Ini adalah suasana saat makan siang di salah satu pasar yang ramai di jalanan Yogyakarta. Ketika Vera dan teman-temannya mulai bekerja. Mereka berjalan melewati kios-kios, berlenggok dengan alat musik buatannya sendiri, menyanyikan lagu-lagu dengan pakaian minim, lipstik tebal dengan percaya diri tinggi. Yang penting baginya tidak merugikan.
Beberapa pemilik kios ikut menari; yang lain berpaling jijik. Dan ada seorang laki-laki yang tengah memperhatikan dengan mulut ternganga, sehingga makanannya jatuh.
Vera adalah yang paling tinggi di antara kelompoknya. Dia bilang dia tahu bahwa dia menjadi perempuan jauh sebelum dia mulai memakai make-up, meskipun – secara biologis – dia seorang laki-laki.
Bingung soal Agama
Banyak waria adalah Muslim, tapi tidak banyak masjid atau pesantren di mana mereka merasa nyaman mengaji sebagai perempuan. Sehingga mereka masuk dalam pesantren khusus yang dibuat untuk waria.
Maryani, yang tampak pada gambar, adalah pendiri sekolah waria. Dia men-transgender dirinya sendiri, dan mengatakan ia ingin ada tempat di mana orang seperti dia bisa berkumpul dan berdoa secara bebas. "Tetangga dekat kami bisa sangat menerima, tetapi ada orang-orang dalam komunitas Muslim yang lebih luas berpikir bahwa kami adalah makhluk penuh dosa."
Takut dan Penasaran
Vera dan teman-temannya adalah bagian dari kelompok yang dikenal di Indonesia sebagai waria - kata waria berasal dari bahasa Indonesia "wanita" yang berarti perempuan, dan "pria" yang berarti laki - laki. Mereka mencari nafkah dengan menggoda pelanggan mereka: yang takut, yang penasaran dan yang cuek.
Manusia atau binatang ?
Vera (kanan) seperti biasanya datang ke rumah kecil dengan teman-temannya untuk berdoa dan belajar Quran, tetapi kadang juga hanya untuk nongkrong, menggosip, menonton televisi dan makan makanan ringan yang dibuat Maryani.
Dia suka karena tidak ada tekanan untuk menjadi sesuatu yang mereka tidak inginkan. "Ada orang mengatakan 'itu manusia atau binatang?'" Katanya. "Aku sudah lari ke orang-orang yang dalam nama Tuhan. disebut kekerasan". Waria umumnya diterima sebagai musisi jalanan, tetapi dalam konteks lain, diskriminasi tetap marak.
Perasaan Campur Aduk
Di sekolah Agama Islam tradisional, muncul berbagai reaksi terhadap waria, mulai dari yang menerima hingga menolak secara langsung keberadaan mereka. Di sekolah ini, anak laki-laki dan perempuan dipisah secara ketat begitulah seharusnya kata sang imam.
"Dalam Islam, ada aturan terpisah untuk pria dan wanita, sehingga mereka tidak boleh campur. Hanya ada dua identitas gender dalam Islam pria dan wanita. Yang tidak bisa diingkari." Pengecualian untuk waria cukup baik, katanya, hanya jika mereka berusaha mematuhi ajaran Islam dan kembali ke jenis kelamin asli mereka.
Stigma
Pekerjaan tidak mudah didapat di Indonesia jika hidup sebagai seorang wanita dalam tubuh pria. Sekolah mungkin telah memudahkan waria untuk belajar tentang ajaran Islam, tetapi di luar masih ada anggapan yaitu lebih sulit hidup dengan mereka (waria).
Source