Perjalanan Piandra untuk Sang Ratih
Kematian sang Ratih membungkam tanyanya, tak ada lagi sumber jawaban karena hanya Ratih yang ia kenal sejak pertama memanggilnya ‘bunda’. Piandra bukannya sedih karena kehilangan bundanya tetapi sedih atas kehilangan jejak kelahirannya.
“Ibumu adalah ibunda darah dagingmu, Piandra. Perempuan yang melahirkanmu dengan nyawanya dari seorang ayah yang mengusung keringat penghabisan. Percayalah, mereka tidak membuangmu tetapi menitipkan kepadaku karena Tuhan punya rencana yang tak kita ketahui…” begitu senyum sang Ratih selalu menutup tanya Piandra. Meninggalkan raut haus jawaban yang selalu melebur dengan senyuman saja.
Setetes airmata di antara taburan mawar untuk sang Ratihnya tak mampu melenyapkan kebencian atas ketidakberdayaannya mencari fakta, namun Piandra tak pernah menyalahkan bundanya karena terus menyembunyikan jawaban atas pertanyaannya. Mungkin bundanya juga tak begitu tahu, pikirnya.
“Siapa Sofia? Siapa Chandra?” tanya Piandra setengah mendesak. “Sofia itu Piandra. Chandra itu juga Piandra…” jawab sang Ratih.
“Berhentilah berteka-teki kepadaku, Bunda !!”
“Berhentilah menanyakan nama-nama itu !!”
“Ada apa dengan kedua nama itu ??”
“Yah, ada apa?? Nah, aku yang harusnya bertanya seperti itu, mengapa kau terus menanyakan siapa Sofia siapa Chandra…”
“Bunda!! Stop…”
“Oke… stop.”
“Bagaimana??” Sang Ratih mendekati Piandra yang menutup wajahnya dengan selimut abu-abu.
“Tak ada Sofia ataupun Chandra di sana… Aku telusuri setiap gang tapi tak ada… Oh, ada yang cukup menarik, ada seseorang bernama Sofia...”
Sang Ratih agak terkejut.
“Aku berpapasan dengan Sofia di gang depan tempatku menginap. Dia, Sofia namanya, berangkat ke surau sore hari untuk belajar mengaji, dengan sekumpulan kurcaci-kurcaci centil bersorak sorai sepanjang gang… Ia sendiri mirip kurcaci musim dingin, kulitnya putih dan terkesan tak tersentuh matahari.” Piandra kesal.
Sang Ratih mengambil ransel Piandra yang tergeletak di lantai oleh kasar tangannya.
“Jadi, bagaimana liburanmu di sana?” Sang Ratih tak perlu mengulang pertanyaannya, ia biarkan Piandra tertidur hari itu, toh besok semangatnya menanyakan siapa Sofia siapa Chandra akan kembali membisingi ruang.
Piandra menemukan nama Sofia dan Chandra di halaman depan raportnya belasan tahun lalu, saat ia bertanya kenapa bukan nama Ratih yang ditulis… Siapa Sofia siapa Chandra? Kata Bundanya, merekalah orangtua kandung Piandra. Tetapi alasan mereka memberikan dirinya pada Ratih tak terungkap.
Sudah puluhan tahun ia menghidupkan semangat mencari Sofia dan Chandra. Di ujung waktu senja sore itu, ia lelah. Berhenti sejenak. Menatap nisan sang Ratih sendirian. Ia tidak menangis, untuk apa? Waktu tak kembali dengan tangisan pilu. Sang Ratih mungkin sedang meniti jalannya ke surga. Menemui kekasih sejatinya.
“Yah, Bundaku, darah dagingku...” Piandra berdiri, berjalan lunglai meninggalkan bukit sunyi. Di depan matanya bergulir bayang-bayang kanak-kanaknya. Mengingat kembali pertama kali ia berjalan meraih tangan Sang Ratih. Menumpahkan susu di meja kayu, membanting dinosaurus ke halaman berumput, membagi suara bernyanyi pada siang yang terik dengan ricuh tepuk tangan tak berirama dari kedua tangannya.
Berhenti sajalah sampai di sini, aku lelah… Desah Piandra meninggalkan bukit sunyi Sang Bunda. Menoleh ke kanan, ia menemukan Pak Wahid yang tersenyum kepadanya, ia pun membalas senyum itu dengan lemas penuh cemas.
“Piandra…” cegah Pak Wahid.
