Warna putih pada busana pengantin
Namun seiring perkembangan zaman, busana pernikahan yang mengusung warna putih sebagai syarat sakralitas pun sudah menempel menjadi bagian ‘penting’ pada prosesi pernikahan di Indonesia. Misalnya sebagai busana pada saat ijab qobul.
Mengapa selalu putih? Mengapa tidak pink misalnya yang lebih melambangkan romantisme?
Sebelum tahun 1800-an di beberapa daerah Eropa sebenarnya tidak mengakui warna putih dalam pernikahan. Misalnya saja ketika Ratu Mary dari Skotlandia menikah, ia mengenakan gaun warna putih dan keputusannya ini dipandang buruk oleh banyak orang. Karena warna putih dipandang sebagai warna untuk pakaian berkabung.
Beberapa tahun kemudian warna putih untuk gaun pengantin dipilih lagi oleh Ratu Victoria saat menikahi Albert dari Saxe-Colburg. Publikasi yang bagus oleh sang fotografer yang mengabadikan acara pernikahan ini dan didukung "propaganda" soal pilihan Victoria akhirnya membuat gaun putih diterima masyarakat.
Dalam buku Godey's Ladys tahun 1849, tertulis soal keputusan Victoria: "Gaun telah dipilih dari warisan abad sebelumnya, bahwa warna putih ternyata yang paling cocok. Ini sebagai simbol kemurnian dan kepolosan perempuan, serta sebagai tanda hati yang suci sampai akhirnya diserahkan pada pria yang terpilih."
Apalagi berkembang anggapan bahwa gaun putih melambangkan kemakmuran. Di awal abad 20, hanya wanita dari golongan ekonomi mampu yang bisa memakai gaun putih di hari pernikahan. Di pedesaan dan bagi kaum ekonomi lemah masih banyak dijumpai gaun pengantin dengan warna selain putih.
Revolusi industri semakin membantu propaganda pemakaian gaun pengantin warna putih. Begitu populernya hingga Jurnal Ladies Home mengklaim: "Sejak zaman dulu gaun pengantin memang berwarna putih." Tentu saja pernyataan ini salah.
Toh, saat itu semua orang seolah menyetujui sehingga warna putih diputuskan sebagai warna perkawinan, terutama dalam pandangan produsen fesyen. Coco Chanel boleh jadi yang punya kekuatan dalam mengubah tren fesyen saat itu. Peluncuruan gaun pengantin pendek di tahun 1920 (yang tentu berwarna putih) jadi acuan busana pengantin di dunia.
Dunia dalam konteks ini tentu saja dunia barat. Kekuasaan mereka yang menjajah banyak negara mulai dari Afrika hingga Asia semakin mengukuhkan gaun pengantin warna putih. Hingga sekarang pun warna ini tetap dipandang sebagai pilihan paling elegan bagi perempuan-perempuan yang ingin menikah.
Untungnya, negara dengan banyak suku seperti Indonesia memiliki pakaian adat yang tetap mendapat tempat 'istimewa' bagi pasangan yang ingin menikah. Sehingga "gaun pengantin tradisional" yang berwarna-warni bisa menjadi pilihan sekaligus melestarikan budaya nenek moyang.
Oyin Ayashi admits that though we try to describe accurately, we cannot verify the exact facts of everything posted. Postings may contain Information, speculation or rumor. We find images from the Web that are believed to belong in the public domain. If any stories or photos that appear on the site are in violation of copyright law, please write in comment box and we will remove the offending section as soon as possible. (Oyiners = Blog reader)