Belakangan ini banyak CEO yang memberi instruksi agar para manajer tidak asyik memimpin dari balik mejanya saja. Istilah blusukan seperti merasuk ke semua lini corporate leadership. Namun, mengapa di panggung politik, hal ini jadi gunjingan negatif ?
Seorang pengusaha ritel dan properti malah membawa isu blusukan dan rapat pimpinan nasionalnya. Dengan blusukan, ia mengaku mendapatkan banyak insight mengenai hambatan-hambatan di lini bawah.
Tom Peter yang bukunya menjadi New York Times Best Seller, In Search of Excellence. Di situ Tom Peter memperkenalkan istilah MWBA: management by walking around. Apa lagi bahasa Indonesianya ya kalau bukan blusukan ?
Karena itu pulalah, salah satu program TV dari CBS yang sangat menyentuh diberi judul Undercover Boss. Persis seperti Jokowi atau Ahok yang menegur kepala-kepala dinasnya, di sini menunjukkan keberpihakan para bos terhadap “rakyat kecil” yang telah bekerja keras untuk perusahaan.
“Going undercover gives you the chance to really connect with your worker,” ujar CEO AOL.
Dulu, pada eranya, Pak Harto juga sesekali melakukan blusukan. Karena hanya ada TVRI, maka “turba” (istilahnya waktu itu "turun ke bawah"). tidak banyak diikuti wartawan.
Dalam buku Pak Harto: The Untold Stories (Gramedia, Pustaka Utama, 2011) misalnya, bisa dibaca kisah blusukan-nya mengatasi penyakit kelaparan (HO) di Gunung Kidul (1972).
Pada masa itu, pejabat-pejabat tinggi terbiasa membuat laporan ABS (asal bapak senang). "Tak ada HO, yang ada hanya KKM, kemungkinan kurang makan," begitulah laporan pejabat.
Namun, kisah blusukan paling menarik kala itu dilakukan secara undercover oleh Menteri Penertiban dan Pendayagunaan Aparatur Negara Prof Sumarlin. Berpeci hitam seperti PNS golongan 1 A, Sumarlin menyamar sebagai Ahmad Sidik di depan meja pembayaran RSCM.
Dari blusukan itulah terungkap betapa kejinya perlakuan petugas Kantor Bendahara Negara terhadap pegawai rendahan. Untuk mencairkan gajinya yang sudah rendah, mereka dikenakan pungli (bisa dibaca dalam buku JB Sumarlin: Cabe Rawit yang Lahir Di Sawah, Penerbit Kompas, 2013).
Berkat metode blusukan itulah, para pemimpin mampu membaca persoalan-persoalan masyarakat. Maklum, kalau tak turun ke bawah, keputusan hanya dibentuk oleh informasi orang-orang kuat yang akhirnya justru bisa merugikan masyarakat.
Maka dari itu, tak heran kalau banyak politisi yang mengejek cara yang ditempuh Jokowi belakangan ini.
Blusukan tidak dapat diwakilkan, karena pemimpin butuh first hand information. Blusukan juga harus dilakukan secara spontan agar keadaan lapangan tidak direkayasa oleh bawahan.
Bahwa blusukan saja tak bisa memecahkan masalah, itu sudah pasti. Pemimpin besar tak akan pernah bisa memecahkan masalahnya sendirian. Ia butuh tim yang solid, yang semuanya bekerja keras dan mau diperintah. Ia butuh strategi yang mampu memobilisasi kekuatan besar. Namun, apalah artinya strategi besar kalau eksekusinya buruk atau tak sampai ke bawah.
(Rhenald Kasali)
Ahmad Yani Politisi P3, "Apa jadinya jika seorang presiden kerjanya senang melakukan blusukan ? Bagaimana mau memimpin negara ?" (Pilih Jokowi atau Prabowo) yang disiarkan Metro TV selanjutnya bisa disaksikan di sini...
Prabowo Subianto salah satu kandidat capres merupakan pengurus Kuda yang baik, memberikan banyak harapan pada kaum perempuan untuk menjadi ibu negara....(Adian Napitupulu)
Catatan:
Artikel ini bukan untuk memperdebatkan siapa calon presiden yang harus anda pilih, semua kembali pada hatinurani anda.
Foto : google