Waktu masih tinggal di Jogja, Oyin suka makan sate ayam Ponorogo di Jl. KH Dahlan, tepatnya di depan Punokawan sebelah barat pertigaan jalan Gerjen. Tapi ketika itu bahkan sampai sekarang Oyin belum pernah menyaksikan pertunjukan Reog, kecuali hanya mendengar cerita melalui buku pelajaran sekolah. Memang sih sate ayam Ponorogo memiliki rasa yang khas tidak seperti umumnya sate ayam yang pernah Oyin rasakan.
Okey guys kali ini Oyin bukan hendak membahas sate ayam tapi bercerita tentang kebudayaan tari Reog Ponorogo yang juga sangat digemari di luar sana. Kata orang bule yang menulis kebudayaan tari Reog, ternyata ada dua versi Reog yaitu khas Jawa Timur dan Jawa Barat. Tapi walaupun sama-sama bernama Reog, mereka tidak saling berhubungan baik cerita maupun tradisinya. Di mana Reog Ponorogo lebih menampilkan kekuatan fisik sedangkan Reog Sunda cenderung menampilkan tarian dan irama musik pengiringnya.
Reog adalah kesenian yang sudah menyatu dengan nadi Ponorogo. Kesenian ini selalu dipentaskan di berbagai kesempatan, baik itu pernikahan, khitanan, hari-hari besar nasional, sampai sejumlah festival tahunan yang diadakan di Kabupaten Ponorogo. Ada Festival Reog Nasional, Grebeg Suro, serta Pertunjukan pada Bulan Purnama yang biasanya diselenggarakan di alun-alun kota.
Reog is a traditional Indonesian dance form. There are many types of Reogs in Indonesia, but the most notable ones are Reog Ponorogo (East Java) and Reog Sunda (West Java). Although both share a similar name, there is no connection nor similar theme among these traditions.
Reog Ponorogo seems to be the kind of dance that demonstrate physical strength and extravagant lion-peafowl mask and costumes, while Reog Sunda is a lot more like a traditional musical comedy and dance.
The Singa Barong mask was notoriously heavy, the dancer of Singo Barong bear the mask about 30 – 40 kg weight and supported by the strength of their teeth.