Angin sore itu menjadi dingin, meniup-niup ujung rok kelam Piandra.
“Sudah tiga tahun berlalu, apa kau masih mencari Sofia dan Chandra???”
“Bagaimana Anda tahu keinginan saya? Bukankah tak ada yang tahu selain Bundaku? Lantas sampai kepada siapa gundahku ini bergema? Pak Wahid tentu tahu, aku tak punya siapa-siapa lagi untuk kutanyai selepas kepergian Bunda…”
Namun Pak Wahid hanya memalingkan pandangannya. Sekilas tercermin rekaman masa lalu. Saat-saat pertama Piandra memanggil Bunda kepada Sang Ratih...
“Untuk apa kau susah payah mencari mereka? Ratih hidup sendirian sampai kedatanganmu. Orangtuamu adalah Ratih, itu kurasa cukup. Bundamu adalah Ratih, ayahmu adalah semua laki-laki di dusun ini yang mengajarimu memanjat pohon dan berenang di sungai waktu kecil, kau ingat? Itu jika kau paham. Kau sampai di Wonosari hingga Landaubadai tapi tak menemukan siapa-siapa.
Tentu kau tau, di rumahmu ada Ratih, Bundamu, yang tidak melahirkanmu dari rahimnya, tetapi ia melahirkan seorang Piandra yang keteguhan hatinya mampu melewati khatulistiwa. Apa yang kau dapatkan selain perjalanan yang melelahkan? Kau sampai ke Pangkalanbun, Ternate, dan Solok, benar begitu? Ratih memang tangguh bisa mengelabuhimu demikian nyata” Pak Wahid menahan senyum tipis di ujung bibirnya.
“Anda tahu perjalanan saya hingga Solok? Siapa yang bercerita? Bundakah?” Piandra merebahkan dirinya di rerumputan menjejajari tubuh Pak Wahid. Seketika airmatanya jatuh. Ini pertama kalinya ia menangis lagi sejak kematian Sang Ratih tiga tahun silam.
Udara sore itu demikian hangat, cahaya matahari tak terlalu menyengat. Sayup-sayup nyanyian angin pada dahan jati dan randu membius emosi Piandra. Kesedihan atas kehilangan Sang Ratih memuncak. Ia terjerembab dalam sembab mata birunya. Mata yang ia peroleh bukan dari Sang Ratih.
2 “Bunda, kenapa kunang-kunang bercahaya di dalam gelap? Ia punya lampu atau senter? Di tubuhnya ada baterei? Aku juga ingin bercahaya seperti itu di mana-mana… Apa Bunda juga bisa bercahaya? Tunjukkan padaku…. “
Ingatan tentang kanak-kanaknya demikian nyata. Kebahagiaan dan pelajaran yang tak didapat dari Sofia dan Chandra. Tetapi oleh seorang Ratih ia tahu bahwa bumi itu bulat seperti tampak pada globe di lemarinya. Ia mengenal pantai selatan Jawa hingga Khatulistiwa dari seorang Ratih.
Sang Ratihnya yang tak lagi bisa dimanjai. Seketika ia ingin menyesali perjalanannya yang melelahkan ke sudut-sudut bumi demi memuaskan keingintahuannya pada siapa Sofia siapa Chandra. Ia lupa, di rumahnya sendiri selalu ada seorang Ratih.
“Jika kau menemukan Sofia dan Chandramu, apa keinginan terbesarmu, Pi??” Langit redam oleh hujan malam itu, di teras terduduk sang Ratih dengan tangannya menggenggam kristik bercorak menjangan bermain air. “Pikirkan dari sekarang seolah-olah kau menemukan mereka besok.” Sang Ratih tidak memandang sorot mata Piandra, ia terfokus pada jari jemarinya di antara benang.
“Barangkali Bunda sengaja menyembunyikan fakta... Bunda seperti ketakutan akan ditinggal olehku. Bunda sengaja mempermainkan aku.”
“Oh..begitu pikiranmu. Ya sudah. Barangkali mereka tinggal tak jauh dari sini, di sudut gang sana, apa pernah kamu menyambangi untuk bertegur sapa pada tetanggamu. Mereka mengajari banyak hal sejak kecil, tak ada gadis di desa ini yang bisa memanjat pohon mangga setinggi kamu waktu kecil.” Sang Ratih menahan senyum dan melirik lewat ekor matanya. Dilihatnya Piandra hanya diam, menunggu ia kembali bersuara. Tapi malam sudah menutup waktu bercengkerama…
Hening. Di matanya tergenang air mata sesal. Tak sehari pun ia berhenti bertanya mendesak sang Ratihnya. Selalu tak ada jawaban tetapi ia tak lantas surut. Karena yakin akan menemukan apa yang ia cari. Apa? Sofia atau Chandra? Atau Ratihnya sendiri?
