Aku terpaksa marah. Ya, sangat terpaksa. Sebelum ini, aku tergolong jarang marah dan mau nrimo saja. Sebab aku mengidap keyakinan bahwa setiap hubungan kudu melewati ujian dan rintangan untuk menjadi lebih kokoh. Ini paham yang bagus. Tetapi –kata tetapi memang sangat kontras– nyatanya melewati ujian demi ujian itu cukup menguras emosi, tenaga, dan waktu.
Biasanya aku tidur 4-5 jam sehari, tetapi saat ada konflik aku bisa tidak tidur 2 hari berturut-turut. Dan itu pun kurang. Wah, padahal ia dan aku sama-sama punya aktivitas walaupun beda gudang. Aku segudang, ia bergudang-gudang saking banyaknya. “apa ndak capek?” Oh, tentu capek sekali. Capai. Tetapi apa daya, semua konflik harus selesai saat itu juga. Tidak boleh di bahas lagi di kemudian hari. Masalah capek menjadi nomor sekian puluh. Anehnya, ketahanan tubuh tidak protes saat diajak beradu argumen, adu kuat-kuatan emosi, adu besar-besaran ego. Ia seolah siap untuk bahu membahu menjadi pemenang laga konflik intern rumah tangga ini. Gut.
Lalu, yang agak menjengkelkan, aku musti mengalah. Bukan untuk dinyatakan kalah tetapi untuk menghentikan konflik. Mengalah tak selalu kalah, kata orang. Tunggu sejenak. Kalau mengalah sekali atau dua tiga kali ya silakan, aku tidak keberatan. Tapi kalau mengalah seminggu sekali? Oooo, No!!! Agar tahu rasa, kubuat keadaan berbalik. Sesekali aku tidak mengalah. Dalam kasus ini ‘doi’ jadi heran. “Kok ndak biasanya marah tanpa ampun? Duh, ampun ya kali ini…” wah, mana kutahu. Kali ini aku benar-benar ingin merasakan bagaimana rasanya tidak mengalah. Boleh dong, masa mengalah terus, capek deh…
Dalam periode konflik itu, ada beberapa hal yang biasanya kupersiapkan. Mental dan fisik jadi nomor utama. Selanjutnya stok makanan dan cemilan, walaupun kalau sedang konflik biasanya nafsu makan turun. Dan tissue. Ini juga penting, sebab tak bisa munafik aku ini perempuan super sensitif yang kalau emosi inginnya menangis-nangis terus. Tapi itu sewaktu aku bersedia mengalah. Setelah aku mencoba tak mau mengalah, jelas tissue sudah berkurang penggunaannya. Ini kalau aku, entah kalau ‘doi’…
Kadang-kadang aku berpikir apa tujuan utama marah-marah, kalau setelah konflik selesai keduanya akur. Lalu merayu-rayu lagi dengan kata-kata ala ABG metropolitan untuk menyenangkanku. Masalah kemarin? Wah, sudah lupa. Bahkan apa yang diucapkan dalam marah-marah itu pun lenyap. So fast so furious. Kalau aku iseng bertanya, “kok ndak marah-marah kayak kemarin?”, bisa-bisanya ia menjawab, “siapa yang marah-marah?”. What? Sesimpel itu melupakan gemuruh konflik kemarin.
Aku jadi curiga apa modus di balik amarahnya yang meledak-ledak itu. Usut punya usut, ternyata akar masalahnya ya longing (kangen). Kan ada lagunya, sehari tak bertemu rasanya bagai sewindu. Itu-itu saja dari kemarin yang mendalangi segala konflik berlatar perbedaan aktivitas ini. Sehingga aku mendokumentasikan rangkaian kata-kata indah yang dibuatnya ketika marah-marah. Lalu setelah ia mulai merayu-rayu, aku tunjukkan rekaman dialognya sendiri. Apa katanya? Hohoho, “itu orang gila yang ngomong”. Benar sekali kalau begitu, dirinya sendiri saja dibilang gila. Jadi aku pun ikut gila, malah lebih gila karena mau sama orang gila. Awalnya siapa yang gila, kemudian menular, gilalah keduanya.
Kemarin aku marah sekali, meledak-ledak seumpama bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Masalahnya sepele tak sepele. Gara-gara sehari tidak komunikasi, tidak ada kabar. Padahal tidak sedang mengurusi gudang-gudangnya yang begitu banyak, padahal sudah beli pulsa jadi tidak bisa berakting kayak iklan, “aku nggak punya pulsaaaaaa….”. Alasannya beraneka ragam dari satu hal merembet ke hal lain, yang percuma saja diucapkan sebab aku terlanjur marah. Mana mungkin langsung reda dalam sekejab. Mau alasan hape hilang (lagi), wah alasan klasik yang cukup membuat prihatin tapi kok lama-lama bosen juga kalau sebentar-sebentar hape hilang. Boros itu namanya, lalai. Kalau itu hidung tidak dipaku di wajah oleh Gusti Allah, mungkin sudah hilang juga. Hmmmm
Biasanya kalau mau melakukan hal-hal yang tidak boleh diganggu dengan sms atau telepon, ia akan konfirmasi dulu. Entah dengan nada serius atau agak merayu. Tapi kemarin tidak. Malah tidak ada rapat, tidak ada tugas luar, tidak ada acara dipanggil bos-bosan. Mencurigakan sekali kalau seharian diam saja tanpa kabar. Curiga boleh dong, namanya juga kalau sedang long distance kan tidak saling melihat. Namun, aku masih wajar mengolah kecurigaanku. Tak seperti biasanya ia meledak-ledak, aku menggunakan jurus kalem-kalem saja. Akhirnya aku tahu alasannya, pakai alasan pamungkas: sakit. Wah, siapa yang tega marah-marah kalau alasannya sakit. Tapi kok sakit tetap kerja, sakit tetap begadang. Wah, super curiga menjadi-jadi. Ada-ada saja ini kelihatannya.
