» » JEJAK SEPATU

Pembaca :

Sembari menunggumu aku sudah menghabiskan sepotong roti dan minum tiga gelas air putih. Aku sendiri melihat – lihat kanan kiriku begitu ramai. Inikah yang disebut merasa sepi di tengah keramaian? Memang iya. Saat kutoleh pintu restoran, kubayangkan dirimu datang. Namun berkali – kali aku menemukan lelaki lain yang muncul. Tidak, bukan itu. Bukan lelaki yang kuharapkan datang. Bukan lelaki yang di tangannya melilit sebuah cincin kawin. Bukan lelaki yang di sikunya melingkar jari – jari perempuan cantik. Juga bukan lelaki yang seusia ayahku. Lelaki itu, tentu lebih muda dan harus datang sendirian. Jikalau ia datang beramai – ramai, apalagi dengan perempuan, aku pasti menyesal telah lama menunggunya.

Lama. Ya, lama. Lama adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perjalananku hingga sampai di restoran ini. Sebuah restoran bergaya Jawa dengan menu – menu khas Jogja seperti gudeg yang sebenarnya aku kurang suka. Namun aku akhirnya datang ke sini, karena aku ingin menemuimu. Katamu kau suka tempat ini sehingga aku setuju untuk datang. Sebenarnya aku ingin merekomendasikan tempat lain yang lebih kusuka, terutama untuk menunya. Tetapi karena untukmu kulakukan hal ini.

Bunyi kakiku menghentak di lantai sudah sering membuat kanan kiriku menoleh ke arahku, lalu aku minta maaf dengan mengangguk pelan. Aku mulai mengantuk sebab lama benar kau tak juga datang.

Jika hatiku dan hatimu berupa dua titik, maka ketika ditarik garis panjang akan tampak bergelombang. Dan mungkin begitu bergelombangnya sehingga bisa dikatakan keriting. Aku pergi meninggalkanmu waktu itu sebab aku malas dengan cinta. Romantika. Seperti remaja yang masih labil dan menganggap bahwa cinta itu bisa abadi. Aku berpikir lain. Aku berpikir semua cinta akan hilang kala tak ada lagi dua orang yang sejalan, sepikiran. Sebab butuh dua orang untuk dikatakan cinta. Butuh dua orang untuk disebut setia, jika satu saja maka bunuhlah aku kalau mau menanggungnya. Aku tak sudi.

Aku berjalan ke toilet, membenahi raut mukaku yang barangkali sudah kusut akibat ulahmu. Kenapa kau biarkan aku menunggu selama ini? Kalau saja kau tak datang maka jangan harap kau dapat memanggil namaku lagi. Kau sendiri yang memintaku datang tepat waktu di restoran ini. Di restoran ini! Sebal bukan main hatiku. Dan kau tahu bagaimana orang – orang memperhatikan aku? Sinis, sebab aku berkencan dengan sepi.

Wisnu! Kau harusnya tahu berapa lama untukku mau datang ke tempat ini. Kau harusnya tahu bagaimana aku menyeret kakiku sendiri agar mau melangkah ke sini. Kau harusnya tahu seandainya aku tak pernah kembali padamu. Kau harusnya tahu banyak tentang aku.


Dan aku kembali duduk bertatapan dengan kursi kosong. Ini bukan ngeri melainkan ngilu. Dadaku ngilu memikirkan seandainya kau menipuku. Kau bilang kau ingin aku seperti sepatu yang ke mana – mana terus bersamamu. Sepasang sepatu yang harus ada dua untuk bisa dipakai. Sepasang sepatu yang meski dapat ditemui di banyak toko, hanya sepasang ini yang menarik hatimu. Maka akhirnya aku datang. Aku, sepatu, ingin bertemu dengan kaki – kakimu.

Ding. Ding. Ding. Ding. Ding. Ding. Ding. Ding. Ding. Ding. Sepuluh kali. Berarti ini sudah pukul sepuluh malam. Berarti aku sudah tiga jam duduk sendiri menunggumu. Ah kau Wisnu, menyebalkanku.

Kubayangkan dirimu datang. Kau akan beralasan banyak pekerjaan dan lama untuk menyelesaikannya. Atau karena macet. Atau karena berputar – putar mencari bingkisan untukku agar aku terkesima dan tak jadi memarahimu. Atau banyak lagi alasan lain yang bisa kau buat – buat. Namun yang ingin kudengar adalah alasan kau memintaku datang ke tempat ini.

