Beberapa tahun lalu, kita masih menemukan situasi pasar yang sumpek. Luasan pasar sekitar 6 ribu meter persegi ternyata tak cukup mampu menampung para pedagang, sekaligus para pembelinya. Belum lagi kunjungan para wisatawan, mengingat lokasi pasar berdekatan dengan Pulo Cemeti, bangunan kuno milik Kraton Yogyakarta yang pernah difungsikan sebagai benteng pertahanan.
Situasi teduh serta udara yang sejuk kemudian mendorong masyarakat senang berkumpul di sana. Mereka berkumpul sambil melakukan kegiatan jual beli. Seiring waktu, wilayah ini lalu berkembang menjadi pasar. Ngasem termasuk pasar tua.
Masyarakat Jawa tak lepas dari tradisi dan kepercayaan. Merunut akar budaya Jawa, seorang pria tergolong berhasil apabila telah memiliki 5 hal utama, yaitu
- wisma (rumah),
- wanita (istri),
- turangga (kuda),
- curiga (keris), dan
- kukila (burung peliharaan).
Kukila adalah alasan bagi seorang pria Jawa untuk memelihara burung sehingga pasar burung menjadi suatu tempat yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Jawa.
Demi menjaga fungsi pasar sebagai pusat aktivitas jual beli satwa dan tanaman hias, Pemerintah Kotamadya Yogyakarta memutuskan untuk merelokasi Pasar Ngasem ke lokasi lain. Selain itu, relokasi perlu dilakukan sebagai upaya untuk menjaga Taman Sari yang merupakan cagar budaya asli Yogyakarta.