Ya sudah, mau sakit atau tidak, aku tetap marah-marah. Kali ini tidak menyisihkan belas kasihan lagi, karena tidak mau mengalah. Masa mengalah kok terus? Biarpun dibilang tidak kasihan, ya biar saja. Aku kan punya hak untuk melampiaskan marah, kalau ditahan sampai besok jelas sudah lupa marahnya. Dan kalau aku sedang asyiknya menumpahkan amarahku, tingkahnya aneh-aneh saja. Mengalihkan perhatian dengan pura-pura tidak menyimak kata-kataku, menawarkan macam-macam kesukaanku, juga menceritakan hal-hal lucu di kantor. Hemm namun tidak mempan. Jadinya ia diam saja menunggu aku selesai bicara, tapi “kok ndak selesai-selesai to marahnya?”. Apa? Marah saja disuruh berhenti? Hakku ini mau marah-marah sampai dua minggu, toh aku marah sama sumber amarah dan ada alasan kuat untukku marah-marah. Kenapa disuruh berhenti? Enak saja giliran aku marah maunya distop.
Kalau lagi chatting atau sms dan aku sedang marah, ia selalu mengeluarkan jurus emoticon-emoticon merengut. Apa tujuannya biar aku luluh? Oh, tidak. Sebelum habis semua amarahku, caci maki terus berlanjut. Dibilang kejam, ya biar. Dibilang sadis, ya biar saja. Aku ini sedang marah!
Pernah, aku dipojokkan oleh argumennya. Katanya, “aku kalau marah ndak sampe lama og, masa ini aku dimarahi berhari-hari…” Kembali lagi, ini hakku untuk marah-marah, mau seminggu atau setahun. Sebab yang namanya kesalahan sudah ditegur kemarin kok masih saja diulang-ulang, siapa yang tidak jengkel? Aku jelas saja super jengkel. Alasan lupa terus yang jadi andalan. Lama-lama aku ingin menghapus kata ‘lupa’ dari KBBI. Tidak boleh ada lagi orang beralasan lupa. Saking jengkelnya aku.
Kalau sedang mesra, asam di gunung garam di laut bertemunya di kuali. Kalau sedang marah, cowok datang dari Mars sedangkan cewek datang dari Venus. Sudah tahu kalau cewek itu sifatnya labil, kan dia harus berjuang mengendalikan emosi setiap mau datang bulan. Di masa-masa ini harusnya cowok mengerti, harus mau dimarah-marahi dan dengarkan saja, nanti kalau sudah reda ya hilang sendiri marahnya. Tidak perlu dibalas dengan marah-marah juga. Dengan begitu hubungan aman, tidak perlu berada diujung tanduk.
Bukankah cowok sudah merumuskan bahwa cewek itu labil, cerewet, manja, kalau marah seperti ayam mau bertelur, bahkan hal-hal yang sudah dijatuhi vonis selesai bisa dibawa naik banding alias dibahas lagi. Tapi toh cowok tetap mencari-cari cewek. Kalau segitunya mendeskripsikan cewek, kenapa masih doyan sama cewek? Cari saja cowok, mungkin sensaninya beda, itu kalau sudah tidak normal. Kalau doi sih, tetep normal walaupun aku marah-marah tiada henti. Aku dikatai seperti babon juga, tapi kok tetap mau sama aku? Katanya sudah nyandu.
Well, aku tadi marah-marah kenapa sekarang mereda begini? Tanpa sadar. Pokoknya, sekarang aku marah. Marah sekali sebab lama kelamaan sifat kekanak-kanakannya menjadi-jadi. Sudah diberi nasihat berulang kali, kok ya tidak ngefek apa-apa. Tetap saja diulang. Apa harus kutempel di depan pintu kamar mandi, “SMS DUNK SAY..”, begitu? Biar kalau kucek-kucek mata penuh belek itu ingat aku. Sudah tahu sedang long distance itu beda dengan saat tinggal serumah, eh tidak sadar juga kalau komunikasi itu penting. Diatas segala-galanya. Yang serumah saja bisa konflik apalagi yang jauh. Benar-benar makhluk Mars! Masa dijawab,”ndak hilang kok…”
Inginnya aku, cepat sampai di depannya lalu kujitak dan kucekik-cekik sampai kapok, “habis itu disun ya.., sun sing suweee” oooo enak sekali jawabannya. Selalu seperti itu. Aku sudah sangat berapi-api, namun jawabannya selalu santai malah dengan nada merayu. Pikirnya aku luluh? Ya memang, setelah seluruh amarahku tumpah. Lalu tumpah juga segala rindu. Amarah luruh, berganti detak jantung yang menggebu-gebu. Menderu. Dan siang ataupun malam menjadi sulit dibedakan. Begitu lelapnya aku.
Aneh bin ajaib, kalau sudah ketemu dan sayang-sayangan, oh ini sensor saja, segala amarah hilang tak bersisa. Entah kemana perginya, tidak ingat sama sekali. Mau marah juga tidak jadi, tidak tega kalau melihat mukanya yang dibuat-buat imut. Dan aku? Lupakan saja semua uneg-unegku diatas. Semua itu tak ada lagi. Ya seperti ABG betulan, dunia serasa milik berdua yang lain ngontrak. Aku barusan marah-marah, tapi reda juga. Aku heran dengan keherananku sendiri.
Itulah kehidupan cinta, selalu yang aneh-aneh. Karena terlanjur basah, ya mandi sekalian…
“…aku mengidap keyakinan
- Oyin -