Seandainya waktu itu aku tak pergi mungkin sekarang aku berada di sisimu. Menjadi pendampingmu. Menjadi wanitamu. Tentu sudah banyak petualangan seru kujalani bersamamu entah menyenangkan entah mengharukan. Itulah bentuk cinta yang pernah kau tawarkan namun aku memilih pergi. Aku tak berpikir perlu meminta maaf sebab pasti kau tahu aku akan pergi. Dan sekarang ini harusnya kau yang meminta maaf karena membuatku tampak bodoh menatap kursi kosong, piring kosong, dan gelas yang terus kuputar – putar sejak tadi.

Oh Wisnu, ayolah kau segera muncul di pintu itu dan temukan aku. Sudah kugeser nomor meja ini menghadap pintu agar ketika kau masuk, kau segera dapat menemukanku, menghampiriku. Lalu kau duduk, berbicara sedikit untuk mencairkan suasana kemudian mengatakan maksudmu memintaku datang. Aku sudah mencoba tak datang, kalau kau mau tahu. Aku sudah menghapus semua pesan darimu. Aku bahkan tak menandai kalendar untuk mengingatkanku akan ajakanmu ini. Aku mengerjakan banyak hal yang kuharap aku tak bisa datang ke sini. Hhhh..aku menghela nafas. Pada akhirnya semua usahaku sia – sia. Kaki – kakiku bergegas juga ke sini begitu aku tahu ini harinya. Kupikir kau akan datang dan aku bisa melihatmu, lagi. Setelah semua yang kulakukan padamu. Setelah aku menolak tawaranmu akan kehidupan cinta yang manis. Waktu itu aku tak peduli karena aku tak percaya. Bukan tak percaya padamu, tetapi pada cinta itu sendiri. Entah mengapa.

Aku mungkin merasa takut akan kehidupan cinta yang diperlihatkan sekitarku. Orangtuaku tak mampu menjaga kehidupan cinta hingga keduanya harus berpisah. Teman – temanku pun tak mendapat prosi nyaman untuk kehidupan cinta. Lalu mengapa kuberanikan diri untuk mencobanya? Waktu itu aku begitu berontak menolak. Namun sebenarnya aku begitu penakut.

Saat ini kubiarkan diriku menemuimu. Mungkin saja aku akan mau menerima ajakanmu tentang cinta. Asalkan kau belum menemukan sepatu yang lain. Meninggalkanmu waktu itu adalah yang kusesali saat ini. Kuharap aku masih ada kesempatan untuk tak meninggalkanmu, lagi. Kau pasti bertanya – tanya tentang sikapku. Tentang mengapa aku tak bergerak menjelaskan alasanku pergi. Tentang mengapa aku memilih menghilang dan kau masih bisa menemukanku. Kau begitu gigih dan sabar. Aku mulai memahami sesuatu pada dirimu yang kuinginkan.

Aku kecewa. Kau biarkan aku kecewa hari ini…

Meja dan kursi mulai dirapikan. Sebentar lagi lampu akan dimatikan. Dan aku? Aku harus segera bangkit dari kursi. Berjalan lunglai sebab aku merasa sia – sia sekaligus menyesal sekali. Aku merasa teramat bodoh. Seharusnya kuturuti egoisku untuk tak datang. Untuk tak perlu bertemu denganmu lagi. Untuk tak perlu berandai – andai tentang kita. Untuk berhenti dari semua yang kau minta dariku. Seharusnya aku menyadari bahwa tak ada seporsi kehidupan cinta yang manis untukku. Aku akan bisa menyesali namun aku tak sanggup menemuimu kali ini. Lebih baik kau tak datang. Ya. Sejak sekarang dan untuk selamanya, kau tak usah datang padaku entah apa alasanmu.

Bahkan hujan turut menambah kesal hatiku. Sepertinya malam ini ada untuk menyadarkanku akan sebuah penyesalan. Kutengadahkan wajah ke langit dan air menetes – netes melewati daguku. Ini sudah larut dan sepi. Sejak tadi aku bergumul dengan keramaian dan sekarang nyaris tak ada canda. Aku berkhayal bahwa air hujan dapat melenyapkan sedihku. Aku berkhayal seandainya aku bisa kembali pada malam itu. Malam ketika kau masih menggenggam erat tanganku. Malam ketika kau masih dapat kulihat. Malam ketika aku meremehkanmu. Seandainya aku tak takut akan cinta, aku pasti segera memelukmu. Aku akan menghabiskan sisa hidupku di sampingmu. Menungguimu pulang ke malam – malammu, yaitu aku. Aku akan benar – benar menjadi sepasang sepatu bagimu.

