Saat Oyin sedang liyer-liyer (setengah tertidur) di siang hari, Oyin mendengar alunan lagu bernada lembut yang terasa baru di kuping tetapi syairnya seperti tidak asing. Maka bangunlah Oyin dari kursi dan menyimak dengan seksama lagu tersebut. Ternyata tak lain adalah lagu Jawa ‘Lir Ilir’ dimana iringan musiknya diaransemen sangat apik, berirama country dengan dentingan gitar banjo-nya yang khas, menambah kesyahduan lagu tadi.
Yukk kita simak arti dan makna lagu tersebut.
Lir Ilir
Lir-ilir, Lir-ilir, tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo, tak senggoh temanten anyar
Cah angon, cah angon, penek’no blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penek’no kanggo mbasuh dodot (s)ira
Dodot (s)ira, dodot (s)ira kumitir bedah ing pingggir
Dondomana, jlumatana, kanggo seba mengko sore
Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane
Ya surak’a, surak hiya
Kurang lebih arti lagu tersebut seperti ini:
Lir-ilir, lir-ilir, tandure wus sumilir
arti: Bangunlah, bangunlah, tanamannya telah bersemi
penjelasan: Kanjeng Sunan Kalijaga mengingatkan agar orang-orang Islam segera bangun dan bergerak. Karena saatnya telah tiba. Karena bagaikan tanaman yang telah siap dipanen, demikian pula rakyat di Jawa saat itu (setelah kejatuhan Majapahit) telah siap menerima petunjuk dan ajaran Islam dari para wali.
Tak ijo royo-royo, tak senggoh temanten anyar
arti: Bagaikan warna hijau yang menyejukkan, bagaikan sepasang pengantin baru
penjelasan: Hijau adalah warna kejayaan Islam, dan agama Islam disini digambarkan seperti pengantin baru yang menarik hati siapapun yang melihatnya dan membawa kebahagiaan bagi orang-orang sekitarnya.
Cah angon, cah angon, penek’no blimbing kuwi
arti: Anak gembala, anak gembala, tolong panjatkan pohon belimbing itu
penjelasan: Yang disebut anak gembala disini adalah para pemimpin. Dan belimbing adalah buah bersegi lima, yang merupakan simbol dari lima rukun islam dan sholat lima waktu. Jadi para pemimpin diperintahkan oleh Sunan Kalijaga untuk memberi contoh kepada rakyatnya dengan menjalankan ajaran Islam secara benar. Yaitu dengan menjalankan lima rukun Islam dan sholat lima waktu.
Lunyu-lunyu penek’no kanggo mbasuh dodot (s)ira
arti: Biarpun licin, tetaplah memanjatnya, untuk mencuci kain dodotmu
penjelasan : Dodot adalah sejenis kain kebesaran orang Jawa yang hanya digunakan pada upacara-upacara / saat-saat penting. Buah belimbing pada zaman dahulu, karena kandungan asamnya, sering digunakan sebagai pencuci kain terutama untuk merawat kain batik supaya tetap awet.
|
Pemandangan ijo royo-royo (hijau sekali) |
Dengan kalimat ini Sunan Kalijaga memerintahkan orang Islam untuk tetap berusaha menjalankan lima rukun Islam dan sholat lima waktu walaupun banyak rintangannya (licin jalannya). Semua itu diperlukan untuk menjaga kehidupan beragama mereka. Karena menurut orang Jawa, agama itu seperti pakaian bagi jiwanya. Walaupun bukan sembarang pakaian biasa.
Dodot (s)ira, dodot (s)ira kumitir bedah ing pingggir
arti : Kain dodotmu, kain dodotmu, telah rusak dan robek
penjelasan : Saat itu kemerosotan moral telah menyebabkan banyak orang meninggalkan ajaran agama mereka sehingga kehidupan beragama mereka digambarkan seperti pakaian yang telah rusak dan robek.
Dondomana, jlumatana, kanggo seba mengko sore
arti: Jahitlah, tisiklah untuk menghadap (Gustimu) nanti sore
penjelasan : Seba artinya menghadap orang yang berkuasa (raja/gusti), oleh karena itu disebut ‘paseban’ yaitu tempat menghadap raja. Disini Sunan Kalijaga memerintahkan agar orang Jawa memperbaiki kehidupan beragamanya yang telah rusak tadi dengan cara menjalankan ajaran agama Islam secara benar, untuk bekal menghadap Allah SWT di hari akhir.
Mumpung gedhe rembulane, mumpun jembar kalangane
arti: Selagi rembulan masih purnama, selagi tempat masih luas dan lapang
penjelasan: Selagi masih banyak waktu, selagi masih lapang kesempatan, perbaikilah kehidupan beragamamu.
Ya surak’a, surak hiya
arti : Ya, bersoraklah, berteriak-lah IYA
penjelasan: Di saat nanti datang panggilan dari Yang Maha Kuasa, mereka yang telah menjaga kehidupan beragamanya dengan baik akan menjawabnya dengan gembira.
Demikianlah petuah dari Sunan Kalijaga lima abad yang lalu, yang sampai saat ini pun masih tetap terasa relevansinya. Semoga petuah ini dapat membuat kita semakin bersemangat dalam menjalankan ibadah.
Aamiin.
|
Cah Angon |