Perempuan » apa yang Oyiners bayangkan jika mendengar kata itu?
RA. Kartini, lady Diana, Madona, mereka cantik, dan menawan. Beruntung rasanya jika semua perempuan bernasib seperti mereka. Tapi apa jadinya kalau perempuan hanya dijadikan budak dan memenuhi nafsu pria hidung belang secara paksa, seperti yang terjadi pada para jugun ianfu.
Jugun ianfu merupakan wanita yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya pada kurun waktu tahun 1942-1945.
Menurut riset oleh Dr. Hirofumi Hayashi, seorang profesor di Universitas Kanto Gakuin, jugun ianfu termasuk orang Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), Thailand, Filipina,Indonesia, Myanmar, Vietnam, India, Indo, Belanda, dan penduduk kepulauan Pasifik. Jumlah perkiraan dari jugun ianfu ini pada saat perang, berkisar antara 20.000 dan 30.000.
Pengakuan dari beberapa jugun ianfu yang masih hidup jumlah ini sepertinya berada di batas atas dari angka di atas. Kebanyakan rumah bordilnya berada di pangkalan militer Jepang, namun dijalankan oleh penduduk setempat, bukan militer Jepang.
Menurut riset Dr. Ikuhika Hata, seorang profesor di Universitas Nihon, orang Jepang yang menjadi jugun ianfu ini sekitar 40%, Korea 20%, Tionghoa 10%, dan 30% sisanya dari kelompok lain.
Perempuan adalah makhluk yang istimewa. Bahkan hanya bergaya perempuan saja sudah langsung memperoleh keistimewaan. ~ Arswendo Atmowiloto
Di INDONESIA
Para perempuan Indonesia biasanya direkrut menjadi jugun ianfu berdasarkan paksaan (diambil begitu saja di jalan atau bahkan di rumah mereka), diiming-imingi untuk sekolah ke luar negeri, atau akan dijadikan pemain sandiwara (seperti yang terjadi pada ikon perjuangan jugun ianfu asal Indonesia, Ibu Mardiyem).
Sampai saat ini, para mantan jugun ianfu masih merasakan trauma psikologis dan gangguan fungsi fisik akibat pengalaman pahit yang pernah mereka alami. Belum lagi masyarakat yang tidak memperoleh informasi dengan benar, justru menganggap mereka sebagai wanita penghibur (tanpa paksaan).
Kehidupan mantan jugun ianfu masih ada sampai sekarang, walaupun jumlahnya semakin kecil. Sebagian banyak dari mereka masih menganggap luka ini adalah aib. Tindakan pemerintah untuk menunjang hidup mereka menjadi lebih layak pun tak ada. Secara psikologis kejadian ini menjadi tekanan yang berat. Selama hidup mereka, ini akan menjadi beban dan aib keluarga. Padahal tak banyak orang tau bagaimana kejadian sebenarnya hingga mereka bisa seperti ini.
Rumah bordil sebagai bagian dari kebijakan militer Jepang
Penelitian sejarah ke dalam pemerintah Jepang mencatat beberapa alasan untuk pendirian rumah bordil militer.
- Pertama, penguasa Jepang mengharapkan dengan menyediakan akses mudah ke budak seks, moral dan keefektivan militer tentara Jepang akan meningkat.
- Kedua, dengan mengadakan rumah bordil dan menaruh mereka di bawah pengawasan resmi, pemerintah berharap dapat mengatur penyebaran penyakit kelamin.
- Terakhir, pengadaan rumah bordil di garis depan menyingkirkan kebutuhan untuk memberikan izin istirahat bagi tentara.
Namun, sumber ini dengan cepat mengering, terutama dari Jepang. Menteri Urusan Luar Negeri menolak mengeluarkan visa perjalanan bagi pelacur Jepang, karena khawatir akan mencemari nama Kekaisaran Jepang. Militer kemudian mencari wanita penghibur di luar Jepang, terutama dari Korea dan Tiongkok.
Banyak wanita dibohongi dan ditipu untuk bergabung ke rumah bordil militer. Lainnya diculik. Pelacur Jepang yang tetap tinggal di rumah bordil militer sering menjadi karayukisan, atau manajer rumah bordil, menyisakan wanita penghibur non-Jepang menjadi korban pemerkosaan beruntun.
Militer juga mengumpulkan wanita penghibur dari daerah setempat.
Di wilayah perkotaan, iklan konvensional melalui orang ke tiga digunakan bersama dengan penculikan. Namun, di garis depan, terutama di negara di mana orang ke tiga jarang tersedia, militer meminta pemimpin lokal untuk menyediakan wanita untuk rumah bordil. Situasi ini menjadi buruk ketika perang berlanjut.
Di bawah tekanan usaha perang, militer menjadi tidak mampu lagi untuk menyediakan persediaan yang cukup bagi tentara Jepang; sebagai tanggapan, tentara Jepang meminta atau merampok persediaan dari daerah setempat. Terlebih lagi, ketika orang setempat, terutama Tiongkok, dianggap berbahaya, tentara Jepang mengadakan kebijakan pembersihan yang termasuk penculikan dan pemerkosaan penduduk setempat.
Wanita yang paling baru yang lebih tidak mungkin terkena penyakit kelamin ditempatkan di kategori tertinggi. Namun, dengan berjalannya waktu, wanita penghibur diturunkan kategorinya karena kemungkinan terkena penyakit kelamin lebih tinggi.
Ketika mereka dianggap terlalu berpenyakit untuk digunakan lebih lanjut, mereka diabaikan. Banyak wanita melaporkan uterus mereka membusuk dari penyakit yang diperoleh oleh ribuan lelaki dalam waktu beberapa tahun.
Ketika usaha perang mengalami kemunduran dan militer mengevakuasikan posisi mereka di Asia Tenggara, wanita penghibur non-Jepang ditinggalkan. Banyak wanita penghibur mati kelaparan di pulau-pulau yang ditinggalkan ribuan mil dari rumah mereka. Beberapa dapat kembali ke tempat asalnya di Korea atau timur laut Tiongkok.