Ijinkan aku menciummu sekali lagi. Sebab aku getir dan lidahku pahit, disini sepi sekali hingga yang kudengar hanya detak jarum jam. Barangkali aku masih menemukan diriku di sana, di bibirmu yang pucat. Aku menjadi dingin oleh sepi ini, yang kau ciptakan lewat jejak langkahmu. Aku ingin memburu sementara tak kutahu dimana dirimu.
Kupikir, bolehkah aku menciummu sekali saja. Biar kutemukan bahwa yang kuinginkan selalu ada padamu. Di setiap jatuh bulu matamu, itu untukku. Agar bisa kusimpan dan kudoakan lagi di ubun – ubun rinduku. Tapi berjanjilah, saat itu bukan hanya dirimu yang kembali, aku ingin semuanya yang ada padamu. Jari – jarimu, yang selalu menggelitik kakiku di pagi hari.
Biar kulunasi hutang – hutangku padamu. Hutang atas tiap detik yang kulewatkan tidak bersamamu. Jutaan ampun sudah kautimbun di bawah bantal setiap malamnya. Aku takut, kau hanya akan bermimpi buruk. Sebab aku tidak disampingmu untuk membangunkanmu jika kau mengingau. Percayalah, aku mencemaskan malam – malammu yang tanpa aku. Aku cemas akan sinar bulan yang menerobos genting kaca dan mengenai wajahmu yang memucat.
Setiap pagi kau menyisir dapur, mencari – cari gelas teh dan mulai mengaduk sembari menguap oleh sisa kantuk tadi malam. Sehingga kau pernah lupa kalau di dalamnya tidak ada gula, jadilah pahit tertinggal di lidahku. Aku pura – pura menjatuhkan sendok, maafkan aku. Sebenarnya aku menambahkan gula ketika kau menuju almari mencari – cari kemejaku. Dan ketika kau kembali dan bertanya tentang teh ini, aku bilang ini manis. Saat itu aku bisa melihat senyummu lagi.
Mari kubacakan kenakalanmu. Di rumah biru, rumah yang kusiapkan untuk menyergapmu selamanya. Aku selalu terkejut saat kau datang setengah berlari ke arahku, kupikir ada cicak atau kecoa menyerangmu, tapi tidak ! Disanalah segenap rindumu menuntut balas, dan aku kesulitan bernafas sebab kau mengunci diriku. Bahkan aku sendiri belum menyapa daun pintu.
Tentang sajak – sajak Cendrakasih. Kubilang cendrawasih, kau bilang cendrakasih. Yang kudengar di timur sana adalah cendrawasih, tapi kau bilang cendrakasih. Karena namaku Kasih, bukan Wasih. Disini tak ada cendrawasih tapi cendrakasih. Itu katamu waktu itu, dan aku hanya mampu tersenyum. Kuikuti jejak langkahmu kecil – kecil menuju kamar biru, lalu membanting pintu.
Di kamar biru itu setiap malamnya kau bisikkan doa pada sprei dan selimut yang menggulung tubuhmu. Angan – anganmu merajuk. “Kalau saja genting kamar ini semuanya kaca, aku akan melihat bintang jatuh ketika fajar” Kubilang, kalau ada kecoa berjalan beriringan, maka kau akan menjerit lebih keras dari harimau ! Disitu kau melipat bibirmu dan matamu nyalang menusukku. Berhenti, aku bisa mati seketika.
Hari ini lain, pagi ini lain. Beberapa pagi ini tak ada lagi segelas teh panas di meja. Tak ada lagi pura – pura tentang sendok dan gula. Aku terbangun lebih pagi dari jam weker. Kemarin ketika kau disini, weker itu selalu menjerit keras sebab aku malas keluar. Aku menunggumu menggeliat oleh panas matahari saat itu. Aku pura – pura masih mengantuk karena menunggu jari – jarimu membangunkanku.