Kini aku menyesal ditemani hujan. Jalanan licin dan kunikmati dengan berjalan telanjang kaki. Kutenteng sepasang sepatu di tanganku sekarang. Aku berpikir, berjalan tanpa sepatu pun bisa. Apakah kau sekarang menyadari dirimu tak lagi butuh sepatu, tak lagi butuh aku? Apakah kau berpikir aku tetap seperti malam itu? Apakah kau bergegas mengepak segala cintamu untuk diberikan pada perempuan lain? Ah, ngilu lagi hatiku.

Aku merasa sesak nafas. Aku menangis, akhirnya. Aku begitu angkuh dengan diriku sehingga mengabaikanmu. Ketika sekarang tak kutemukan dirimu, aku menjadi sepi. Sepi yang tak kurasakan bertahun – tahun saat aku menghilang darimu. Aku menyesali ketakutan yang hadir malam ini. Ya. Ini ketakutan yang selalu kuhindari. Akhirnya, aku mengalami dan kaulah yang mendalangi. Oh bukan, tetapi aku sendiri. Aku yang tak membalas semua pesan – pesanmu. Aku yang selalu saja mengabaikanmu. Aku yang terlalu tak peduli padamu. Ini salahku sendiri.


Aku mengingat di restoran itu kita selalu ribut sebab aku tak suka menunya namun kau begitu suka. Kau akan melahap dengan cepat makanan di piring tanpa menghiraukanku dan ketika melihat piringku masih penuh, secepatnya kau menyambarnya. Aku hanya duduk menyaksikan adegan makan seorang lelaki yang di luar dipuja banyak wanita namun merelakan dirinya menemaniku tanpa kejelasan. Kau pasti lelah, sehingga sekarang kau tak datang.

Dua tahun ini aku tak ke mana – mana. Aku hanya menutup pintu rumahku untukmu. Aku hanya tak ingin memikirkan alasan mengapa kau memilih aku untuk kehidupan cintamu. Bukankah kau tahu aku sangat takut padanya. Aku takut jika kita tak akan mampu bertahan selamanya. Aku takut akan perpisahan. Maka ketika kupikir terus di dekatmu tanpa cinta adalah kebahagiaan untuk kita, aku menjadi marah karena kau datang malam itu untuk meminta hatiku.

Sebuah perjalanan yang panjang dan cukup melelahkan untukku bisa melangkahkan kaki ke restoran Jawa itu. Melelahkan karena aku harus berkelahi dengan hatiku sendiri agar tak lagi mengabaikanmu. Berhari – hari terus kupandangi jendela kamarku dan kuharap kau akan muncul. Setidaknya kau muncul lebih cepat agar aku menjadi yakin akan dirimu, Wisnu. Tapi mengapa kau justru menambah berat beban ketakutanku. Apa yang kau mau dariku? Pertanyaanku ini tak perlu kau jawab, aku muak. Beberapa langkah lagi aku akan sampai di rumah. Begitu aku masuk ke dalam rumah, kau harus menghilang dari pikiranku. Kau tak boleh lagi mengusikku. Cukup. Kali ini kau sudah membalasku. Pikirmu ini lucukah? Sama sekali tidak untukku.

Satu – satunya yang kuinginkan di sisa malam ini hanya tidur. Pulas. Esok pagi aku kembali pada diriku seperti kemarin, seperti sebelum aku berharap akan Wisnu. Kau, menyebalkanku!

“Ketika kamu mulai mengingatku, maka aku akan ada di situ, di hatimu.” Aku masih ingat kata – katamu yang sambil bergurau itu. Aku menampik saja tanganmu yang menunjuk ke arahku. “Tidak, untuk apa aku mengingatmu.” jawabku.

Aku merasakan sebal di hatiku. Ini benar – benar menyesakkan ketika seseorang yang dulu bisa kutemui kini tak lagi ada. Kau bahkan mempermainkanku. Seharusnya aku tak pernah peduli lagi akan dirimu. Lebih baik aku melupakanmu tanpa jejak. Aku tak mau menjadi sepatu bagimu. Aku akan melempar segala yang kuingat tentangmu. Seperti aku melempar sepasang sepatu ini di pintu pagar. “Brakkk” kulampiaskan juga akhirnya kesedihanku pada pintu.

Dan kurebahkan diriku dalam air hangat. Kutenangkan diriku walau sebenarnya sulit. Saat kupejamkan mata, aku kembali teringat padamu. Aku buka lebar – lebar mataku. Ah Wisnu, kau selalu saja menggangguku. Aku berharap dirimu benar – benar lenyap. Lenyap sajalah bersama malam larut ini. Lenyap bersama hujan di luar sana. Ah, ya di luar memang hujan begitu deras. Aku bisa mendengarnya dari dalam rumah. Memang kita tak pernah bisa bersembunyi dari suara hujan. Entah hujan, entah dirimu, selalu bisa menemukanku.

