» » Monolog Dua Sisi

Pembaca :

Rumah ini memerlukanku, sebelum kau menemukannya. Di setiap sudutnya memang ada jejak tanganku namun perlahan-lahan akan kuhapus. Dua hari yang lalu ibumu datang. Aku terkejut sebab kau tidak di rumah, dan aku sendirian menemuinya dengan tangan gemetaran. Kukatakan kau sedang ada tugas ke luar kota, itu cukup membuat ibumu percaya lalu pergi dengan tanpa curiga. Putramu pun tidak sedang di rumah, entah kemana aku tak tahu.

Rasa-rasanya kalian memiliki kemiripan, yaitu tak betah di rumah. Namun ibumu belakangan sering berkunjung, menanyakanmu, menanyakan putramu juga. Sudah dua kali dan semuanya bisa kukelabuhi. Tapi kumohon kau bisa sekali saja menemui ibumu dan menjelaskan semua kerisauanmu. Aku mungkin sanggup menahan amarahku, tapi ibumu dan putramu belum tentu. Jadi, sudah cukup kau bersembunyi di rumah gadis itu. Gadis itu memiliki mata yang teduh sehingga setiap kau melihatnya, kau tertegun sejenak dan menikmati kedipannya. Lalu kau hanyut, masuk ke dalam hari-harinya.

“Kau harus pulang, mas. Ibumu menanyakanmu. Ibu pasti curiga, kalau setiap datang kamu tak ada di rumah. Aku tak akan mencercamu dengan kata-kata buruk walaupun aku tahu kamu asyik dengan gadis itu.”
Suaramu melemah di telepon, mungkin kau mulai gemetaran sebab aku tahu apa yang menyenangkanmu di belakangku. Kau bertanya-tanya siapa yang sudah berani menyampaikan kabar duka ini padaku. Namun, agaknya kau lega karena tak seperti kebanyakan istri yang meledak-ledak, aku tidak.

Aku malu kalau ibumu tahu akan kelakuanmu. Aku takut putramu juga tahu sebab ia sangat menyanjungmu. Ia pasti akan kecil hati dan membencimu. Aku takut, ia tak lagi mau pulang. Aku takut ia justru menemukan rasa aman di luar rumah, selain aku. Ia putramu, sangat mirip perangainya denganmu yaitu tak betah berada di rumah. Gadis itu memabukkanmu, juga putramu. Namun kau tak tahu hal itu.

Baiklah, kurasa ini saatnya kau pulang ke rumah. Di sini ada aku. Ada satu-satunya perempuan yang dipilih ibumu untuk mendampingimu. Kau tidak menolak tetapi tidak menjagaku juga. Kau aneh, memang, namun aku tak bisa protes sebab aku menjaga perasaan ibumu. Bagaimana jika ibumu tahu perangaimu di luar sana? Ia sedih, pasti. Ia marah, pasti. Ia memintaku pergi, tidak! Ia akan besikeras mengikat kakiku di rumah ini. Entah apa yang membuatnya begitu menyukaiku. Aku senang, namun aku tak nyaman jika terus berbohong padanya tentangmu.

Melati, bau khas parfumku, sengaja kumasukkan ke dalam tasmu agar wanginya melekat di tubuhmu. Aku tak suka kau pulang dengan aroma gadis itu yang lebih berbau mawar. Bahkan, kalau mampu, aku lenyapkan segala tanda-tanda kehadiran gadis itu yang menempel di bajumu. Tengik, menurutku. Namun kau menyukainya. Kedipannya membuatmu lupa keberadaanku, aku benci namun aku tak meledak-ledak.

Jika nanti ibumu menanyakanmu, menanyakan putramu juga, kukatakan sebentar lagi kau pulang. Putramu juga akan pulang. Sebisa mungkin kusenangkan hatinya dan kujauhkan curiganya padamu. Aku terlalu baik, bukan? Bukan. Aku terlalu lemah. Seandainya aku tak terlalu lemah, aku akan bergegas mengikuti jejak kakimu menuju gadis itu. Aku bisa menarik lehermu kuat-kuat ketika kau asyik mencumbunya. Lalu kuseret kau pulang dengan nafas yang masih memburu. Dan gadis itu? Aku tak peduli walaupun pintu rumahnya jebol sebab kau sudah menjebol pintu rahasianya. Satu tugasku selesai. Satu yang lain menunggu, yaitu menyeret putramu dari rumah gadis itu. Gadis sundal, aku menyebutnya.

Sudah cukup bersenang-senang. Pulanglah ke rumah dan tentukan di mana sebenarnya kau lebih merasa nyaman. Aku tak akan meraung-raung memintamu mengasihiku dan kembali padaku. Aku biarkan kau tahu, aku tak seharusnya kau bandingkan dengannya. Aku, istrimu. Yang kau bersumpah untuk menjagaku, namun kau lupa. Haruskah kuingatkan? Tidak, aku tak sudi. Kalau kau ingin pulang, aku akan bertanya tentang siapa yang membuatmu nyaman. Aku atau gadis itu? Jawablah tanpa ragu.

Sebenarnya, aku sudah tak begitu peduli. Bolehkah aku pergi saja?


Rumah itu selalu memerlukanku, walaupun aku menemukannya. Di setiap sudutnya memang ada jejak tanganmu dan jangan pernah berencana untuk kauhapus. Dua hari yang lalu ibuku datang. Aku terkejut sebab aku tidak di rumah, dan kau sendirian menemuinya dengan tangan gemetaran. Kaukatakan aku sedang ada tugas ke luar kota, itu cukup membuat ibuku percaya lalu pergi dengan tanpa curiga. Putraku pun tidak sedang di rumah, entah kemana kau dan aku tak tahu.

