-pagi sebelumnya.
Aku, dia menyebutku sang dewi rintihan hati... Di matanya aku mendekap rintih kerinduan yang hanya terobati dengan sebuah tanya di pagi hari : menanyakan mimpiku. Aku menahan senyum yang tak mampu terbaca pada bulat bola matanya. Aku bersembunyi dalam riuh teriakan mentari kepada pagi. Aku dan hanya aku di tiap pagi meredam nyala sesal yang kokoh berdiri seperti karang di lautan. Sayang, cermin di kamarku merindukan wajahmu. Kepada pagi ia mencarimu untuk memantulkan pesona dari pancaran senyummu.
Sudah saatnya aku beranjak. Menemukanmu. Karena cinta sudah tak pantas disebut. Aku, sudah jauh dari itu... Dari jantung yang kau sebut berhenti ketika tak ada aku di dekatmu. Aku ingin lari dari detik ini. Sekarang. Menemuimu.