Ngilu hatiku mulai merambat hingga ujung kakiku. Aku merasakan lantai begitu dingin. Kau dan hujan tampaknya bersekutu. Namun aku harus melawan keduanya. Oh, aku lupa kini sepatuku sedang kehujanan di luar sana. Betapa kejamnya aku ini. Melampiaskan kekesalanku pada benda – benda yang kumiliki. Tapi hujan masih sangat deras, pastilah dingin di luar sana lebih dahsyat daripada di dalam sini. Maka biar kutengok saja dari pintu jendela. Tetapi samar, aku membayangkan dirimu berdiri di luar, seperti malam – malam ketika kita masih bersama. Aku membayangkan dirimu ada.

“Kau tak lupa dengan sepatu ini, bukan? Madya?”

Hening.

Wisnu, kaukah yang berdiri di luar itu? Kau datang? Menemuiku? Kaukah itu? Wisnu?

Aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Di luar sana berdiri lelaki yang kuharapkan ada sejak tadi. Kau, Wisnu, datang selarut ini?

“Aku memiliki banyak alasan mengapa aku terlambat, Madya. Namun, tentu kau tak ingin tetanggamu mendengar dialog ini. Jadi, bukakan pintu!”

Seenakmu berkata seperti itu padaku. Rasa kesal sudah hampir membunuh kemanusiaanku. Kau adalah dalang segala ketakutanku dan sekarang kau muncul begitu saja. Tidak bisa. Aku bersembunyi di balik tirai jendela. Dadaku berdebar dan badanku gemetar seperti tak sanggup berdiri. Sebab sejak tadi aku berharap kau muncul, namun kau begitu mempermainkanku. Wisnu! Bagaimana kau bisa tiba – tiba ada di situ. Di luar hujan sangat deras dan kau berdiri sejak tadi. Sejak kapan kau berdiri di situ? Sudah lamakah? Apa kau merasa dingin? Ah, aku tak bisa memaafkan diriku sendiri jika kau pergi lagi.

Maka akhirnya kubuka pintu. Aku bisa melihatmu. Aku bisa menatapmu cukup lama. Dan kau juga menatapku cukup lama. Kau akan terus saja menatapku dan diam?

“Kau tak mau menjelaskan alasanmu tak datang ke restoran favoritmu itu?”

“Aku sudah bilang aku memiliki banyak alasan tak datang ke restoran itu. Madya, dengarkan. Aku sudah berdiri cukup lama di sana dan sekarang aku basah. Ini dingin sekali, jadi biarkan aku masuk sajalah…”

“Kau tak perlu berbicara keras…”

“Tapi di luar hujan deras, kau sangat pelit jika membiarkanku membeku di sini.” Ah ya, bagus. Kau melompati pagar juga. Dan sekarang mendekatiku. Apa maumu? Kau pikir aku akan membiarkanmu masuk?

“Aku sudah menunggu lama untukmu, Madya. Kupikir dua tahun sudah cukup bagimu untuk memikirkan aku. Sekarang, aku tak ingin kehilangan sepatuku lagi. Jadi kembalikanlah sepatuku. Kembalikanlah Madya-ku”

Wisnu, ini adalah yang kuharapkan sejak tadi. Kau memang mengejutkanku. Malam ini aku tak akan melakukan kesalahanku lagi. Jika malam – malam yang sudah kau lewati tanpa aku ingin kau tagih, sekarang ini saatnya.

“Kau hanya diam? Tak mau berkata apa – apa?”

“Ya.” Kini aku bisa memelukmu.

Ding. Waktu sekarang tepat tengah malam. Tepat saat aku memelukmu. Saat aku memulai kehidupan cinta denganmu. Kau, jangan pernah membalas kepergianku. Aku akan membayarnya mulai detik ini. Aku, sepatumu, kini milikmu.

*cerpen ditulis oleh Oyin (3/5/2012)

Disclaimer
Oyin Ayashi admits that though we try to describe accurately, we cannot verify the exact facts of everything posted. Postings may contain Information, speculation or rumor. We find images from the Web that are believed to belong in the public domain. If any stories or photos that appear on the site are in violation of copyright law, please write in comment box and we will remove the offending section as soon as possible. (Oyiners = Blog reader)

Above article written by Unknown

bean
Hi there!, You just read an article JEJAK SEPATU . Thank you for visiting our blog. We are really enthusiastic in Blogging. In our personal life we spend time on photography, mount climbing, snorkeling, and culinary. And sometimes We write programming code.
«
Next
Newer Post
»
Next
Older Post

Silakan beri komentar dengan akun facebook Anda