Rasa-rasanya kami memiliki kemiripan, yaitu tak betah di rumah. Namun ibu belakangan sering berkunjung, menanyakanku, menanyakan putraku juga. Sudah dua kali dan semuanya bisa kaukelabuhi, kau pintar. Tapi kuusahakan aku bisa sekali saja menemui ibuku dan menjelaskan semua kerisauanmu. Kau mungkin sanggup menahan amarahmu, tapi ibuku dan putraku belum tentu. Jadi, sudah cukup aku bersembunyi di rumah gadis itu. Gadis itu memiliki mata yang teduh sehingga setiap aku melihatnya, aku tertegun sejenak dan menikmati kedipannya. Lalu aku hanyut, masuk ke dalam hari-harinya.

“Kau harus pulang, mas. Ibumu menanyakanmu. Ibu pasti curiga, kalau setiap datang kamu tak ada di rumah. Aku tak akan mencercamu dengan kata-kata buruk walaupun aku tahu kamu asyik dengan gadis itu.”
Suaramu melemah di telepon, mungkin kau tahu aku mulai gemetaran sebab kau tahu apa yang menyenangkanku di belakangmu. Aku bertanya-tanya siapa yang sudah berani menyampaikan kabar duka ini padamu. Namun, aku lega karena tak seperti kebanyakan istri yang meledak-ledak, ternyata kau tidak.

Aku malu kalau ibuku tahu akan kelakuanku. Aku takut putraku juga tahu sebab ia sangat menyanjungku. Ia pasti akan kecil hati dan membenciku. Aku takut, ia tak lagi mau pulang. Aku takut ia justru menemukan rasa aman di luar rumah, selain aku. Ia putraku, sangat mirip perangainya denganku yaitu tak betah berada di rumah. Gadis itu memabukkanku, juga putraku. Namun aku baru tahu hal itu.

Baiklah, kurasa ini saatnya aku pulang ke rumah. Di sana ada dirimu. Ada satu-satunya perempuan yang dipilih ibuku untuk mendampingiku. Aku tidak menolak tetapi tidak menjagamu juga. Aneh memang, namun kau tak protes sebab aku tahu kau sangat menjaga perasaan ibuku. Bagaimana jika ibuku tahu perangaiku di luar rumah? Ia sedih, pasti. Ia marah, pasti. Ia memintamu pergi, tidak! Ia akan besikeras mengikat kakimu di rumah ini. Entah apa yang membuatnya begitu menyukaimu. Aku tak begitu senang, namun aku lebih tak nyaman jika kau terus berbohong padanya tentangku.

Melati, bau khas parfummu, sengaja kutinggalkan di dalam tasku agar wanginya melekat di tubuhku. Aku tak suka pulang dengan aroma gadis itu yang lebih berbau mawar. Bahkan, kalau mampu, aku lenyapkan segala tanda-tanda kehadiran gadis itu yang menempel di bajuku. Aku tak mau kau curiga. Namun aku menyukainya. Kedipannya membuatku lupa keberadaanmu, aku senang kau tak meledak-ledak.

Jika nanti ibuku menanyakanku, menanyakan putraku juga, katakan sebentar lagi aku pulang. Putraku juga akan pulang. Sebisa mungkin kausenangkan hatinya dan kaujauhkan curiganya padaku. Kau terlalu baik. Bukan. Kau terlalu lemah. Seandainya kau tak terlalu lemah, aku tahu kau akan bergegas mengikuti jejak kakiku menuju gadis itu. Kau bisa saja menarik leherku kuat-kuat ketika aku asyik mencumbunya. Lalu kauseret aku pulang dengan nafas yang masih memburu. Dan gadis itu? Kau tak membiarkanku peduli walaupun pintu rumahnya jebol sebab aku sudah menjebol pintu rahasianya, itu menyakitimu. Satu tugasmu selesai. Satu yang lain menunggu, yaitu menyeret putraku dari rumah gadis itu.

Sudah cukup bersenang-senang. Aku akan pulang ke rumah dan menentukan di mana sebenarnya aku lebih merasa nyaman. Aku tak akan membiarkanmu meraung-raung memintaku mengasihimu untuk kembali padamu. Aku biarkan kau tahu, aku tak seharusnya membandingkanmu dengannya. Kau, istrimu. Yang aku bersumpah untuk menjagamu, namun aku lupa. Haruskah kauingatkan? Tidak, itu tak perlu. Kalau kau ingin aku pulang, pasti kau akan bertanya tentang siapa yang membuatku nyaman. Kau atau gadis itu? Akan kujawab tanpa ragu.

Sebenarnya, aku sudah begitu malu padamu. Aku tak akan pergi lagi.

*cerpen ditulis oleh Oyin, Oktober 2012



Disclaimer
Oyin Ayashi admits that though we try to describe accurately, we cannot verify the exact facts of everything posted. Postings may contain Information, speculation or rumor. We find images from the Web that are believed to belong in the public domain. If any stories or photos that appear on the site are in violation of copyright law, please write in comment box and we will remove the offending section as soon as possible. (Oyiners = Blog reader)

Above article written by Unknown

bean
Hi there!, You just read an article Monolog Dua Sisi . Thank you for visiting our blog. We are really enthusiastic in Blogging. In our personal life we spend time on photography, mount climbing, snorkeling, and culinary. And sometimes We write programming code.
«
Next
Newer Post
»
Next
Older Post

Silakan beri komentar dengan akun facebook Anda