“Pak, tentu Anda sangat mengenal Bunda,,, seperti apa kanak-kanaknya?” Piandra tak mengalihkan pandangannya pada rumput-rumput di ujung kaki kanannya. Ada sesuatu yang bergerak di sana, di antara hijau rerumputan. Seperti serangga liar, ia lupa itu disebut apa. Mungkin laron, tapi ini belum malam. Entah, itu bukan topik utama di otaknya kini. Ada segudang kerisauan atas satu pertanyaannya pada Pak Wahid.
“Sudah larut, Nak. Pulanglah ke rumahmu. Barangkali ada yang menunggu kedatanganmu. Lekaslah temui mereka. Ratih anak yang baik, tidak pernah mengecewakan orang lain. Seperti itu yang ia tanamkan padamu, Piandra. Kau ini Ratih kecil. Bukan Sofia atau Chandra. Sudah cukup pencarianmu. Jangan melakukan hal yang sia-sia.” Pak Wahid berdiri hendak meninggalkan bukit sunyi sang Ratih, juga Piandra yang masih terlelap pada lamunannya.
Sudah tiga tahun dan hari ini ia kembali ke dusun untuk mencari lagi kunci dari teka-teki kelahirannya. Tetapi Tuhan berkata lain, kemunculan Pak Wahid dengan kata-kata tajamnya terasa membelalakkan fakta yang tertidur.
Dilihatnya langit mulai remang-remang, namun tak ada tanda-tanda ia beranjak dari duduknya. Rerumputan mulai gelap, laron mulai menguasai lampu-lampu penerang jalan. Piandra masih duduk termenung.
“Siapa yang akan menungguku di rumah? Tak ada lagi Bunda. Tak ada semangatku bertanya atas teka-tekinya. Semua lebur bersama dengan nisannya. Saya tahu, saya pun akan mati, di mana selain di rumah itu juga? Saya akan menjadi Ratih selanjutnya dengan Piandra kecil yang juga bertanya siapa Sofia siapa Chandra dengan caranya sendiri.
Dan kuantar ia keliling negri mencari lelahnya seperti Bunda terhadapku. Oh ya satu hal, akan ada seorang Wahid lagi yang baru. Putramu mungkin, akan menjadi pengganti peranmu kelak, yang duduk melawan senja di bukit sunyiku. Putramu yang bisa berteriak lantang bahwa Wahid ayahnya, dan Marsyah ibunya. Tidak seperti Piandra, tanpa Sofia tanpa Chandra.”
Pak Wahid kembali duduk di samping Piandra. Sebelum membalas kata-katanya, ia menyapu debu di kakinya perlahan. Memeriksa sekeliling yang belum gelap. Masih ada hembusan hangat senja. Masih ada bayang-bayang siang tadi di antara tinggi randu dan jati. Masih jelas terlihat teguhnya pertanyaan siapa Sofia siapa Chandra pada mata Piandra. Masih sama, meskipun sempat disapu airmata beberapa menit lalu.
“Matamu indah, satu-satunya gadis dengan mata biru yang membuat iri seluruh perempuan di dusun ini. Mereka tak punya warna mata selain keruh. Kau lain, kau bukannya berbeda. Kau lain. Tentu kau heran saat bercermin dan menemukan warna biru menyala di matamu. Tidak seperti mata Ratih yang legam sekali dan bulu matanya lentik alami. Aku memperhatikannya.”
“Hmm iya, Anda menyukai Bundaku. Tetapi Anda tak pernah mengatakannya, meskipun begitu Bunda menyadarinya. Dan Anda sendiri juga mengetahui kesadaran Bunda itu. Sebuah kerumitan yang jelas. Aneh. Tapi kentara.”