Tapi, sekarang tidak lagi. Sajak – sajak kelambu. Sajak – sajak sepi. Yang kudengar hanya dengung – ngung – ngung. Ngung dari kipas angin. Ngung dari laron mengelilingi lampu teras. Ngung dari sepi. Ngung dari kata – katamu. Saat itu aku tak mengerti dan sekarang aku meratapi.
“………….jika aku meninggalkanmu nanti, itu bukan karena aku tak lagi mencintaimu. Bukan karena pesona kehidupan diluar yang menggodaku. Bukan karena asap dari daging panggang di Warung Bayuh. Bukan karena ego dan emosional bercampur mengecamuki khayalku…… Dan ketika aku pergi, aku ingin kau memutuskan, apakah ketiadaanku menjadi belenggu bagimu………..”
Perempuan ayu. Menemukanmu seperti menyempurnakan perak usiaku. Kerjamu berputar – putar dari ujung – ujung mataku. Mencuri waktu mengelabuhi sadarku. Kau bilang marah tapi bibirmu tersenyum, semudah itukah mengenyahkan amarah?
Ia menghukumku. Di rumah ini ia seringnya berteman jam dinding, juga di malam – malam ketika aku tak ada. Sudah puluhan malam kupaksakan tidak menemaninya, sekarang ia yang tak menemaniku. Ia dan jam dinding bersekutu. Tiap detik jam dinding itu mengingatkan aku berapa lama aku duduk sendiri memandanginya. Sendiri seperti ini yang selalu kau rasakan. Ini aneh bagiku. Aneh, karena aku tak lagi mendengar ribut suaramu atas kaos kaki yang terserak di pintu dan sepatu – sepatu yang mulai bau.
Inikah yang disebut rindu? Rindu yang larut dalam kejenuhan batinku. Rinduku telah berlumut dan mulai rapuh oleh akar – akarnya. Pulanglah, dan buang rindu ini jauh dariku. Kita akan membuangnya di laut. Ya, di laut. Di laut dimana kau dilahirkan dulu. Aku tahu, kau suka dengan laut. Ya, kita akan ke laut esok pagi…
Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok. Jam dinding. Jam tangan. Jam weker. Semua jam di rumah ini berbunyi tik tok tik tok. Membuatku takut. Membuatku ngeri. Membuatku nyeri. Tiap – tiap tik tok jarum itu menusukki kulitku. Menjadi ngilu, menjadi ruam, menjadi biru.
Dan malam ini gelap. Lampu mati. Disini cuma ada satu batang lilin. Aku ingat kau sangat takut gelap. Seperti sesak nafas, katamu. Setiap tidur kau tak mau lampu di kamar mati. Aku pun tak pernah membiarkannya mati, bahkan di siang hari. Aku hanya tak ingin kau sesak nafas. Tapi malam ini lampu mati, tak hanya di kamar, tapi juga diluar, di jalan – jalan yang semakin sepi saja!
Mari berdamai dengan sepi. Ia dan rindu menjadi ruam tersendiri di pikiranku. Sebelum tubuhku menggigil oleh angin sepi, pulanglah. Mari bermain – main lagi. Dimanapun kau ingin bermain. Di mana? Di sini? Di sana? Di situ? Dimanapun, aku setuju. Jangan bersembunyi di tempat yang tak bisa kujangkau. Minimal beri aku teka – teki, kata kunci. Sehingga aku mulai mencari. Tidak seperti ini mengurung diri mendengarkan dengung jejak – jejak sepi. Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok. Memilukan.
“…….Dan ketika aku pergi, aku ingin kau memutuskan, apakah ketiadaanku menjadi belenggu bagimu………..”
Ini tak lagi belenggu. Ini memilukan. Ini menjemukan. Dan dengung kata – katamu itu menjadi – jadi di kepalaku. Semakin berdengung berputar – putar. Jadi, kapan kau mau kembali pulang? Sebab aku pikir aku masih berhak menciummu sekali lagi. Dan akan kutemukan bahwa yang kucari selalu ada padamu. Aku janji, esok kita akan ke laut…
( Sebenarnya aku tak punya waktu untuk itu.. ) ……………………………
5 June 2010, 07:53