Walaupun disebut dengan berbagai bahasa, macet atau traffic jam, sama saja ujung-ujungnya emosi. Selalu saja ada tokoh yang menjadi pusat perhatian. Entah karena diminta oleh sutradara untuk masuk ke dalam kemacetan lalu membuat keributan, entah memang itu cita-citanya sejak lahir. Aneh saja orang ini, batinku. Tetapi lebih tepatnya kubilang ia menjengkelkan. Kenapa aku bisa bertemu dengan orang macam ini di tengah macet yang membara? Duh, aku turut emosi.
Aku memang tak berada tepat di depannya, tetapi aku bisa mendengar jika ia tergesa-gesa. Kata-kata yang dilontarkan pada kendaraan di depannya kurasa tidak perlu diucapkan. Bagaimanapun tidak berfungsi. Ini kan macet, dan semua yang ada di jalan ini merasakan hal yang sama. Panas, keringatan, ingin cepat lolos dari sesak, semuanya ingin bebas. Ia kira cuma dirinya yang merasa tidak nyaman? Eh, malah membunyikan klakson berkali-kali. Lama-lama tak enak di telinga kalau sedikit-sedikit main klakson. Memangnya ia yang punya jalan raya? Baru punya mobil saja sudah begitu angkuh, mana mobilnya sudah jelek di mataku. Itu loh mobil sama yang dikendarai tukang mabuk yang menewaskan sembilan orang. Baru bayar pajak saja sudah merasa raja. Plizz deh Pak, semua juga pengguna jalan raya. Haknya sama.
Entah kenapa itu bapak-bapak kok tidak mengerti juga ya kalau ini macet, dan macet itu biangnya emosi. Bukannya bantu-bantu pak polisi mengatur lalu lintas malah ribut di tempat. Memangnya kalau ia bunyikan klakson lalu jalan jadi sepi? Apa kendaraan jadi berkurang? Tidak juga. Memangnya kalau ia bawa mobil lalu ia jadi prioritas di jalan? Tidak juga. Yang punya mobil bukan ia seorang, di depan dan belakangnya juga banyak tapi toh diam-diam saja tidak main klakson. Menyebalkan sekali orang ini hadir di tengah-tengah macet. Kalau bisa aku cut and paste, biar hilang dari jalan ini. Sudah tahu macet, gerak saja tidak, eh sesukanya main klakson. Duh, klaksonnya itu pun bukan klakson standar, sudah dimodif bunyinya jadi lebih keras. Apa bapak ini tidak tahu ya kalau klakson itu fungsinya sebagai alat komunikasi antar kendaraan, bukan untuk intimidasi kendaraan lain.
Di depannya, di belakangnya, di kanan dan kirinya, orang-orang mau bersabar menunggu gilirannya maju. Orang-orang sadar kalau ini macet. Kurasa orang-orang ini juga punya urusan penting. Sama pentingnya dengan bapak-bapak tadi, tetapi tidak lantas menggila dengan klaksonnya. Mana ada orang suka terjebak macet? Sikomo saja tak mau disebut-sebut biang macet, makanya sekarang jarang keluar. Soalnya kalau keluar jalan jadi macet, lalu orang-orang bilang gara-gara Sikomo lewat.
Yang namanya macet ya macet, tidak ada enaknya. Panas. Debu. Silau kalau siang hari begini. Yang naik motor pastilah berlomba dengan panas dan keringatnya, sedangkan bapak tadi kan di dalam mobil yang ada ACnya kok cerewet sekali. Yang kepanasan saja tahu diri, ia yang sudah cukup berumur alias matang kan seharusnya lebih bijaksana. Toh ia sendirian, kulihat di dalam mobilnya tidak ada siapa-siapa. Tidak ada nenek-nenek yang asma, tidak ada ibu hamil yang mau melahirkan, tidak ada orang yang terindikasi segera dilarikan ke rumah sakit. Jadi, kenapa tidak mau sabar? Memangnya ia presiden? Presiden saja naik motor waktu macet, dan mau-mau saja dibonceng tukang ojek. Coba kalau supir presiden main klakson juga, bisa ramai berita.
Aku paling anti main klakson kalau tidak benar-benar harus memencet tombol itu. Kalau ada orang lewat atau menyeberang, silakan. Kalau ada orang menyerempet ya paling aku geleng-geleng kepala, dan bersyukur untung tidak mati. Pokoknya bunyi klakson itu seminimal mungkin aku hindari. Bisa saja orang terganggu dengan bunyi klakson yang kuciptakan, kalau ia tiba-tiba terkena serangan jantung karena kaget wah betapa repotnya membawanya ke rumah sakit, belum lagi pengobatan dan rawat inap. Ah, segitunya apa karena klakson saja? Siapa tahu ada kejadian seperti itu, kan amit-amit.
Kembali ke bapak yang tadi. Duh, andai aku superman, sudah kupindahkan jubelan kendaraan ini biar jalan jadi lega. Tapi aku kan bukan Superman, juga bukan Superwoman. Aku sama-sama pengguna jalan raya. Jadi kita semua disini sama-sama diharap bersabar. Diharap tenang walaupun tidak ada ujian nasional, adanya ini ujian emosional. Kalau sabar, tenang, jalan pelan-pelan kan lama-lama lancar dan bisa lolos dari titik macet ini. Memangnya seterburu-buru apa sih kok cerewet sekali? Kalau benar-benar terburu-buru mengapa tidak lewat jalan alternativ? Alasan tidak tahu akan ada macet? Wah, memangnya macet diskenario? Kalaupun memang skenario sinetron pasti ada konfirmasi di ujung jalan untuk tidak lewat jalan ini. Bikin suasana semakin panas saja itu orang. Emosi ini aku jadinya.
Sudahlah, orang-orang seperti itu memang maunya dikeroyok ramai-ramai. Hancurkan kaca mobilnya biar jera. Eits, ini bukan budaya anarkis jadi tidak perlu main kasar. Semoga saja di depan nanti tidak ada macet seperti ini lagi, sebab kalau ada lagi wah bisa habis aki mobilnya gara-gara klakson saja.
Memangnya dengan bunyi klakson lalu macet jadi bubar? Tidak. (Oyin)