3 “Aku tak menginginkan dirinya, Pi… Bagiku semangatnya membesarkanmu melebihi kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Benar, ia tak melahirkanmu, tetapi ia, Ratih, menghidupkanmu… Ah, barangkali aku banyak bicara. Kau tentu tahu mengapa Ratih tidak menikah. Esensi menikah baginya adalah berbagi, tetapi tidak untuk membagi gadis kecilnya…”
Lagi-lagi angin senja merajai suasana. Sedikit dingin karena kabut bukit, tetapi begitu menenangkan. Piandra masih terduduk membelakangi bukit sunyi Sang Ratih. Matanya kaku menatap daun-daun hijau yang bergoyang oleh angin senja. Ia seperti tak mau beranjak meninggalkan bundanya.
“Hari sudah sore begini, di rumahmu mungkin ada seseorang menunggumu. Kau tidak ingin pulang, Piandra??”
“Siapa? Ada siapa di rumahku selain aku dan kenangan Bunda? Tak ada. Bapak jangan bergurau sore begini… Yahh, saya akan pulang. Tapi nanti, sebentar lagi. Mungkin saat matahari benar-benar tenggelam di sana.” Tangan Piandra menunjuk ke balik bukit sunyi. Kemudian ia berhenti memandangi senja. Matanya kembali membelalak. Ia yakin, itu bukan bayangan. Itu seseorang yang sepertinya sudah lama berdiri menyandarkan bahunya pada rindang jati.
Sekali lagi, makhluk itu tersenyum begitu lembut. Piandra berdiri, angin senja mempermainkan rok hitamnya searah langkahnya perlahan.
“Berhenti. Jangan ke sini. Di sini dingin, tubuhmu bisa mengigil. Lalu kau sakit, dan mati. Aku benci, kenapa berdiri di sana? Kau menguping? Mendengarkan apa? Dan untuk apa? Kenapa kau ke sini? Tidakkah kau berkaca sebelum berjalan ke sini??”
“Ah, entahlah…. Aku hanya iseng ke sini dan menemukanmu asyik dengan Pak Wahid. Wow, cepat sekali bapak itu berlalu. Lebih cepat dari deretan pertanyaanmu, Pi…”
Ia berjalan lurus melewati tubuh kaku Piandra. Lurus tak menghiraukan sorot mata Piandra yang penuh amarah.
“Aku ingin mengunjungi Bundamu. Ia tentu merindukanmu. Dan aku cukup berjasa menemaninya sepanjang petualanganmu… Ke Solok kalau aku tak salah ingat… Hahaha ke Solok rupanya kau datangi juga… Gadis aneh. Kau berhutang terima kasih padaku. Kalau bukan aku, siapa yang menemani Bunda Ratihmu…” sekali lagi ia tersenyum. Makhluk yang sangat menjengkelkan di mata Piandra selama ini.
Setengah memutar badan, Piandra memperhatikan pemuda itu berjalan menyusuri bukit sunyi, menemukan di mana Sang Ratih terbaring. Ia merapikan rerumputan di antara nisan Sang Ratih. Sambil melirik ke arah Piandra sesekali, dan menebar senyum lembut itu… Senyum yang mengejek, batin Piandra.
“Nah, apa kau tak ingin pulang? Hari mulai gelap,, barangkali sekarang waktunya penghuni bukit ini terbangun… hehehehee…. Ayo pulang, sekarang!!” Tangan Piandra ditariknya pelan, namun Piandra tak mengelak. Ia turut seperti yakin akan baik-baik saja.
“Aku ingin membunuhmu. Mencekikmu, meracunimu, atau mendorongmu dari atas sini. Pokoknya kau harus mati. Kenapa kau tidak mati saja. Aku pasti tidak menangis, aku bisa jamin.”
“Jaminanmu tidak berlaku. Ingat ya, kau berhutang banyak padaku. Rasa-rasanya separuh nyawamu boleh jadi milikku. Bagaimana penawaranku? Setuju, kan?”
“Kau jangan bergurau… Aku sangat membencimu. Kehadiranmu hari ini semakin membangkitkan marahku.”
“Kau marah?” Pemuda itu membalikkan badannya, menatap mata Piandra dengan senyum lembut khasnya.
“Oh tidak. Jangan tersenyum seperti itu. Aku semakin tidak suka. Mengertilah, aku sangat membencimu.” Dilepasnya tangan pemuda itu, kemudian ia sendiri berlalu di depan. Mendahului. Meninggalkan bukit sunyi. Sejenak Piandra membalikkan badannya.
“Kau berpesan apa pada Bunda? Satu blok untuk kematianmu nanti? Kapan? Aku tak sabar lagi..” Ia berlari kecil menjauhi Puguh yang terus menggelengkan kepalanya melihat tingkah Piandra.
“Pi, aku lapar. Aku ingin makan sate di warung mbah Joyo. Sudah tiga tahun kau tidak menyapanya, bukan? Sesekali berkunjunglah. Dusun ini masih milikmu. Dan milikku juga. Milik kita. Ingat kanak-kanak kita sering bercengkrama dengan beliau. Tentunya hingga ambisimu mencari Sofia dan Chandra muncul. Bodohnya kau meninggalkan rumahmu sendiri. Sekarang seseorang sudah membelinya. Padahal rumah itu penuh kenanganmu dan Bundamu. Aku juga pernah berlari kecil di hijau rumputnya. Aku masih ingat. Kau sering menangis merebahkan badan di rumput…. Hahaha.. perutku sakit kalau mengingat masa kecilmu, Pi.”
“Aku tidak meninggalkan dusun ini. Sekarang aku di sini. Rumah itu akan jadi milikku lagi, singkirkan saja barang-barangmu dari sana. Aku benar-benar membenci setiap tindakanmu terhadapku. Kau sering mencuri telan es krimku. Aku tidak bisa memaafkanmu soal ini. Jangan merayuku!!!”
“Merayu? Bedakan antara merayu dan memaksa…. Aku tidak akan minta maaf soal es krim. Sudah lewat berapa puluh tahun masa itu. Mau kau hitung berapa hutangku dalam es krim itu? Masih tak cukup untuk melunasi hutangmu padaku…. Bundamu sangat menyayangiku daripada kau sendiri. Siapa suruh bertamasya keliling dunia. Sudah ketemu Sofia dan Chandra?”
Kali ini Piandra berhenti. Terlihat sekali kejengkelan pada wajahnya. Puguh masih saja santai berlalu. Tak menghiraukan Piandra. Pemuda itu begitu percaya diri, senyumnya begitu lembut dan menebar ke segala. Puguh mengenalnya dari kecil, sejak Piandra pertama kali melihat dunia melalui dusun ini.
“Pu…” panggilan khas Piandra sejak kecil untuk Puguh.
“Benar ini kau, Puguh?”
“Bukan. Aku jelmaan penghuni bukit sunyi. Aku teman Bundamu.. hehehe” gaya bercanda yang khas sekali, milik Puguh, dengan senyum yang juga khas. Lembut.
“Kenapa kau ke sini?”
Puguh menghela nafas perlahan.
“Entahlah Pi. Aku tidak mati, aku hanya sesak nafas hingga sekarang. Untunglah kau pergi, jadi kau tidak mati ikut terbakar di malam itu seperti bunda Ratih. Sayang sekali, aku saat itu tidak di sini. Aku tidak tahu kejadian yang pasti. Ibuku yang mengabariku, Ibuku mencarimu juga, dan ayah bilang kau ke Solok. Mencari Sofia dan Chandra, aku benci dengan kota itu. Kalau saja kau tidak pergi ke sana, ah, tapi kau akan ikut terbakar dan mati malam itu juga. Tidak. Untung kau pergi…”
“Tapi aku benci padamu. Aku sangat benci. Aku ingin membunuhmu saat ini…”
“Maaf…. Aku pergi tanpa mengucapkan perpisahan denganmu. Aku tidak ingin pergi, karena itu aku tidak pamit. Karena aku akan kembali. Tapi, aku tidak menemukanmu saat kembali, kau di Solok di malam rumahmu terbakar. Dan Bunda Ratih meninggal. Aku benci sekali tidak menemukanmu, meskipun aku lega, kau tidak ikut mati.”
Langkah Puguh menjadi pelan, mengajak Piandra menikmati jalanan malam tempat mereka dulu berlarian seusai sekolah. Tampak banyak yang berubah. Kenyataan matinya Sang Bunda mengejutkan Piandra pagi ini, kemudian Puguh menemani penyesalannya hingga malam. Mereka kembali menjadi kanak-kanak lagi.
“Pi... Kau ingin es krim??”
Oyin Ayashi admits that though we try to describe accurately, we cannot verify the exact facts of everything posted. Postings may contain Information, speculation or rumor. We find images from the Web that are believed to belong in the public domain. If any stories or photos that appear on the site are in violation of copyright law, please write in comment box and we will remove the offending section as soon as possible. (Oyiners = Blog reader)